Kesempatan yang Kedua

Jurnalis : Leo Samuel Salim (Tzu Chi Medan), Fotografer : Leo Samuel Salim (Tzu Chi Medan)
 
 

fotoSetelah dilakukan pemeriksaan pascaoperasi katarak, pasien diajak untuk berdoa bersama sebagai rasa syukur dapat mengikuti bakti sosial ini.

Jumlah pasien penderita katarak di Pulau Nias adalah salah satu yang tertinggi di Indonesia, ditambah dengan keterbatasan dokter mata maka sebagian besar pasien katarak yang kebanyakan berasal dari golongan ekonomi rendah tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk diperiksa dan menjalani pengobatan. Oleh karena itu, pada tahun 2012 ini, untuk kali kedua, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Kantor Cabang Medan kembali mengadakan bakti sosial operasi katarak gratis bagi masyarakat yang kurang mampu.

 

Perjalanan yang harus ditempuh dengan pesawat udara dari Medan ke Pulau Nias tidak membuat niat baik dari setiap relawan dan tim medis surut. Para Bodhisatwa dunia ini beranggapan selagi diberi kesempatan untuk saling berbagi dan mengikat jodoh maka harus dengan sebaik-baiknya kesempatan tersebut digenggam.

Bakti sosial kesehatan ini dimulai pada tanggal 15 Mei 2012 di RSUD Gunungsitoli sampai dengan tanggal 17 Mei 2012. Sebelumnya, tim relawan Tzu Chi Medan dan tim paramedis sudah tiba untuk mempersiapkan semua peralatan dan merapikan semua ruangan yang akan digunakan. Pada tanggal 14 Mei 2012, seperti yang direncanakan sebelumnya pada saat Screening, sebagian pasien sudah datang untuk diperiksa kembali kesehatan serta kondisi matanya sebelum  menjalani operasi  esok hari.

Semua pasien yang datang haruslah ditemani oleh salah satu anggota keluarganya. Terlihat bahwa tidak sedikit pasien mengalami kebutaan pada kedua matanya akibat katarak. Perjalanan yang jauh pun harus ditempuh dari desa mereka agar dapat tiba di RSUD Gunungsitoli demi dapat melihat kembali dunia yang indah ini. Pasien-pasien yang datang adalah dari Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Barat, dan Kabupaten Nias Utara.

Bakti sosial dibuka oleh Asisten Pemerintah Kabupaten Nias, Darwis Zendrato yang mewakili Bupati Nias yang berhalangan hadir. Pada kesempatan yang sama, Mujianto selaku ketua Tzu Chi Cabang Medan mengucapkan rasa syukur dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para semua pihak yang telah mendukung secara penuh sehingga kegiatan tersebut dapat berlangsung. Yayasan Buddha Tzu Chi juga berterima kasih kepada para pasien yang telah berkenan datang untuk mengikuti bakti sosial ini. Master Cheng Yen selalu mengingatkan semua insan Tzu Chi bahwa diri kitalah yang harus berterima kasih kepada orang-orang yang bersedia menerima bantuan dari kita sehingga kita dapat mengikat jodoh yang baik dengan semua orang.

foto  foto

Keterangan :

  • Dengan sepenuh hati relawan Tzu Chi membersihkan muka dan bagian sekitar mata pasien sebelum dilakukan pemeriksaan pascaoperasi (kiri).
  • Perjalanan yang harus ditempuh dengan pesawat udara dari Medan ke Pulau Nias tidak membuat niat baik dari setiap relawan dan tim medis surut (kanan).

Mengadakan bakti sosial kesehatan adalah bagian dari misi pengobatan yang diemban oleh Yayasan Buddha Tzu Chi di seluruh dunia. Misi pengobatan adalah misi yang kedua dari empat misi utama Tzu Chi. Master Cheng Yen melihat banyak dari masyarakat kita yang mengalami kesulitan ekonomi dikarenakan penyakit yang dideritanya. Dikarenakan hendak menyembuhkan penyakitnya, tidak tahu berapa banyak uang yang harus dihabiskannya sehingga membuat sebuah keluarga menjadi jatuh miskin. Ditambah lagi yang menderita sakit adalah orang yang menafkahi keluarga tersebut sehingga masa depan dari keluarga tersebut pun menjadi tidak menentu.

Tidak sedikit masyarakat setempat yang turut bersumbangsih sebagai relawan. Salah satunya adalah Wen Xiang yang untuk kali kedua, dirinya menjadi relawan sewaktu diadakan bakti sosial ini. Sebagai salah satu generasi muda di Nias, dirinya merasa harus dapat bersumbangsih bagi sesama. Tenaga Wen Xiang paling dibutuhkan pada saat relawan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan pasien karena sebagian besar tidak dapat berbahasa Indonesia. Wen Xiang juga ditemani oleh ayahnya, Romo Tapak yang juga sebagai salah satu tokoh masyarakat di sana membantu menjadi penerjemah. Selain mereka berdua, masih ada salah satu warga yang telah mengikuti relawan Tzu Chi Medan dari awal hingga akhir sebagai penerjemah, Namanya Khairuman. Terjalinnya jodoh antara Tzu Chi dengan Khairuman adalah pada saat relawan Tzu Chi menyewa mobilnya untuk mobilitas selama kegiatan Tzu Chi berlangsung di sana. Khairuman juga menjadi relawan pada saat screening sehingga kendala bahasa dapat teratasi.

Setiap relawan dengan sigap dan sepenuh hati melaksanakan tugasnya karena di dalam hati mereka senantiasa terbesit kata perenungan Master Cheng Yen “Setiap orang ada pekerjaan yang dilakukan dan setiap pekerjaan ada orang yang melaksanakannya.” Setiap relawan mengisi semua bagian, mulai dari pendaftaran, pengantaran pasien ke ruang tunggu, ruang pemeriksaan, ruang operasi hingga ke ruang pemulihan. Tak kenal lelah itulah yang terlihat di setiap wajah mereka. Kebersihan di rumah sakit pun senantiasa dijaga, relawan tidak tinggal diam sewaktu melihat lantai kotor. Terlebih ruangan pemulihan, relawan bahu membahu menyapu dan mengepel sehingga pasien dan keluarganya dapat dengan nyaman beristirahat.

Setelah tiga hari di Gunungsitoli, pada tanggal 18 Mei 2012 rombongan Tzu Chi bergerak ke arah Selatan Pulau Nias tepatnya ke Rumah Sakit Stella Marris, Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan dan berada di sana sampai tanggal 20 Mei 2012.  Kedatangan rombongan disambut oleh Suster Erminolda beserta Suster-Suster lainnya. Acara pembukaan yang sederhana namun khidmat ini dibuka oleh Bupati Nias Selatan Idealisman Dachi. “Apa yang dilakukan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi adalah perwujudan dari kasih Tuhan,” ujarnya pada saat berpidato di hadapan para pasien dan keluarga pendamping. Idealisman Dachi merasa apa yang dilakukan oleh Tzu Chi adalah sesuatu yang menggambarkan bahwa tidak perlu adanya pembedaan-pembedaan di dunia ini.

Sebagian besar dari para pasien katarak di Pulau Nias sudah tidak dapat melihat selama lima atau sepuluh tahun. Ilabowo Duha adalah salah satunya. Pria yang berumur tujuh puluh tahun ini sudah sepuluh tahun tidak dapat melihat. “Mata kanan saya sudah kurang lebih sepuluh tahun tidak dapat melihat. Kalau yang sebelah kiri sudah lima enam tahun,” ujarnya. Dikarenakan sudah terlampau lama, mata kanannya sudah tidak dapat ditolong lagi dikarenakan sudah mengalami kerusakan total sehingga yang dapat dioperasi adalah mata sebelah kirinya saja.

foto  foto

Keterangan :

  • Ilabowo Duha, salah satu pasien katarak juga merasa dirinya harus dapat bersumbangsih sebagai wujud rasa syukur meskipun dulu selama hampir 10 tahun ia tidak dapat melihat dengan jelas (kiri).
  • Satu persatu anggota keluarga pasien ikut bersumbangsih agar aliran cinta kasih ini dapat terus berlanjut (kanan).

Sewaktu menunggu giliran untuk diperiksa matanya, salah satu relawan Tzu Chi bercerita mengenai “masa celengan bambu” kepada semua pasien dan keluarga pendamping. Relawan Tzu Chi mengatakan bahwa sebenarnya kita jangan pernah mengganggap diri kita itu tidak mampu. Untuk menjadi orang mampu bukan diukur dari berapa banyak harta yang dikumpulkan. Dalam perjalanannya, Yayasan Buddha Tzu Chi selalu berpedoman pada semangat Celengan Bambu, dimana semua orang dapat bersumbangsih untuk sesama. “Hendaknya kita dapat terus bersumbangsih kepada sesama. Untuk bersumbangsih bukan dilihat dari nominalnya tetapi dari niatnya,” tambah relawan tersebut. Master Cheng Yen mengatakan dapat bersumbangsih adalah wujud dari rasa syukur dan berpuas diri.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, satu persatu pasien didampingi keluarganya mengisi celengan. Tak ketinggalan, Ilabowo Duha bersama cucunya, Alfeus Duha juga turut bersumbangsih. “Jalinan kasih ini dapat sampai ke Pulau Nias juga diawali dari tetesan-tetesan kasih sayang yang terkumpul melalui celengan ini di kota Medan dan sekitarnya. Sehingga kita usahakan jalinan kasih ini tidak terputus sampai di sini saja,” tambah relawan tersebut.

