Ketegaran Hati Chin Kim Fo

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Anand Yahya
 
 

foto Wakil Ketua Tzu Chi Singkawang, Jong Thian Kong tengah mengunjungi Pui Ki Min, istri dari Afo, pasien Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-71 di Singkawang. Sejak terkena stroke, Pui Ki Min hanya bisa terbaring lemah di ranjangnya.

Hidup dengan seorang istri yang menderita stroke dan seorang anak yang berkebutuhan khusus tentunya bukan suatu hal yang mudah dijalani. Hanya dengan keikhlasan untuk menerima cobaan hidup seperti inilah baru seseorang dapat menjalani hari-harinya dengan tenang.

Hal itulah yang dialami Chin Kim Fo atau yang biasa dipanggil Afo. Laki-laki kelahiran tahun 1948 ini harus merawat sang istri, Pui Ki Min (62) dan juga putri bungsunya Septiani (20) atau yang akrab dipanggil Li San. Dari buah pernikahannya dengan Pui Ki Min, Afo memiliki 5 orang anak (2 laki-laki dan 3 perempuan), termasuk Li San. Namun karena ke-4 anak lainnya sudah menikah ataupun merantau ke Jakarta, maka Afo pun hanya hidup bertiga bersama istrinya dan anak bungsunya, Li San.

Pemahaman yang Keliru
Tanggal 20 September 1990, semestinya menjadi hari yang membahagiakan bagi Afo dan istrinya, karena saat itulah anak bungsu mereka lahir. Namun karena menurut perhitungan (shio atau  kosmologi Tionghoa -red) etnis Tionghoa “kurang baik” maka hari bahagia itu justru disikapi sebagai hari kecemasan dan kekhawatiran akan nasib buruk yang akan menimpa keluarga besar mereka. “Kami percaya hari lahirnya kurang bagus, jadi sejak kecil dititipin ke orang lain,” terang Afo. Terlebih sejak bayi Li San sudah menampakkan kekurangannya, tidak seperti bayi pada umumnya.

Tidak seperti keempat kakaknya yang dirawat dan dibesarkan oleh kedua orangtuanya, Li San justru harus tinggal bersama bibi (kakak dari pihak ibunya). Predikat sebagai pembawa nasib buruk pun melekat dalam diri bayi tak berdosa ini. Saat masih berusia beberapa bulan, Li San terkena demam tinggi dan mengakibatkan stip. Setelah ditangani dan dibawa ke rumah sakit akhirnya diketahui jika Li San menderita epilepsi. Maka, Li San pun tumbuh tak sempurna, baik fisik maupun cara berbicaranya. Sejak kecil hingga sekarang, Li San masih harus tetap memakan obat epilepsinya agar tidak kumat/kambuh.

Meski memiliki kekurangan fisik, bibinya sempat menyekolahkan Li San hingga kelas 3 Sekolah Dasar (SD). “Nggak bisa ngikutin pelajaran,” terang Afo tentang alasan mengapa Li San tidak melanjutkan sekolahnya. Karena itulah Li San bisa baca dan menulis meski dengan sangat lambat dan hasil yang belum sempurna. Selama hampir 15 tahun Li San tinggal bersama sang bibi sebelum akhirnya kembali bersama orang tuanya. Setelah keempat kakaknya menikah dan tinggal di luar kota, kini justru Li San yang menjaga dan merawat ibunya. “Li San yang mandiin (melap), bawa duduk ibunya di depan, dan menyuapi ibunya,” jelas Afo.

foto    foto

Keterangan :

  • Relawan Tzu Chi tengah memberi perhatian kepada Pui Ki Min. Untuk mandi, makan, dan buang air, Pui Ki Min harus dibantu oleh suami dan anaknya. (kiri)
  • Kisah kehidupan Chim Kim Fo membuat Akiat, relawan Tzu Chi menjadi terharu dan bersimpati. Selain terkena katarak, Chim Kim Fo juga pernah terserang stroke yang membuatnya sulit untuk berbicara. (kanan)

Rumahku Istanaku
Di sebuah gubuk sederhana berlantaikan kayu dengan tiang-tiang kayu yang tinggi di bawah yang menjaganya dari banjir inilah Afo tinggal. Rumah yang berada di Jl. Ratu Sepadan RT 004/03, Sumber Garam Hilir, Singkawang Utara ini sudah selama 23 tahun menjadi pelindung Afo dan keluarganya dari sengatan panas matahari maupun siraman air hujan. Meski tidak terlalu besar, tetapi rumah itu layaknya sebuah “istana” bagi keluarga ini. Afo bekerja mengurusi kebun kelapa dan menanam sayur untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. “Tanah cukup luas, tapi yang sanggup saya olah cuma sekitar 1 hektar,” ujar Afo. Tanah itu sendiri merupakan warisan dari orangtua Afo.

Meski tidak terlalu besar penghasilannya, namun pendapatan itu cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Saat kebutuhan anak-anaknya meningkat, terutama untuk biaya pendidikan, Afo akhirnya mencoba mengadu peruntungan di Jakarta. Di salah satu pasar di wilayah Jakarta Barat, selama lebih dari 5 tahun Afo berdagang ikan asin bersama seorang kerabatnya. Berkat usaha inilah ke-4 anaknya, terkecuali Li San akhirnya bisa menamatkan sekolahnya hingga tingkat SMA.

Cobaan dalam hidup Afo dimulai ketika ia terkena stroke pada tahun 2000-an. Sempat dirawat di rumah sakit, kondisi Afo tidak bisa pulih sepenuhnya. Beruntung saat itu anak-anaknya sudah lulus sekolah. Tinggal Li San saja yang masih menjadi tanggung jawab ia dan istrinya. Beruntung stroke itu tidak sampai membuat Afo terkapar dan tak berdaya, ia bisa pulih dari stroke meski kini ia masih sulit untuk berbicara. Meski tak bisa bekerja maksimal, setidaknya Afo masih bisa mengurus kebun dan menanam sayur-sayuran  untuk kebutuhan sehari-hari.

Rupanya ujian masih harus dihadapi keluarga ini, tahun 2006, giliran sang istri yang terserang stroke. Kondisi Pui Ki Min bahkan lebih parah, ia sama sekali tak bisa bergerak dan hanya terbaring di ranjangnya saja. Sesekali terdengar erangannya, seperti hendak mengeluarkan sesuatu yang tersumbat di tenggorokannya. “Waktu terkena stroke sempat dirawat di rumah sakit (RSUD Singkawang –red) selama 6 hari, pake Jamkesmas. Tapi karena menurut dokter sudah tidak bisa disembuhkan, jadinya rawat jalan aja,” terang Afo dalam bahasa Mandarin yang terbata-bata. Patah arang secara medis, Afo dan anak-anaknya mencoba mencari obat alternatif. “Pake obat tradisional Cina, 1 bijinya 300 ribu, tapi tetap aja nggak ada perubahan,” ungkapnya. Sejak itulah kemudian Pui Ki Min yang sebelumnya aktif dan turut menjadi penopang hidup keluarga ini menjadi seorang yang lemah tiada daya. Beruntung Afo dan Li San cukup telaten dan sabar merawat istri dan ibu mereka. “Mau gimana lagi, nggak bisa kata-kata, memang sudah nasib begini,” jawab Afo ketika ditanya perasaannya hidup bersama istri yang terkena stroke dan putrinya yang berkebutuhan khusus. Kesedihan Afo sedikit terobati lantaran ia memiliki 4 orang anak yang cukup berbakti kepada orang tua. “Anak-anak ada bantu tiap bulan, meski nggak besar karena mereka sendiri hidupnya pas-pas an,” terang Afo.

foto  foto

Keterangan :

  • Septiani (20), putri bungsu Chim Kim Fo dan Pui Ki Min yang berkebutuhan khusus masih dapat membantu mengurus ibu dan kebutuhan rumah lainnya, seperti memasak dan bersih-bersih.  (kiri)
  • Ketika mengunjungi rumah Chim Kim Fo, relawan Tzu Chi juga memberikan dorongan semangat dan motivasi agar ia dapat bersabar dan terus bersemangat merawat istri dan putri bungsunya. (kanan)

Terkena Katarak
Jumat, 29 Oktober 2010, Afo datang ke Rumah Sakit Tentara Singkawang. Ia datang bukan karena ingin memeriksakan diri darah tingginya, tetapi ia justru mengeluhkan penyakit katarak yang sudah menderanya selama 6 bulan lebih. “Mungkin akibat sering kena asap dupa,” tebak Afo tentang penyakit matanya ini. Setelah mengajukan permohonan dan melakukan screening, akhirnya Afo dinyatakan dapat dioperasi. “Saya tahu ada baksos ini dari anak saya melalui selebaran,” terang Afo.

Sabtu, 30 Oktober 2010, Afo kembali datang ke Rumah Sakit Tentara Singkawang. Mata sebelah kanannya berbalut perban putih. Inilah pemeriksaan pascaoperasi, untuk melihat keberhasilan operasi yang dilakukan sehari sebelumnya. “Bagus kok. Nanti jangan lupa perbannya diganti ya, Pak,” kata Suasana, seorang perawat yang tergabung dalam tim medis Tzu Chi ini. Afo pun pulang ke rumahnya dengan diantar seorang relawan, Lie Tjok Djan namanya. Dari Lie Tjok Djan inilah kisah Afo kemudian diketahui. Saat mengantar Afo ke rumah, Lie Tjok Djan merasa prihatin dengan kehidupan keluarga Afo dan segera memberitahukan kepada relawan Tzu Chi Singkawang lainnya.

Mendengar kisah keluarga Afo ini, Tjhang Tjin Djung atau yang akrab dipanggil Adjung Shixiong, Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Singkawang pun kemudian tergerak untuk melihat kondisi kehidupan Afo. “Setelah melihat kondisi kehidupan keluarga ini, kita melihat hidup manusia ini memang ada cobaan-cobaan, nah kita berikan satu pemahaman supaya dia bisa lebih lapang, sabar dalam menghadapi cobaab-cobaan ini,” ujar Adjung. “Nggak ngajuin bantuan karena ada Jamkesmas,” terang Afo ketika ditanyakan kenapa tidak mengajukan bantuan ke yayasan-yayasan kemanusiaan, “Apalagi dokter juga sudah tidak bisa berbuat apa-apa.”

Adjung dan Lie Tjok Djan pun memberikan semangat dan masukan kepada Afo. “Kita sempat tanyakan kira-kira bagaimana menghadapi istri yang sedang stroke dan juga memiliki seorang anak yang berkebutuhan khusus. Dia bilang sudah pasrah dan menerima apa adanya. Kalau begitu tinggal jalankan saja, jangan ada rasa terbebani yang nggak perlu,” kata Adjung Shixiong yang cukup salut dengan kegigihan Afo dalam hal pendidikan anak-anaknya. “Walaupun sederhana, namun semua anak-anaknya (kecuali Septiani-red) tamat SMA. Ini sebuah pencapaian yang baik untuk ukuran keluarga seperti ini di Singkawang,” tambah Adjung.

Setelah berbincang-bincang dengan Afo, Adjung pun berkesimpulan, “Kalau soal ekonomi, anak-anak sudah bekerja dan 2 sudah berkeluarga, selama ini mereka patungan membantu orang tua mereka. Kita melihat kondisi yang ada untuk kebutuhan sehari-hari sepertinya tidak masalah,” katanya, “kalau memang dalam survei kita temukan ada masalah tentunya kita akan pertimbangkan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu. Tetapi kalau rasanya tidak ada masalah, kita jangan sampai membuat anak itu jadi lepas tanggung jawab dan membuat dia tidak punya kesempatan untuk berbakti kepada ortuanya.”

Meski begitu, menurut Adjung dan  Lie Tjok Djan relawan Tzu Chi lainnya, Tzu Chi masih bisa bersumbangsih bagi keluarga ini melalui kegiatan kunjungan kasih yang rutin dilaksanakan setiap sebulan sekali. “Selama ini Tzu Chi Singkawang ada kunjungan kasih tiap bulan untuk bantu mereka yang memiliki kesulitan ekonomi, tetapi untuk keluarga ini kita bisa lakukan dengan cara memberi perhatian kepada istrinya, seperti memandikan, memasakkan atau menyuapi Ibu Pui Ki Min,” jelas Adjung.

  
 

Artikel Terkait

Menggalang Lebih Banyak Relawan

Menggalang Lebih Banyak Relawan

15 Desember 2009
Acara yang dikoordinasi oleh para relawan Xie Li 4 ini dihadiri oleh tamu undangan dan relawan antara 60 sampai 70 orang. Acara berlangsung dengan khidmat dan semarak, terlebih ketika Wen Yu, relawan Tzu Chi memberi kata sambutan, berbagi pengalaman dan memberi pandangan-pandangan sekilas mengenai Tzu Chi.
<em>Talk Less Do More</em>

Talk Less Do More

09 Januari 2009 Pelatihan yang diikuti oleh 118 peserta tersebut, diisi dengan pengenalan Tzu Chi, tata cara berpakaian dan bersikap, serta sharing dari para relawan tentang bagaimana menjadi relawan Tzu Chi. Meskipun mayoritas peserta sudah pernah menjadi sukarelawan dalam beberapa kegiatan yang dilakukan oleh Tzu Chi, seperti pembagian beras,maupun bakti sosial kesehatan, namun baru kali ini mereka mendapatkan pengetahuan formal mengenai Tzu Chi.
Memulihkan Semangat Warga Korban Kebakaran

Memulihkan Semangat Warga Korban Kebakaran

30 Desember 2017

Relawan Tzu Chi Bogor memberikan bantuan bagi korban kebakaran.. di Jl Kampung Gudang RT.05/01, Kelurahan Empang, Bogor Tengah, Bogor, Jawa Barat kemarin, Jumat, 29 Desember 2017.  Kebakaran terjadi pada Senin, 25 Desember 2017 lalu dan menghanguskan 33 rumah. Ada 63 Kepala Keluarga (KK) yang menjadi korban.

Orang yang memahami cinta kasih dan rasa syukur akan memiliki hubungan terbaik dengan sesamanya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -