Kisah Ahmad Husein (Bagian 1)
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Hadi Pranoto Dokter Kurniawan saat menerima celengan bambu yang telah penuh terisi dari Ahmad Husein. Sejak menerima bantuan Tzu Chi, Husein sudah mulai aktif menyisihkan uang sakunya di celengan bambu. | Dari kejauhan mobil truk colt diesel 120 ps yang dikendarai Nursiono itu sudah terlihat oleng. Sebentar berada pada jalur marka yang benar, sebentar kemudian keluar dari marka jalan. Nursio, begitu ia biasa dipanggil mengendarainya dalam kondisi mabuk. Setelah mengantarkan singkong dan mendapatkan uang, pria berambut ikal dan bertubuh kurus ini membelanjakan uangnya untuk menenggak minuman keras. Di kalangan sopir-sopir dan warga di daerah Ngablak, Pati, Jawa Tengah, Nursio dikenal sebagai sopir yang urakan. ”Kata-katanya kasar, suka menenggak minuman keras dan gemar berkelahi. Badannya kecil, tetapi nyalinya sing gede,” kata salah seorang warga Ngablak. |
Alkohol membuat kesadaran Nursio menjadi lemah. Perhatiannya menjadi tidak fokus pada jalan yang ia lalui. Padahal beberapa ratus meter ke depan adalah pertigaan Pasar Ngablak. Jalanannya menikung tajam, dan di sisinya banyak berdiri warung-warung dan tukang ojek yang mangkal. Warung sate Ahmad Subaidi berada persis di tengah-tengah pertigaan, segaris lurus dengan jalan raya Ngablak dari arah timur. Banyak orang menyebut letak atau posisi seperti ini dengan sebutan lokasi tusuk sate. Waktu itu sekitar pukul 8 malam, warung sate Subaidi sedang ramai-ramainya dikunjungi pembeli. Bila terus ramai, Subaidi bisa mendapatkan keuntungan bersih 30 – 40 ribu rupiah semalam. Saat sedang ramai, salah seorang pembeli memesan sebuah minuman dingin kepadanya untuk menemani hidangan satenya yang masih hangat. Sementara Subaidi masih sibuk di dalam warung, Ahmad Husein putra bungsunya yang masih berusia 10 tahun sudah menantinya di atas sepeda motor bebek Supra yang diparkir tepat di muka warung. Hari itu Husein mengenakan kaus berwarna biru dan bercelana pendek biru. Rencananya mereka akan pergi bersama untuk membeli es batu di depot es terdekat. Belum sempat Subaidi menghampiri anaknya, tiba-tiba, Dar….! Bruak…! Suara hantaman benda keras terdengar dari luar. Truk yang dikendarai oleh Nursio dari arah timur jalan menghantam sepeda motor Subaidi, membentur tubuh Husein dan menggilas kedua kakinya. Merantau ke Pati Selama 7 tahun berdagang di Jakarta, Subaidi merasa usahanya semakin sepi. Di tengah krisis yang sedang ia hadapi, salah satu kakak iparnya mengajaknya pindah ke Pati, Jawa Tengah untuk membuka usaha di sana. Subaidi pun menyetujui ajakannya. Akhirnya sekitar tahun 1999, Subaidi sekeluarga meninggalkan ibukota untuk merantau ke Pati. Di kota ini Subaidi mengontrak sebuah gubuk kecil sederhana di desa Ngablak. Sebagai orang baru di kota rantau, Subaidi tidak langsung membuka usaha, melainkan terlebih dulu membantu kakak iparnya yang juga berjualan sate Madura di Kota Pati selama setahun. Setelah memiliki cukup modal dan mendapatkan tempat, akhirnya Subaidi mulai membuka warung sate di pertigaan Pasar Ngablak. Ket : - Berdagang di pertigaan Pasar Ngablak, Pati, Jawa Tengah memberikan penghasilan yang cukup untuk Berdagang di pertigaan Pasar Ngablak memberikan penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga. Hal ini membuat Subaidi menjadi kerasan tinggal di Pati, sampai-sampai ia merasa telah menjadi bagian dari warga Pati. Tahun demi tahun ia lalui dengan damai sebagai pedagang di kota kecil, sampai pada 28 April 2007, keberuntungan berpaling darinya dan mengubah segalanya. Hari itu sejak pagi, semuanya berjalan seperti biasa. Husein pergi ke sekolah dan Subaidi mengolah daging ayam yang telah ia beli dari pasar untuk dijadikan sate. Tak ada yang janggal hari itu, hanya di siang hari sepulang sekolah Husein bercerita kepada Subaidi kalau ia hampir tertabrak mobil saat sedang menyeberang jalan. Subaidi hanya menyarankan kepada Husein agar lebih berhati-hati lagi di jalan. Selera makan Husein juga menurun. Makanan yang telah dihidangkan tidak ia habiskan. Bahkan kebiasaan Husein yang selalu menagih uang jajan tidak dilakukannya sore itu. Subaidi masih tidak memiliki firasat buruk terhadap Husein, ia hanya melihatnya sebagai reaksi wajar dari seorang anak-anak. Sekitar pukul 4 sore, seperti biasa Subaidi, Rohmah, dan Husein pergi ke pertigaan Pasar Ngablak untuk membuka warung. Husein memang selalu diajak berdagang oleh Subaidi, sebab bila tidak diajak ia hanya sendirian di rumah. Kakaknya yang laki-laki sudah bekerja di Jakarta, sedangkan kakaknya yang perempuan melanjutkan sekolahnya di Madura. Subaidi, Rohmah, dan Husein yang telah tiba di warung segera membenahi warungnya. Beberapa jam kemudian warung sate Madura