Ketegaran Seorang Ibu
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta WulandariRelawan Tzu Chi secara berkala melakukan kunjungan ke rumah keluarga Marsel untuk terus memberikan semangat dan motivasi bagi mereka agar tetap menjalani kehidupan dengan penuh syukur.
Dalam salah satu ceramahnya, Master Cheng Yen berkata bahwa “Penyakit merupakan sumber kemiskinan. Orang yang menderita penyakit tidak akan mampu mencari nafkah, dan orang yang kaya pun bisa jatuh miskin jika digerogoti penyakit.” Hal tersebut kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Seperti kisah keluarga Marsel Chandra (55) yang berjibaku melawan keputusasaan.
Kala itu usia Marsel belum genap 50 tahun saat dirinya terserang stroke. Penyakitnya itu memaksanya meninggalkan pekerjaannya sebagai kontraktor. Sedangkan istrinya, Tan Kwie Hwa, terpaksa menjadi satu-satunya tumpuan keluarga karena kedua anaknya pun menderita penyakit talasemia (kelainan darah) sejak kecil.
“Sempat saya putus asa. Putus asa dan sedih yang tak ada habisnya karena melihat suami saya terbaring koma, sementara dua anak saya tidak jauh lebih sehat dari papanya,” ucap Wawa (55), panggilan Tan Kwie Hwa yang meratapi nasibnya, menjadi satu-satunya orang yang masih sehat dalam keluarga.
Malvyn (baju putih), anak kedua dalam keluarga terlihat pucat karena belum menjalani tranfusi darah. Penyakit talasemia (kelainan darah) yang diderita Evelyn dan Malvyn mengharuskan mereka melakukan tranfusi darah secara berkala untuk menjaga kadar darah dalam tubuhnya. Sementara itu, Wawa (baju batik) terlihat lebih kurus setelah menjalani operasi kanker ovarium.
Evelyn menunjukkan contoh desain yang pernah ia kerjakan. Walaupun dalam kondisi kesehatan yang tidak stabil, semangat Evelyn dalam menempuh pendidikan tidak pernah membuat orang tuanya kecewa. Kini ia telah menyelesaikan studi arsiteknya dan telah mendapatkan pekerjaan freelance.
Delapan tahun lalu, Wawa memulai mempelajari arti kehidupan kala Marsel terserang stroke yang membuat pembuluh darah di kepalanya pecah. Kejadian pada Mei 2008 tersebut masih diingat oleh Wawa. “Rasanya semua jalan itu buntu,” ucapnya lirih sembari menyeka air mata. Tapi bagaimanapun kondisi hidupnya kala itu, Wawa hanya berserah dan menjalani kehidupan yang harus ia jalani.
Dua hari setelah menjalani koma, sang suami sadar dengan keterbatasan motorik pada tubuh bagian kirinya. “Dia nggak bisa ngapa-ngapain. Makan aja dari infusan sampai berbulan-bulan,” kata Wawa. Walaupun dengan kondisi yang masih tidak berdaya, namun ada rasa syukur kala melihat suaminya kembali membuka mata.
Berperan Sebagai Ahli
Merawat mereka yang sakit bukanlah hal yang mudah. Itu yang dirasakan oleh Wawa. Seringkali ia terbawa emosi. Namun apa boleh buat. Suami dan anak-anaknya adalah alasannya untuk belajar dalam kehidupan, belajar bersabar dan berperan sebagai ahli. “Satu perhatian kecil sangat berarti untuk mereka yang sakit,” tukasnya.
Pada 2008, Marsel mengalami stroke yang membuat tubuh bagian kirinya kehilangan fungsi gerak. Hal tersebut membuat Wawa harus berjibaku menghadapi sulitnya kehidupan sampai akhirnya keluarganya bertemu Tzu Chi.
Setelah mengenal Tzu Chi, Marsel turut ikut dalam kegiatan pelestarian lingkungan melalui Depo Pendidikan Pelestarian Lingkungan Tzu Chi Duri Kosambi. Di depo tersebut, Marsel dapat bersumbangsih untuk sesama sekaligus melatih gerak tubuhnya.
Untuk mendukung kesehatan suaminya, ia mau tidak mau memaksa Marsel untuk melakukan terapi guna meregangkan syaraf motoriknya. Tidak hanya itu, di pertengahan tahun 2009, Wawa mengajak Marsel yang masih belum berani berjalan sendiri untuk berjalan-jalan pagi ke taman. Sesampainya di sana, Wawa meninggalkan Marsel sendiri. “Biar dia berani jalan sendiri,” kata Wawa terkekeh sementara Marsel pulang dengan berpegangan dari pagar ke pagar rumah tetangganya. Sejak saat itu, kepercayaan diri Marsel tumbuh lagi dan belajar berjalan setiap paginya.
Perhatian yang sama juga diberikan Wawa untuk anaknya, Evelyn (24) dan Melvyn (21), yang mengidap talasemia sejak lahir. Wawa sangat fokus pada kesehatan mereka, terlebih Evelyn dengan talasemia yang lebih parah dari adiknya. “Saya selalu menemani anak saya pergi ke sekolah hingga universitas. Itu dukungan saya hingga kini Evelyn lulus kuliah dengan nilai yang memuaskan,” terang Wawa.
Dulu, setiap kali mengantarkan Evelyn ke kampus, ia harus menuntun putri sulungnya tersebut dari lokasi parkir hingga kelas yang dituju. “Sebentar-sebentar berhenti karena Evelyn mudah sekali capek.” Tak jarang mereka berhenti di kelas kosong untuk duduk atau beristirahat di depan kelas. Wawa juga sering mendorong anaknya dengan kursi roda kala kondisi kesehatan Evelyn sedang menurun. Tapi semangat Evelyn untuk belajar tidak pernah pupus, itu yang membuatnya mendapatkan beasiswa sejak awal masuk kuliah.
Bulan Mei 2016, Evelyn akan diwisuda dengan gelar Sarjana Arsitektur lulusan Universitas Tarumanagara. Hal tersebut sangat membanggakan bagi keluarganya karena ia bisa meraih gelar tersebut dan mengalahkan sakit yang dideritanya. “Kalau lagi kumat, hb-nya (hemoglobin) rendah sekali. Jadi kita harus transfusi darah bisa sampai 6 kantong yang tentu harganya tidak murah,” jelas Wawa. Semangat Evelyn pula yang membuatnya tidak berhenti berharap dalam keputusasaan.
Menyiasati Kebutuhan Keluarga
Sementara ia mengurus kesehatan anak dan suaminya, Wawa pun harus berperan sebagai kepala rumah tangga dan memenuhi kebutuhan ekonomi harian. Ia tak ingin berdiam dan hanya mengandalkan tabungan yang mulai menipis atau bantuan dari sanak famili.
Pernah satu waktu, ia ditawari untuk membuat pita-pita, permintaan dari pegusaha percetakan undangan perkawinan yang dihargai 30 perak (rupiah) per pitanya. “Saya terima, karena bisa jadi pemasukan keluarga,” katanya. Sehari ia bisa menghasilkan sekitar 20 sampai 30 ribu. Selain itu, ia juga pernah membuat manik-manik dan pernak-pernik bunga mawar yang digunakan untuk baju-baju perkawinan dengan harga 50 perak per buahnya. “Waktu itu mah nunduk aja seharian biar dapet banyak,” ujarnya tertawa.
Pada awal tahun tahun 2015, Wawa mencoba sebuah peruntungan dengan berjualan nasi bakar dan lontong. “Awalnya karena ada tetangga yang tanya di mana ada jual nasi begana. Kalau di daerah sini kan nggak ada. Jadi saya coba bikinin dan dia bilang enak,” cerita Wawa. Masa kecil yang ia habiskan di wilayah Senen, Jakarta Pusat membuatnya akrab dengan jajanan khas yang banyak dijajakkan di sana, termasuk nasi begana.
Dengan keterbatasan resep masakan yang ia ingat, ia akhirnya menolak untuk menamakan masakannya sebagai nasi begana. “Akhirnya kami kasih nama nasi bakar aja,” tuturnya kembali tertawa. Setiap pagi, Marsel yang belum pulih mencoba membantu Wawa sebisanya. Walaupun kemampuan gerakan bagian tubuh sebelah kirinya masih terbatas, ia tak sampai hati melihat istrinya berjuang sendiri. Marsel pula yang bertugas berjualan di pasar sementara Wawa bertugas memasak di rumah. Kala itu, ia merasa kehidupannya mulai membaik. “Tuhan sangat baik pada kami,” ucapnya bersyukur.
Kembali Jatuh
Satu pagi di bulan Agustus 2015, Wawa terbangun dari tidurnya seperti biasa. Tangannya tak sengaja memegang perut bagian kanannya. “Saya raba kok ada benjolan,” katanya sembari bertanya-tanya. Evelyn kemudian menyarankannya untuk pergi ke Puskesmas. Wawa setuju dengan anaknya dan segera memeriksakan kondisinya kesehatannya.
