Kisah Ahmad Husein (Bagian 2)
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Hadi Pranoto Relawan Tzu Chi Jakarta tengah menghitung uang hasil tabungan Ahmad Husin yang akan disumbangkan ke Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. | Senin, 1 Mei 2007. Dokter Tunjung mulai melakukan pemeriksaan pada luka Husein. “Berapa hari ini?” tanya Tunjung kepada Subaidi. “Baru satu malam, Pak. Memang waktu itu saya masuk ke sini tuh hari Sabtu, Minggunya tutup,” jawab Subaidi. “Di Pati itu gimana?” Tunjung kembali bertanya. “Tidak bisa, Pak. Di sana mengajukan untuk diamputasi,” jelas Subaidi lirih. “Kemari itu atas dasar kamu sendiri apa dari dokter? “Ya saya minta surat izinnya dari dokter untuk pindah kemari, Pak. Cuma saya ditanya mau dipindah ke Semarang apa ke Solo. Saya minta di Solo biar ditangani oleh dr Tunjung,” terang Subaidi. ”Oh, ya kalau mau di sini yang penting sabar kamu itu. Memang anaknya begitu parah. Ya sudah saya bisa tangani,” jawab Tunjung membesarkan hati Subaidi. |
Untuk mengobati tulang Husein yang telah remuk, satu-satunya cara yang disarankan oleh dr Tunjung adalah operasi. Biaya operasi saat itu tidaklah sedikit, yaitu Rp 20 juta. Maka beberapa hari kemudian, di kantor kepolisian perkara Nursio kembali dilanjutkan—dihadiri orangtua Nursio dan disaksikan pihak kepolisian. Di atas surat bermaterai, Nursio menyanggupi akan menanggung semua biaya yang keluar selama pengobatan Husein. Beberapa hari kemudian, orangtua Nursio kembali datang ke kantor polisi untuk menyerahkan sejumlah uang yang dibutuhkan Subaidi untuk mengoperasi anaknya. Uang ini diperoleh orangtua Nursio dari menjual truk dan beberapa aset kepunyaannya. Hari itu Nursio pun dibebaskan dari tahanan. Dengan uang yang diterima dari Nursio, operasi Husein akhirnya dapat dilaksanakan. Menangani luka Husein memang tidak mudah, terlebih menyambungkan tulangnya yang telah hilang sebanyak 10 cm. Untuk mengatasi persoalan ini, dr Tunjung memasangkan pen di antara kedua tulang dan membiarkan kedua tulang itu bertemu dan menyatu dengan sendirinya. Sebab menurut dr Tunjung, Husein masih dalam pertumbuhan dan tulangnya masih dapat tumbuh. Setelah operasi pertama berhasil dilaksanakan, kira-kira 20 hari berikutnya dokter melihat pemasangan pen di kaki Husein masih belum tepat. Husein terpaksa dioperasi kembali dengan biaya sebesar 7 juta rupiah. Hasil operasi kedua juga masih belum memberikan hasil yang maksimal. Sampai pada operasi keempat, akhirnya dr Tunjung menyarankan agar Husein dibawa pulang mengingat biaya perawatan di rumah sakit yang terus membengkak. Selama dua bulan dirawat di rumah sakit dan menjalani empat kali operasi, sedikitnya Nursio telah mengeluarkan uang sebanyak Rp 50 juta. Sepulang dari rumah sakit dan menjalani rawat jalan, Nursio sudah mulai menampakkan ketidaksanggupannya dalam memberikan semua tanggungan pengobatan. Pengecekan rutin Husein yang semestinya dijalankan seminggu sekali terkadang tertunda sampai dua minggu. Untuk perjalanan dari Pati ke Solo memang jauh, membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam. Itu pun harus menggunakan mobil sewaan yang sekali jalan bisa mengeluarkan ongkos Rp 400 ribu, belum lagi biaya pemeriksaan dan obat. Keadaan ini membuat Nursio akhirnya menyatakan ketidaksanggupanya untuk membiayai pengobatan Husein sampai tuntas. “Gimana caranya? Tadinya kan kamu bilang tanggung jawab, kok sekarang ga bisa tanggung jawab?” tanya Subaidi dengan geram. “Ya memang keadaan saya tidak bisa, apa yang mau dijual lagi. Saya sudah angkat tangan,” balas Nursio pasrah. “Kalau begitu bagaimana pertanggungan itu?” Subaidi kembali bertanya. “Ya sudah sekian aja,” balas Nursio. Jawaban Nursio yang pasrah membuat Subaidi tidak mampu berbuat apa-apa, selain juga ikut pasrah. Ket : - Ahmda tengah menuliskan namanya untuk dimasukkan bersama uang tabungannya. Hasil celengan Ahmad Permohonan ke Tzu Chi “Pak, nanti urusannya sama Wanto. Ini kan masih ada sangkut paut dengan sopir, kalau benar-benar lepas dari segala kewajiban hukum kita bisa bantu. Tapi pastikan sopirnya benar-benar sudah tidak mampu lagi untuk membawa Ahmad Husein ke penyembuhan. Karena bagaimana pun si sopir ini juga kita berharap dia selain tanggung jawab juga ada kepedulian. Sebab tujuan bantuan ini bukan sekadar membantu meringankan tetapi juga menumbuhkembangkan kepedulian,” jelas Prasetyo. “Saya kalau mau keras, malah nanti bisa ndak dibantu, orangnya mungkin malah ga bisa bantu. Tetapi kalo saya ga keras dia malah ga mau peduli,” terang Subaidi kepada Prasetyo. “Bukan dengan cara yang keras, tapi dirundingkan sebaik mungkin dan membawa beberapa orang sebagai saksi. Kalau perlu didepan kepolisian kalau sopir ini benar-benar tidak mampu. Kalau sudah clear baru kita lanjutkan,” kata Prasetyo. Selesai perbincangan, hari itu juga Prasetyo bersama Subaidi langsung melihat keadaan Husein di rumahnya. Pertama kali Prasetyo melihat Husein, kondisinya cukup mengenaskan. Luka kakinya hanya dibalut dengan perban dan dilumuri cairan obat luka. Pernah karena tidak adanya biaya, luka Husein hanya diobati dengan memakai tepung sagu yang dipupuri di sekitar lukanya. Setelah melihat keadaan yang sebenarnya, Prasetyo menyarankan kepada Subaidi agar ia segera mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari RT, RW, dan kelurahan. Jika semuanya lengkap, dokumen ini bisa segera diserahkan kepada Suwanto (kini almarhum –red), relawan Tzu Chi Pati untuk ditindaklanjuti. Tidak lama setelah kunjungan itu, Prasetyo sudah memperoleh berkas yang lengkap dari (alm) Suwanto. Dengan berkas itu Prasetyo segera membawa kasus ini ke Jakarta. Tanggal 28 November 2007, kasus pengobatan Husein dibawa ke dalam meeting. Hasilnya Tzu Chi menerima Husein sebagai pasien yang akan diberikan bantuan. Maka Prasetyo segera kembali ke Pati untuk memberitahukan kalau permohonan bantuan pengobatan Husein telah disetujui. Sebelum Prasetyo menyerahkan bantuan kepada Subaidi, ia terlebih dahulu menegaskan, “Pak, ini benar-benar orangtua si sopir sudah habis dana dan tidak mampu berbuat apa-apa?” “Iya, Pak,” jawab Subaidi. “Toh, kalau akhirnya Tzu Chi bisa memberi bantuan ke anak Bapak. Bukan berarti Tzu Chi mengambil alih tanggung jawab dari sopir atau orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab. Bukan, tetapi ini merupakan sesuatu bentuk jalinan yang dilakukan oleh Tzu Chi untuk menumbuhkembangkan kepedulian. Tujuannya setelah Bapak dibantu, Bapak nanti bersyukur. Bapak juga berterima kasih, trus juga muncul kepedulian terhadap orang lain. Nah disisi lain, Bapak juga bisa menyebarkan cinta kasih ini ke orang lain. Itu tujuan utamanya, Pak,” terang Prasetyo. Sabtu, 5 November 2007, Husein menerima bantuan dari Tzu Chi untuk melanjutkan pengobatan di Rumah Sakit Kustati, Solo. Selama menerima bantuan dari Tzu Chi, sedikitnya Husein telah menjalani dua kali operasi untuk pembenahan pemasangan pen. Selanjutnya, tanggal 8 Januari 2008, Tzu Chi kembali memberikan bantuan berupa susu berkalsium. Pemberian susu berikutnya pada tanggal 12 Maret 2008. Ket : - Assien, relawan Tzu Chi Jakarta mengajak Husein belajar bahasa isyarat tangan Tzu Chi (shou yu) Perhatian dan bimbingan terus diberikan oleh relawan Tzu Chi Pati kepada Subaidi dan Husein. Setelah beberapa kali Husein mendapatkan bantuan pengobatan dan makanan pemulih kesehatan, perlahan-lahan kesehatan Husein terlihat membaik. Saat kunjungan kasih relawan Tzu Chi Jakarta pada 6 Juni 2009, Husein sudah terlihat lebih baik. Ia sudah mampu berjalan dengan menggunakan tongkat. Tumit kakinya juga sudah tidak terasa sakit lagi. Meski jalannya masih terlihat pincang, tetapi perkembangan pemulihan tubuhnya sudah memberikan arti yang menggembirakan. Terutama bagi Subaidi dan relawan Tzu Chi yang telah berjuang memberikan bantuan dan perhatian. Menurut Nugroho, relawan Tzu Chi Pati, kini Subaidi sudah menunjukkan sikap kerelawanannya kepada pasien-pasien Tzu Chi yang ada di Pati. Selain ikut membantu dalam celengan bambu, Subaidi juga aktif membantu mencarikan mobil sewaan yang akan digunakan untuk membawa pasien berobat ke Solo. Subaidi juga seringkali menemani pasien Tzu Chi di Pati yang berobat ke Rumah Sakit Kustati. Selama dua bulan Husein dirawat di rumah sakit itu, ternyata membuat Subaidi memiliki banyak kenalan dokter, perawat, dan pegawai rumah sakit. Ini tentunya memberikan kemudahan bagi Subaidi untuk membawa pasien berobat di rumah sakit itu. Salah satu pasien yang pernah ditemani oleh Subaidi adalah Suyadi yang juga mengalami patah tulang dan Sri lestari yang mengalami keropos tulang. Agus Rijanto, relawan Tzu Chi mengatakan, “Tzu Chi bukanlah sekadar organisasi amal, tetapi sebuah organisasi untuk melatih diri. Menurutnya dalam setiap pemberian batuan, Tzu Chi selalu memegang pada prinsip tanggung jawab.” Tzu Chi memang kerap kali menanyakan berapa kemampuan yang bisa dilakukan oleh pasien dalam pengobatan dan Tzu Chi menambahi sisanya. Ini bertujuan bahwa Tzu Chi tidak hanya memberikan bantuan, tetapi juga melatih seseorang untuk memiliki kepedulian kepada dirinya sendiri dan orang lain. Karena menurut Agus, Master Cheng Yen mengatakan, “Kalau seseorang tidak dapat menyayangi dirinya sendiri, dia tidak bisa menyayangi diri orang lain.” Selanjutnya Agus menerangkan, “Dalam melatih diri sendiri, ada suatu semangat dimana seseorang berkomitmen pada diri sendiri. Komitmen pada diri sendiri merupakan tanggung jawab.” Selesai. | |
Artikel Terkait
Saling berbagi, Saling mengasihi
23 Agustus 2017Semangat Menyukseskan Pembagian Paket Imlek
08 Februari 2018Tzu Chi Lampung membagikan paket Imlek di tiga tempat, yakni Kampung sawah, Sukaraja dan Panjang. Sebanyak 195 Paket ini dibagikan, Minggu, 04 Febuari 2018.
PAT 2019: Terus Menyebarkan Cinta Kasih Universal di Seluruh Pelosok Negeri Tercinta
20 Februari 2020Tzu Chi Surabaya menyelenggarakan Pemberkahan Akhir Tahun 2019, dengan mengundang tamu istimewa yaitu para penerima bantuan. Selain sharing penerima bantuan, ada juga sharing dari relawan yang sama-sama menginspirasi.