Kesempurnaan Sebuah Baksos
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : ApriyantoBerbagi kepada yang membutuhkan dan ketulusan melayani sesama adalah daya tarik utama bagi Ernawaty untuk bergabung dengan Tzu Chi. |
| |
Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-61 ini diikuti oleh 85 pasien katarak, 42 pasien hernia, dan 42 pasien tumor. Aceng Santari dan Muhamad Subekti adalah salah satu kisah dari mereka yang merasa bahagia mengikuti baksos itu. Pengobatan yang Mahal Dengan uang pesangon yang tak seberapa, Yani mencoba menutupi kebutuhan keluarga dengan berdagang nasi uduk setiap pagi, sementara Subekti beralih profesi sebagai buruh bangunan. Masalah kembali datang pada mereka. Subekti yang semula terlihat sehat tiba-tiba merasakan adanya gatal di punggung sebelah kanan. Semakin ia garuk, luka itu semakin membesar dan tumbuh menjadi sebesar koin. Karena keterbatasan ekonomi, Subekti terpaksa mendiamkan sakitnya dan membiasakan diri hidup dengan nyeri punggung yang semakin lama semakin membuat tangannya kian terasa hampa (mati rasa). Mendahulukan kebutuhan keluarga dan pendidikan anaklah yang menjadi alasan bagi Subekti untuk tetap bertahan dengan tumornya selama 13 tahun. “Dari dulu Bapak memang udah kepengen periksa ke dokter. Tapi karena masalah ekonomi makanya nggak pernah periksa kemana-mana,” kata Yani, istrinya. Sampai akhirnya berdasarkan informasi dari Puskesmas di daerah tempat tinggalnya, Subekti mendaftarkan diri untuk mengikuti pengobatan gratis yang diadakan Tzu Chi. Seolah kembali menemukan harapan, Sabtu, 17 Oktober 2009 menjadi hari yang mengharukan sekaligus menegangkan bagi Subekti karena tumor yang dideritanya selama 13 tahun akan dioperasi. Tidak hanya Subekti, Yani yang menunggu pun menunjukkan raut wajah yang tegang. Namun jauh di balik itu, ia merasa sangat bahagia karena uluran tangan Tzu Chi telah meringankan derita suaminya.
Ket: - Aceng Santari yang merasa bersyukur bisa mengikuti operasi katarak yang diadakan oleh Tzu Chi. (kiri). Penglihatan yang Semakin Buram Keadaan Aceng tidaklah berbeda jauh dengan Subekti. Sebagai seorang sopir Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Provinsi Banten, ia memutuskan untuk pensiun pada tahun 1993 lantaran penglihatannya yang semakin buram. Baru satu tahun Aceng menjalani masa-masa pensiun, tiba-tiba putranya yang kedua, Unud Junaidi mengalami sakit lever. Sebagai orangtua Aceng turut membantu pengobatan anaknya. Keterbatasan pengobatan membuat Unud tak kunjung sembuh. Puncaknya saat ia akan dilantik untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), levernya mengalami kebocoran hingga perutnya terlihat kembung dan keras. Aceng merasa tak tega melihat penderitaan putranya. Tapi keterbatasan ekonomi membuat ia tak mampu memberikan pengobatan yang terbaik bagi putranya. Unud pun meninggal pada tahun 1994. Pada tahun 1998, istri Aceng mulai mengalami sakit-sakitan. Setelah diperiksa di Puskesmas ternyata ia menderita sakit darah tinggi. Beberapa tahun menjalani pengobatan rutin tidak memberi kesembuhan bagi istri Aceng, justru dokter mendiagnosis ia menderita sakit jantung dan mag. Komplikasi penyakit membuat vitalitas istri Aceng semakin memburuk. Karena terlihat semakin kritis, Aceng segera melarikan istrinya ke rumah sakit di Serang. Sesampainya di rumah sakit, pihak rumah sakit menyarankan agar istrinya segera dirawat. Namun karena keterbatasan biaya dan jauhnya rumah sakit dengan tempat tinggal, Eman Supandi putra keempatnya meminta agar perawatan bisa dialihkan ke rumah sakit di Pandeglang. “Kalo diopname di sini, keluarga pulang-perginya jauh. Udah di Pandeglang aja, minta izin diopname di sana,” sanggah Eman kepada petugas rumah sakit. Karena desakan keluarga akhirnya pihak rumah sakit menyetujui permohonan Eman. Satu bulan dirawat, kesehatan istri Aceng tidak menunjukkan kesembuhan, tapi justru semakin memburuk. Perutnya kembung dan tubuhnya semakin lemah. Karena tak tahan lagi mengalami penderitaan, istri Aceng akhirnya meninggal pada tahun 2007. Kehilangan dua anggota keluarga yang dicintai, ditambah keadaan ekonominya yang pas-pasan membuat Aceng