Di Puskesmas, Wawa mendapat rujukan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit karena pihak Puskesmas tidak bisa menangani. “Mereka bilang saya kena kanker. Saya kaget nggak percaya,” ucap Wawa. Ia kemudian dirujuk ke rumah sakit dan dibekali dengan surat bedah. Di rumah sakit, ia mendapati pernyataan yang sama. Ia divonis menderita kanker ovarium. “Tubuh saya itu sampai terasa goncangannya besar sekali. Berdiri aja getar rasanya. Melayang. Saya cuma bilang, ‘Tuhan, apalagi yang harus saya pelajari?’Masalah yang satu sudah terlewati, sekarang ada pelajaran lagi yang harus saya pelajari,” tutur Wawa terisak.
Wawa pasrah. Ia takut sekaligus cemas. Perasaannya campur aduk. “Siapa yang akan mengurus keluarga kalau ia tak kunjung sembuh,” pikirnya. Marsel kala itu juga tak kalah cemas melihat wanita kuat yang telah merawat keluarganya itu tumbang. Sementara itu mereka sudah tidak mempunyai tabungan yang cukup untuk melakukan pengobatan.
Keluarga Baru
Di tengah kekalutan yang kembali datang, Marsel bertemu dengan salah satu pedagang di pasar yang bercerita mengenai Tzu Chi. “Si Engkoh (pemilik toko-red) ada bilang kalau coba ajukan bantuan aja ke Tzu Chi, siapa tahu bisa bantu,” ucap Marsel. Ia lalu mengikuti saran temannya dan benar saja, tidak lama kemudian ada sekelompok relawan Tzu Chi datang mengunjungi rumahnya.
“Yang datang Johnny Chandrina dan relawan lainnya. Mereka tanya mengenai pemasukan dari mana, biaya hidup sehari-hari, dan lain-lain,” ingat Marsel. Dalam kunjungan tersebut, relawan tak langsung menerima permintaan bantuan dari Marsel. Ia pun harus menunggu beberapa waktu. Namun ketika Tzu Chi menyatakan akan membantu keluarganya, ia menangis penuh syukur. “Begitu tahu kalau dibantu, syukur saya nggak ada habis-habisnya,” tambah Wawa.
Semenjak Wawa menjadi penerima bantuan Tzu Chi, relawan sering datang ke rumah untuk menjenguknya hingga ia menjalani operasi pada 17 Desember 2015 lalu. Mereka memberikan perhatian, penghiburan, dan juga semangat. “Saya yakin sih walaupun kita dalam keadaan sakit, tapi kalau ada saudara atau teman yang datang pasti ada kesenangan di hati karena masih ada yang peduli, ada yang temenin, ada perhatian dan keluarga baru,” imbuh Wawa.
Selain itu, Wawa juga senang karena setelah mengenal Tzu Chi suaminya menjadi sering ikut kegiatan daur ulang di Depo Pendidikan Pelestarian Lingkungan Duri Kosambi. “Di depo, saya bisa ikut pilah daur ulang sekaligus melatih otot bagian kiri biar bisa bergerak,” ucap Marsel. Ia pun menyadari bahwa bekerja daur ulang bisa memberikan manfaat bagi lingkungan dan orang banyak. “Dari pada saya cuma duduk diam di rumah, lebih baik saya ikut daur ulang karena banyak manfaatnya,” imbuh Marsel.
Tekad untuk Bersumbangsih
Johnny Chandrina sendiri merasa salut dengan semangat Wawa dan keluarganya. “Mereka ini masih penuh berkah karena bisa menerima keadaan dengan lapang dada,” katanya. Marsel yang dulunya seorang kontraktor dengan penghasilan dan kehidupan yang serba kecukupan ternyata bisa menerima kenyataan kala ia “jatuh” (menjadi kurang mampu secara ekonomi) karena penyakitnya. Sebaliknya, Wawa dengan penuh kesetiaan dan kasih sayang tak henti merawat keluarga.
Dalam perjalanan baru yang mereka tempuh dalam kehidupan, Wawa telah merangkai mimpi dan tidak ingin melupakan perjalanan hidupnya. Ia juga ingin membalas begitu banyak kebaikan yang datang menghampiri keluarganya. Dengan kemampuan anak pertamanya dalam bidang arsitektur dan anak keduanya di bidang perhotelan, Wawa merajut harapan untuk membangun satu tempat yang bisa digunakan untuk membantu orang yang membutuhkan. “Saya bilang ke Evelyn dan Malvyn, gimana nanti kalau kamu bikin tempat yang bisa bantu orang ya, Kak, trus Dedek yang supply makanannya, semua vegetaris. Jadi kita bisa kerja sama dengan Tzu Chi,” ucapnya gembira.
Impian Wawa tersebut bukan tiada sebab, namun salah satu kata perenungan Master Cheng Yen lah yang menjadi pemicunya. “Master bilang, ‘Bila kita bersatu, semakin banyak yang kita dapatkan dan semakin banyak pula yang bisa kita berikan untuk orang lain’. Kami pun nanti ingin membantu orang lain,” ucapnya pasti.