Subaidi telah siap menerima pengunjung. Satu persatu pengunjung mulai berdatangan untuk membeli satenya. Kedaan hari itu memang ramai, sampai di pukul 8 malam tanpa diduga truk yang dikendarai Nursio menabrak Husein yang sedang duduk di atas sepeda motor. Ket : - Relawan Tzu Chi, Oey Hoey Leng memberikan cindera mata berupa alat tulis, buku, dan snack. Saat Subaidi menghampiri truk, posisi Husein sudah berada di belakang ban depan, di bawah kolong truk. Darah dari kaki Husein telah tumpah membanjiri tanah. “Sein…!” teriak Subaidi. Perasaannya langsung terkejut namun masih tetap tenang. Nalurinya memerintahkan untuk menyeret tubuh Husein dari kolong truk. Husein hanya bisa menangis dalam menahan sakit. Siti Rohmah langsung menangis histeris dan tak sadarkan diri setelah menyaksikan tragedi yang menimpa putra bungsunya. Beberapa orang datang berkumpul mengerumuni lokasi kecelakaan. Subaidi segera mengeluarkan tubuh Husein dari kolong truk dan memapahnya. Nursio melihatnya sebagai sebuah kesempatan. Maka saat orang-orang tengah lengah, ia langsung memundurkan truknya mengambil ancang-ancang untuk kabur. Melihat tindakan Nursio, warga yang berada di lokasi kejadian menjadi marah. Mereka langsung melempari truk Nursio dengan batu, tetapi Nursio tak menghiraukannya. Ia justru menambah kecepatan truknya untuk meninggalkan kerumunan itu. Subaidi masih tidak menghiraukan Nursio yang kabur. Ia hanya berkonsentrasi untuk mencari kendaraan untuk membawa putranya ke rumah sakit. Dengan menumpang sebuah truk colt diesel, akhirnya Subaidi berhasil membawa Husein yang tengah payah ke rumah sakit Kristen Tayu, Pati. Sesampainya di sana, ternyata pihak rumah sakit menolaknya, dengan alasan keterbatasan peralatan dan tenaga medis untuk menangani luka Husein yang berat. Pihak rumah sakit justru menyarankan kepada Suabidi agar Husein dibawa ke Rumah Sakit Suwondo, Pati. Mengejar Nursio, Menanti dengan Gelisah Beberapa kilometer dari kantor polisi, Subaidi dan Rohmah masih bergelut dengan kecemasan dalam dingin dan sunyinya malam. Di rumah Sakit Suwondo, mereka menyerahkan nasib anaknya kepada tim medis untuk melakukan tindakan pengobatan. Luka Husein tergolong parah. Kedua tulang keringnya remuk, sebanyak 10 cm tulangnya hilang, dan dagingnya juga ikut hancur. Ket : - Setelah kecelakaan, Husein sempat tidak bersekolah selama 1 tahun. Aktivitasnya banyak ia habiskan Menurut dokter, pengobatan Husein tidaklah mudah. Tetapi yang jelas membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Maka esok harinya subaidi segera mendatangi kantor polisi untuk bertemu dengan Nursio dan meminta pertanggungjawaban darinya. Di hadapan Subaidi, salah seorang polisi mengajukan pertanyaan, “Kamu nabrak anak orang gimana caranya, mabuk apa ngantuk, sengaja apa ndak?” “Ya, saya mabuk, Pak,” jawab Nursio. Kemudian polisi itu melanjutkan, “Kalo sopir mabuk itu ndak boleh! Di undang-undang itu ndak boleh, kamu mau ndak ditahan 12 tahun?” “Ndak pak,” jawab Nursio. “Kalo ndak mau, bisa tanggung jawab apa ndak?” tegas polisi itu. “Tanggung jawab, Pak,” jawab Nursio. “Kalo kamu bisa tanggung jawab, ya nanti orangtuanya dipanggil ke sini semua,” terang Polisi. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan dan demi kebaikan bersama Polisi pun kembali menahan Nursio sampai pertanggung jawabannya bisa dibuktikan. Tidak hanya niat baik Nursio yang dinantikan oleh Subaidi, keputusan dokter dalam penanganan Husein juga dinantikannya dengan penuh harap. Setelah dua hari dirawat di Rumah Sakit Suwondo, seorang dokter menyatakan tidak mampu berbuat lebih banyak dalam menangani luka Husein selain mengamputasi kedua kakinya. Karena Subaidi tidak bersedia menandatangani surat pernyataan untuk amputasi, akhirnya dokter itu menyarankan agar Husein dibawa ke Rumah Sakit Islam Kustati, Solo. Setelah mendapat surat rujukan pada tanggal 29 April 2007, Subaidi bergegas membawa Husein untuk melanjutkan pengobatan di Rumah Sakit Kustati. Di rumah sakit ini Subaidi langsung memasukkan Husein ke bagian khusus bedah tulang. Seorang perawat di bagian ini bertanya, “Ini kecelakaan apa?” “Kecelakaan tertabrak truk,” jawab Subaidi. “Loh kok sampai begitu truknya?” tanya perawat itu kembali. “Ya supirnya mabuk,” jawab Subaidi. Perawat itu kembali mempertegas, “Ini pertamanya masuk rumah sakit mana?” “Ya, pertamanya di Rumah Sakit Tayu, trus dipindah ke Rumah Saki Suwondo, Pati,” terang Subaidi. “Lalu lama di Pati?” “Ndak, cuma dua malam. Di sana dokternya tidak bisa menangani, (jadi) saya minta surat keterangan pindah ke Solo.” “Oh ya, kalau gitu yang penting kamu sabar. Di sini bisa juga nangani. Nanti ditangani oleh dokter Tunjung. Nanti kalau bertemu dengan dia jawabannya jangan berubah,” saran perawat. Bersambung... | |