merasa tidak mampu untuk mengobati dirinya sendri. Padahal selama enam bulan terakhir mata sebelah kanan Aceng sudah tidak bisa melihat sama sekali. Dokter mengatakan Aceng menderita katarak dan harus dioperasi dengan biaya Rp 3 juta. Sebagai pensiunan PNS yang masih menanggung kehidupan dua anaknya yang sudah menjanda membuat pengobatan untuk dirinya serasa mustahil untuk dilakukan. Suatu hari, ketika putrinya yang ke-7, Yati Mulyati sedang berobat ke Mantri Dadang di Sarabaya, Pandeglang, Banten, ia mendapat informasi bahwa akan ada operasi katarak gratis yang diadakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di Rumah Sakit Kencana Serang. Segera saja ia memberitakan kabar ini kepada ayahnya. Aceng bersedia mengikuti pengobatan itu, dan Yati langsung membawanya ke Mantri Dadang untuk didaftarkan. Beruntung, setelah diperiksa Aceng dinyatakan sebagai pasien yang layak mengikuti operasi katarak. Maka ketika hari itu mengikuti baksos, ia terlihat sangat gembira menanti gilirannya untuk dioperasi. Lebih gembira lagi karena hari itu Ernawaty dan Thio Megawati, dua relawan Tzu Chi, memperlakukannya sebagai pasien dengan sangat baik. Mengelap wajah dan mencuci kakinya tanpa rasa segan adalah suatu kesan yang membuat Aceng merasa sangat dihargai sebagai penerima bantuan. “Di sini enak dapat operasi gratis, makan-minum gratis. Anak saya aja belum pernah cuciin kaki saya,” katanya gembira.
Ket: - Hema, relawan Tzu Chi saat membantu melayani pasien yang sedang dibersihkan matanya. Baksos yang dimulai sejak pukul 8 pagi baru bisa selesai pada pukul 19.00 dengan pasien terbanyak adalah para penderita katarak. (kiri). Karena Ketulusan Saya Bergabung Akhirnya melalui ceramah Master Cheng Yen, Ernawaty merasa malu terhadap dirinya sendiri. Maka bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-32, ia niatkan hati untuk mengunjungi kantor Yayasan Tzu Chi di Gedung ITC Mangga Dua, Jakarta. Kebetulan sekali pada hari itu Tzu Chi sedang mengadakan sosialisai dan Ernawaty langsung ikut dalam acara itu. Dari sinilah Ernawaty mulai aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sosial Tzu Chi, diantaranya menjadi relawan pelayanan pasien pada setiap acara baksos. “Selama ada waktu dan ada tenaga, kepinginnya saya aktif (terus) di Tzu Chi,” kata Erna. Sama halnya dengan Thio Megawati, ia merasa tertarik bergabung dengan Tzu Chi setelah menyaksikan langsung derita yang dialami oleh seorang anak kecil yang menderita sakit kelenjar getah bening. Kedua orangtuanya telah meninggal karena terserang penyakit HIV AIDS. Setelah menjadi yatim-piatu, anak itu diasuh oleh neneknya yang berpenghasilan tak seberapa dari bekerja sebagai buruh cuci pakaian. Dalam sehari si nenek hanya mampu membeli sebungkus sayur untuk dijadikan lauk. Terkadang demi mencukupi makan ketiga cucunya yang lahap, si nenek rela untuk tidak makan. Kehidupan nenek dengan ketiga cucunya yang serba kekurangan inilah yang memanggil hati nurani Megawati untuk bergabung di Tzu Chi dan berbagi terhadap sesama. “Saya tersentuh ikut Tzu Chi karena ternyata masih banyak sekali orang yang kehidupannya di bawah, sampai untuk makan saja Rp 2000 untuk satu keluarga,” katanya. Tzu Chi adalah ladang dalam pembinaan diri dan menanam kebajikan. Sebuah bantuan menjadi bermanfaat bila bantuan itu dapat memberi kebahagiaan bagi diri penerima maupun pemberi bantuan. Sesungguhnya dalam setiap kegiatan Tzu Chi, tujuan utamanya adalah melatih diri setiap orang untuk merendahkan hati dan membantu sesama yang membutuhkan. Setidaknya itulah maksud dari setiap Baksos Kesehatan Tzu Chi, tidak hanya mengobati raga, tapi juga jiwanya. | ||
Artikel Terkait
Bulan 7 Penuh Berkah: Perjalanan Menjadi Lebih Baik
28 Agustus 2024Relawan Tzu Chi Surabaya memaknai bulan 7 dengan berdoa, mengasihi bumi, serta menerapkan pelestarian lingkungan. Sebanyak 47 orang relawan berdoa dan berikrar di bulan penuh berkah ini.
Bersumbangsih dalam Donor Darah
21 Maret 2023Relawan Tzu Chi Biak mengadakan donor darah yang bekerja sama dengan Maju Makmur Group dan PMI Biak. Donor darah diadakan pada Sabtu 18 Maret 2023 dan berhasil mengumpulkan 60 kantong darah.