Keteguhan Hati Seorang Ibu
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto * Ngatmi (kiri) bersama Winda dan anak bungsunya. Sebagai ibu, Winda selalu berusaha memberi semangat kepada Fitria, putrinya yang mengalami kekurangan fisik sejak kecil. | Dengan jilbab putih, berdaster panjang hijau kembang-kembang, Ngatmi, istri Sekretaris RT 13 Waru Doyong, Kelurahan Jatinegara, Jakarta Timur telah berdiri menunggu kedatangan saya. Sehari sebelumnya, kami telah sepakat untuk bertemu. Begitu sampai, ia langsung membawa saya menuju rumah Fitria, menyusuri gang kecil berliku yang lebarnya tidak lebih dari dua meter. Beberapa anak-anak kecil terlihat saling berkejaran, beberapa lagi sedang membelanjakan uangnya di warung. Setelah tiga menit menyusuri gang berliku, akhirnya kami sampai di rumah Fitria yang berada tepat di sebelah warung kecil. |
Windawati, orangtua Fitria langsung menyambut saya dengan jabat tangan dan mempersilakan masuk. Di ruang tamu sudah ada gadis remaja berambut lurus panjang, kulit putih, mengenakan kaus hijau, dan bercelana pendek merah jambu. Duduk di lantai, kaki kanannya dilipat ke belakang sementara kaki kirinya dibiarkan terlentang. Tatapannya diarahkan ke bawah sambil menyunggingkan senyum. “Itu dia Fitria,” kata Ngatmi sambil menunjukkan jarinya ke arah gadis itu. Tak lama kemudian, kami memasuki ruang tamu. Setelah saling berkenalan, ibu Windawati mulai menceritakan tentang kondisi keluarganya dan keadaan Fitria. Fitria yang memiliki nama lengkap Fitria Eka Supriatna adalah anak pertama dari empat bersaudara. Menurut Winda, saat bayi (usia 10 bulan -red) Fitria pernah mengalami demam yang sangat tinggi hingga menyebabkan gangguan pada fungsi saraf motoriknya. “Dulu pernah panas tinggi, kata dokter kena sarafnya di otak,” jelas Winda. Setelah sakit itu, gerakan-gerakan motorik Fitria mulai terlihat mengalami gangguan, khususnya pada telapak kaki kirinya yang semakin lama semakin membengkok dan kaku. Gerak Fitria semakin terbatas, bahkan menurut Winda sejak kecil Fitria tidak pernah bisa berjalan dengan normal. Seolah kebebasannya telah terampas oleh kondisi fisiknya yang tidak sempurna. Menyadari hal itu, Winda segera memeriksakan kondisi Fitria ke dokter. Saran dokter, Fitria harus menjalani fisoterapi. Maka pada tahun 1995 Winda mendaftarkan Fitria untuk menjalani fisioterapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Sayangnya, terapi ini tidak dijalankan hingga tutas, Fitria hanya bisa mengikuti terapi ini selama 3 bulan. Biaya fisioterapi sebesar Rp 20.000,- setiap kali terapi terasa memberatkan bagi ayah Fitria yang pegawai biasa di salah satu perusahaan swasta. Dengan berat hati terapi itu dihentikan, Fitria pun harus rela menjalani hidup dengan keterbatasannya. Ibu Banyak Memberi Inspirasi Ket : - Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat Fitria terbatas dalam beraktivitas. Karena kekurangannya Menurut Winda, pengalaman terberatnya adalah saat Fitri duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP), kelasnya yang berada di lantai tiga membuat Winda harus mengeluarkan tenaga lebih untuk menggendong Fitri menuju lantai tiga. Meski terasa berat, Winda tidak meminta keistimewaan kepada pihak sekolah untuk memindahkan kelas Fitri di lantai dasar, karena Winda tetap menganggap anaknya harus bisa mengikuti peraturan anak-anak normal. “Tidak enak minta pindah kelas, kan yang anaknya ga bisa jalan cuma Fitri, yang lainnya normal. Saya tidak mau mendapatkan perlakuan istimewa untuk Fitri,” terang Winda. Sejak SD hingga SMP adalah masa-masa yang sulit bagi Fitria. Sulit beradaptasi dengan teman-teman sekolah dan sulit menerima kenyataan bahwa dirinya yang tidak sempurna. Ejekan dan makian adalah kata-kata yang sering diterimanya. Kesedihan selalu mengiringi hari-hari Fitria, namun air mata tidak pernah ia teteskan di hadapan teman-tamannya. Menyadari secara fisik lemah, Fitria menguatkan ketegaran hatinya. “Mama selalu menyemangati Fitri kalau Fitri sedih, jadi Fitri kembali punya harapan,” akunya dengan terbata-bata. Ritme nafasnya mulai memburu cepat, dan tatapan matanya ia jatuhkan ke bawah. Sepertinya meski telah lama berlalu, kenangan itu masih dapat membangkitkan kembali kesedihannya. Winda selalu berkata kepada Fitri, “Sudah nggak usah diambil hati, kalau Fitri memang ingin maju tidak usah didengarkan, teruskan.” Selama ini Winda tak henti-hentinya menyemangati putrinya. “Karena Fitri orangnya perasa, kalau kena omelan dikit, atau ejekan dari teman-temannya dia langsung sedih, saya jadi menyemangati lagi,” ungkap Winda. Menurut Winda, saat sedih Fitria menyalurkannya di buku harian. Buku harian adalah sahabat terbaik Fitria selama ini. Kini tubuh Fitria telah tumbuh besar sebagai gadis remaja, membonceng Fitria dengan sepeda menjadi tidak mungkin lagi dilakukan Winda. Akhirnya sejak masuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Winda menggunakan kursi roda sebagai sarana membawa Fitri ke sekolah. Meski demikian, membawa Fitria ke Sekolah dengan kursi roda bukanlah hal mudah. Sebab selain jaraknya yang cukup jauh, kondisi jalan yang rusak membuat perjalanan ibu dan anak ini bagaikan sebuah perjuangan. Di tahun 1998, Winda membawa kembali Fitria untuk menjalani fisioterapi. Namun menurut Winda, terapi kali ini juga tidak membuahkan hasil sebab dananya kurang. Winda hanya bisa membawa Fitria terapi sebulan sekali dari yang semestinya seminggu sekali. Sampai di tahun 2002, terapi Fitria harus kembali dihentikan karena Ayah Fitria menerima Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari kantornya. Peristiwa ini membuat Fitria benar-benar harus merelakan harapannya untuk bisa sembuh. “Terkadang saya sering menyalahkan takdir, kok kondisi saya seperti ini.” Harapan menjadi pupus kembali, seolah-olah kebahagiaan kembali terampas. “tapi Fitri percaya pada Allah, mungkin sekarang kaya gini, nantinya bisa lebih baik.” Ket : - Gedung sekolah, tempat Fitria menimba ilmu. Meski jaraknya tidak terlalu jauh, namun kondisi jalan yang Pertemuan dengan Tzu Chi | |
Artikel Terkait
Donor Darah Tzu Chi Padang Memeriahkan HUT Mahkamah Agung
21 Agustus 2017Tzu Chi Padang bersama Palang Merah Indonesia Kota Padang turut memeriahkan hari ulang tahun Mahkamah Agung RI ke-72 yang jatuh pada Sabtu 19 Agustus 2017 dengan mengadakan donor darah.