Salah satu pasien mata, Fransiskus yang masih berumur 17 tahun yang didampingi saudara laki-lakinya harus menempuh perjalanan selama hampir kurang lebih dua jam dari desa Lolomatua barulah tiba di Rumah Sakit Stella Marris. Dikarenakan permasalahan pada penglihatannya, Fransiskus di umurnya yang ke-17 ini, baru duduk di bangku SMP kelas 1. Hal ini juga yang membuat dirinya menjadi seorang yang pendiam. Relawan berusaha terus mendampingi dan mengajaknya berbicara. Setelah itu, diketahuilah kalau dirinya itu mahir memainkan gitar maka pada saat-saat menunggu giliran untuk diperiksa matanya, Fransiskus memainkan gitar dan bernyanyi di hadapan semua pasien. Suara gemuruh tepukan tangan dari orang-orang yang mendengarkannya membuat wajah Frasiskus tersenyum meskipun dirinya tidak dapat melihat jelas orang-orang yang duduk di hdapannya.

Fransiskus sudah mulai mengalami kesulitan dalam melihat pada saat berumur tujuh tahun, ditambah dengan penyakit TBC yang menyerang membuat tubuhnya menjadi lemah. Untuk membaca maupun menulis, Fransiskus harus mendekatkan buku ke matanya sekitar tujuh sentimeter. Namun sayang, harapan Fransiskus untuk diobati pun pupus karena permasalahan pada matanya bukan dikarenakan katarak tetapi adanya kelainan pada syaraf matanya. Kekecewaan pun terbesit di hatinya tetapi yang terpenting adalah sudah berusaha. Dirinya masih bersyukur dapat melihat meskipun dengan jarak yang sangat dekat.

Relawan Tzu Chi dengan sepenuh hati mendorong kursi roda yang diduduki pasien yang telah selesai dioperasi menuju ke ruang pemulihan. Keesokkan harinya, seperti yang dilakukan pada hari-hari sebelumnya, semua pasien dikumpulkan untuk dilakukan pemeriksaan mata pascaoperasi. Semua mata pasien dinyatakan dalam kondisi yang baik. Di Rumah Sakit Stella Marris, sebelum para pasien pulang ke rumahnya, semua orang dengan kenyakinannya masing-masing berkumpul untuk berdoa bersama. Inilah sebuah wujud keindahan dari perbedaan itu. Inilah sebuah langkah awal dari jalinan jodoh. Nantinya diharapkan semua pasien dapat melihat kembali dunia yang indah ini seperti diberikan kesempatan yang kedua. Secara keseluruhan, jumlah pasien katarak berjumlah 239 orang, jumlah pasien THT adalah 286 orang, dan 166 orang pasien kulit.

  
 

Artikel Terkait

Menanam Benih Kebajikan di Kalsel

Menanam Benih Kebajikan di Kalsel

12 Juni 2012 Tzu Chi Perwakilan Sinar Mas mengadakan rangkaian bakti sosial pemeriksaan mata dan pembagian kacamata untuk siswa SD hingga SMU serta guru yang dilaksanakan di Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan pada 15 – 18 Mei 2012.
Pemberkahan Akhir Tahun di Tzu Chi Tanjung Balai Karimun

Pemberkahan Akhir Tahun di Tzu Chi Tanjung Balai Karimun

12 Januari 2017

Dalam pemberkahan Akhir Tahun (PAT) 2016 yang digelar oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Tanjung Balai Karimun, relawan juga menyosialisasikan tentang Gerakan 111. Melalui ajakan 1 orang, 1 hari bervegetarian, untuk 1 bumi diharapkan dapat menjaga bumi kita dan lebih  mencintai makhluk hidup.

Belajar Toleransi Beragama Sedari Dini

Belajar Toleransi Beragama Sedari Dini

18 April 2023

Kelas Budi Pekerti kali ini mengajarkan para siswa tentang cara membuat ketupat sekaligus makna toleransi antar umat beragama dan saling menghormati seperti makna yang terkandung dari filosofi ketupat.

Ada tiga "tiada" di dunia ini, tiada orang yang tidak saya cintai, tiada orang yang tidak saya percayai, tiada orang yang tidak saya maafkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -