Ketegaran Hati Menjalani Hidup Pascagempa

Jurnalis : Khusnul Khotimah, Hadi Pranoto, Fotografer : Anand Yahya


Karmel Dawati beserta putranya Muhammad Dian Zulham berfoto bersama seusai menandatangani Surat Perjanjian Penghuni Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah.

Perempuan yang Tegar. Tak berlebihan kiranya jika sebutan ini disematkan pada Karmel Dawati. Saat Perumnas Balaroa ditelan Likuefaksi pada 28 September 2018, Karmel berjuang menyelamatkan sang suami yang tertimbun tanah hingga berhari-hari. Keadaan begitu kacau saat itu menyebabkan bala bantuan begitu sulit didapatkan.

Saat kejadian, ia dan suaminya, Alfian (47) berada dalam rumah. Sebelum likuefaksi terjadi, lebih dulu terjadi gempa besar. Sebelum gempa besar, ada dua kali gempa kecil yang terjadi sekitar pukul 15.00 WIT. Saat gempa pertama, Karmel tengah tidur di ruang televisi, sementara suaminya di kamar.

“Saya terbangun. Waktu mau bangunkan suami, gempa berhenti. Gempa kedua, bangun lagi saya, tak lama berhenti tapi saya tidur lagi. Ternyata suami bangun, makan, dan pergi keluar pukul 4 sore. Sekitar jam 5, suami datang. Dia bilang, ‘Mel saya sudah datang, saya abis potong rambut’. Dia bilang, ‘gagah saya’. Ganteng nggak’? Iya, jawab saya. Dia masuk ke kamar mandi, menyalakan air, lalu dia keluar lagi dan bilang, ‘Mel siap-siap kita pergi ke luar’,” kenangnya.


Karmel Dawati menandatangani Surat Perjanjian Penghuni Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah pada Sabtu, 11 Januari 2020.

Tak lama gempa datang lagi. Kali ini sangat besar, 7,4 skala Richter. Karmel yang saat itu berada di dapur terduduk lemah dan tak mampu berdiri, ia bersembunyi di bawah meja, sementara sang suami lari ke depan rumah.

“Saya kira dia lari dan selamat, dia meninggalkan saya, tak tahunya dia yang tidak selamat,” suara Karmel bergetar.  

“Kata orang dia masuk lagi ke dalam. Mencari saya barangkali, tapi terjebak di teras rumah. Di situ dia sudah tertimbun bangunan. Selesai gempa saya cari-cari jalan keluar, kan sudah rubuh semua itu bangunan, cuma bagian dapur yang tidak, tapi atapnya juga sudah jatuh. Saya terus cari jalan keluar tapi tidak ada. Atap rumah kan miring, saya naik ke atap rumah itu dan dapat jalan keluar,” ujarnya.

Hari itu sudah gelap, sudah malam. Ia mencari orang-orang sekitar, tapi sudah tidak ada, tinggal ia sendiri.


Karmel Dawati beserta kerabatnya yang juga tinggal di Huntara Duyu.

“Saya panggil-panggil, ‘Abang, abang’. Bersuara dia, ‘saya tertimbun, kaki saya terjepit, tolong bantu saya’. Saya gali-gali, beton semua. Beton semua di atasnya. Saya gali-gali, ada satu beton, bisa terangkat itu besar sekali,” katanya.

Di tengah upaya menggali reruntuhan yang menimbun sang suami, Karmel melihat tiga orang laki-laki yang sedang lewat. Cepat-cepat Karmel memanggil mereka supaya bisa membantunya menyelamatkan suaminya.

“Maaf, Bu, tak bisa saya bantu, saya cari keluarga saya juga,” jawab mereka. Sedih sekali, namun Karmel mengerti keadaannya. Ia pun meneruskan menggali tanah yang menimbun suaminya. Tapi kobaran api tampak di sebelah belakang rumahnya.

“Saya bilang ke suami, ‘baca doa ya, saya cari bantuan keluar,” terusnya.

Sekitar pukul 1 dini hari itu, Karmel berusaha keluar ke arah Jalan Manggis Atas. Tapi sesampainya di situ, lumpur sedang naik. terjeblos kaki Karmel yang sebelah kedalam lumpur. Ia pun berusaha menarik kakinya. Berhasil. Dengan langkah cepat, ia berjalan ke rumah adiknya di Jalan Poe Bongo. Di sana ia juga bertemu dengan anak tunggalnya, Muhammad Dian Zulham (19), usia Dian saat itu.


Karmel yang merasa lebih tenang setelah memperoleh kepastian mendapatkan nomor rumah di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tadulako, Palu.

“Selamat anak Alhamdulillah. ‘Ayo masuk lagi bapakmu tertimbun. Saya bilang bawa palu, gergaji, parang,” ujar Karmel.

Sekitar pukul tiga dini hari, Karmel, adiknya dan anaknya tiba di Perumnas Balaroa. Di pinggir-pingir Perumnas ia mendapati para tetangga yang yang kakinya putus, tulangnya patah, dan banyak lagi. Ia pun dilarang beberapa orang untuk masuk ke Perumnas karena api juga sedang menjalar.

Sekitar pukul 6 pagi, mulailah terang, tapi api di Perumnas Balaroa masih membara.

“Saya tanya adik, di mana api itu arahnya, dia bilang dekat masjid. Oh berarti jauh dari rumah, ayo masuk lagi. Pagi itu suami saya masih minta tolong. Di atas itu seng sudah terbakar semua. Kami berusaha menggali dengan palu, datang orang lagi, minta tolong lagi, dibantu, akhirnya terlihat suami saya, tapi kakinya tak bisa ditarik,” ujarnya.

Karmel langsung memberinya minum. Setelah itu orang-orang membantunya untuk menarik kaki suaminya, tapi tetap tak bisa. Bahkan anak kecil diminta memasukkan kepala di lubang yang digali itu dan dipegangi pinggangnya dari atas untuk melihat kaki sebelah suaminya, tapi anak tersebut juga tak bisa menemukannya.


Tzu Chi Indonesia melakukan proses penandatanganan perjanjian kepada 553 calon penghuni Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tadulako pada 11-12 Januari 2020.

“Ada tetangga yang jarinya putus, tapi selamat, dia bilang, ‘Uni bagaimana kalau kita potong kakinya abang’. Kata abang, ‘potong saja yang penting saya keluar dari sini’. Saya bilang, potong pakai apa, posisi kaki juga tidak tahu. Jadi tidak ada yang berani potong kakinya. Siang itu dia minta minum lagi,” katanya.

Karmel berlari mencarikan air minum untuk suaminya. Ia pun mendapatkan air hangat dan gula serta kue dan meminta adiknya memberikan minum itu pada suaminya. Karmel tak kuat lagi mendekat karena dia tak mengenakan sandal sementara aspal terasa begitu panas.

“Tak lama orang-orang berusaha lagi untuk angkat. Lalu adik datang, ‘uni, abang kayaknya tidur, sudah capek’,” katanya. “Ternyata Abang sudah meninggal dari jam 1 siang,” isaknya. Gempa sendiri terjadi pada Jumat sore, dan suami Karmel meninggal Sabtu sore.

Perjuangan Karmel Belum Berhenti Sampai di Sini

Beberapa hari kemudian jenazah Almarhum Alfian baru bisa dievakuasi. Hari pertama, sudah dicoba untuk menarik kaki almarhum dengan katrol, namun belum juga berhasi. Hari kedua dibantu oleh para tentara, tapi tak bisa juga. Hari ketiga, datang anggota Basarnas dan PMI, namun tetap tak berhasil.


Joe Riadi (kanan) dan Sudarman Lim, relawan Tzu Chi memberikan arahan dan penjelasan kepada warga di Aula Baruga, Taman Vatulemo, Kota Palu.

Hari keempat masuklah alat berat, tapi hanya bisa menjangkau Jalan Manggis Bawah. Hari kelima, alat berat baru benar-benar bisa masuk, tapi di hari keenam, Karmel baru dapatkan bantuan tersebut di tengah banyaknya orang yang juga meminta bantuan.

“Tidak tahunya kaki suami saya tertusuk pagar besi. Makanya tak bisa ditarik,” katanya. Esoknya jenazah kemudian disalatkan, dan dikuburkan sehari kemudian di Pekuburan Umum Balaroa.

Empat hari setelah menguburkan sang suami, Karmel yang menumpang di rumah adiknya baru menengok rumahnya di Perumnas Balaroa. Jika banyak rumah di Balaroa yang tak bisa dikenali lagi di mana posisinya, rumah Karmel masih bisa dikenali. Sementara itu mobilnya yang sebagian badannya sebelumnya menancap ke tanah, sudah dijarah orang dengan memotong bagian-bagian pada mobil.

Kini lebih dari satu tahun berlalu

Sebelum tinggal di Huntara Duyu bersama para kerabatnya, termasuk Nasrizal Nasotan, lebih dari setahun Karmel menumpang di rumah adiknya. Bersyukur ada bantuan dari Persatuan Orang Padang berupa uang yang ia gunakan sebagai modal untuk berjualan lagi. Sebelumnya Karmel dan Suami yang asli Padang merantau ke Kota Palu dan membeli rumah di Perumnas Balaroa pada tahun 1998. Rumah itu sudah sejak awal mereka lunasi.


Relawan Tzu Chi menempelkan nomor rumah di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tadulako, Palu, Sulteng.

“Sebelum gempa saya jual obat-obatan dan pakaian. Kan habis tenggelam semua, rumah dalam keadaan terbakar, tidak bisa diambil apa-apa,” katanya.

Karmel berjualan di Pasar Biromaru, Sigi dua kali dalam sepekan. Pasar tersebut berjarak sekitar 10 kilometer dari Huntara Duyu. Ia pulang dan pergi menumpang dengan tetangga yang memiliki mobil. Biasanya Karmel berangkat pukul 6 pagi dan berjualan hingga pukul 12 siang. Sementara itu pendidikan anaknya, Muhammad Dian Zulham yang semester 3 jurusan kehutanan juga terus berjalan dan mendapatkan bantuan dari pihak kampus.

Satu hal yang sangat dinantikan Karmel adalah apakah ia bisa mendapatkan bantuan rumah Tzu Chi di Tondo, setelah mengikuti proses verifikasi oleh Tzu Chi Indonesia pada Agustus 2019 yang lalu.

“Tondo jauh sih jauh tapi biarlah yang penting ada. Kalau mengontrak biaya lagi kan. Itu yang dipikirkan lagi,” katanya.


Setiap rumah akan dilengkapi dengan tempat tidur susun. Relawan bekerjasama menurunkan tempat tidur untuk 553 rumah yang telah diberi nomor rumah.

Mimpi Itu Tinggal Selangkah Lagi

Tahun baru 2020, harapan baru. Hal ini yang juga dirasakan oleh 553 warga Kota Palu seusai menandatangani Surat Perjanjian Calon Penghuni Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah pada Sabtu dan Minggu, 11-12 Januari 2020. Karmel adalah salah satunya. Surat perjanjian itu ditandatanganinya di hari Sabtu, bersama beberapa warga Huntara Duyu lainnya. Bersama itu pula kepastian rumahnya nyata. Blok C-8 nomor rumah yang bakal ditempatinya nanti.

Hatinya penuh sukacita, meski rasa sedih tetap membayanginya. Hatinya senang karena kepastian memperoleh rumah baru kini semakin nyata, dan rasa sedihnya kerap muncul ketika mengingat keluarganya tak utuh lagi. Apalagi saat sesi foto bersama, di mana Karmel hanya bisa berfoto bersama buah hatinya saja. “Senang, Alhamdulillah bakal bisa punya rumah lagi, tapi sedih kalo ingat suami,” ungkapnya haru.


Kondisi Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tadulako. Untuk tahap pertama ini ada sebanyak 577 rumah yang sudah akan selesai dan siap dihuni.

Bahkan, 6 bulan pascamusibah, Karmel kerap melamun dan menyesali nasibnya. Beruntung bermodalkan tekad dan semangat, juga dukungan dari keluarga dan donator lainnya, Karmen kemudian mulai kembali melanjutkan usahanya, berdagang kecil-kecilan. “Kalau dulu dagang pakaian dan obat-obatan, kalo sekarang obat-obatan saja,” ungkapnya. Meski tak seramai dan sebesar dulu pendapatannya, setidaknya kesibukan ini bisa pelan-pelan mengubur kesedihannya.

Kini Karmel sudah lebih ikhlas dan sabar. “Harus sabar, ini ujian, mau diapakan lagi, jalani saja, toh banyak yang ngalamin bukan kita aja. Dan Alhamdulillah, (sekarang) dah mulai ada terbuka jalan, bisa mulai usaha dan dapat rumah juga,” ungkapnya. 

Karmel bersyukur, di tengah-tengah musibah yang menimpanya dan warga Palu lainnya, banyak pihak-pihak yang peduli dan perhatian kepada mereka. “Terima kasih banyak ke Yayasan Buddha Tzu Chi, sudah dibantu, dan diberi rumah. Bahagia, Alhamdulillah, saya akan jaga dan rawat rumah ini,” ungkapnya.


Artikel Terkait

Kita sendiri harus bersumbangsih terlebih dahulu, baru dapat menggerakkan orang lain untuk berperan serta.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -