Kisah di Balik Sebuah Tungku Api
Jurnalis : Budi Santoso (He Qi Utara 2), Fotografer : Budi Santoso (He Qi Utara 2)Relawan Hu
Ai Jelambar melakukan kunjungan kasih pada 14 Agustus 2016 ke beberapa rumah penerima bantuan. Rumah Julikam adalah satu dari beberapa rumah penerima bantuan yang dikunjungi. Di bagian teras rumahnya yang sempit tampak
sedikit asap putih mengepul yang timbul dari tungku masakknya.
Di zaman yang serba modern, di mana sebuah permainan dari gadget dapat memberikan sebuah efek global, serta banyak perkembangan teknologi lainnya yang memudahkan setiap pekerjaan manusia, ternyata masih ada orang yang menggunakan tungku api untuk memasak.
Hari itu dengan melihat sebuah tungku api, relawan belajar untuk kembali bersyukur dan hidup sederhana. Rasa syukur adalah rasa yang kerap mereka rasakan setiap usai mengikuti kegiatan kunjungan kasih. Melalui kunjungan kasih, relawan dihadapkan pada sesuatu yang jarang ditemui dalam keseharian yaitu orang-orang yang hidup dalam keterbatasan dan kesederhanaan.
Tungku sederhana tersebut berada dekat dengan pintu pagar rumah dan hanya ditutupi seng di bagian atasnya. Sesuatu yang sangat jarang ditemui di kota besar seperti Jakarta, di mana kompor dan tabung gas sudah sangat lazim digunakan untuk memasak.
Julikam duduk di dekat pintu rumahnya sambil bercerita mengenai kondisi keluarganya kepada relawan.
Dengan Melihat, Baru Bisa Merasakan
Satu dari 15 relawan Hu Ai Jelambar yang turut serta dalam kunjungan kasih pada 14 Agustus 2016 tersebut adalah Budi Susanto. Ia bergabung dalam satu grup dan berkunjung ke kediaman Julikan. Julikam adalah seorang pemulung, sejak tahun 2003 ia mendapat bantuan biaya pengobatan dan biaya hidup dari Tzu Chi. Rumah Julikman ssangat sederhana apabila dibandingkan dengan rumah di sekelilingnya.
Ketika relawan tiba di rumahnya, seorang wanita tampak sedang duduk di depan rumah sambil mengeringkan pakaian. Anna Tukimin, ketua grup yang membawa Budi dan relawan lain menjelaskan bahwa wanita tersebut adalah istri dari Julikman. “Ia mengalami gangguan kejiwaan,” kata Anna. Hal itu terlihat dari gerak-gerik dan pandangan matanya yang sedikit kosong ke arah relawan.
Setelah sedikit berbincang dengan sang istri, Julikam pun muncul dari dalam rumah dan mempersilakan relawan masuk ke rumahnya. Saat itu, di bagian teras rumahnya yang sempit tampak sedikit asap putih mengepul. Rasa heran muncul dalam pikiran relawan termasuk Budi, dari mana asal asap tersebut.
Setelah memasuki teras rumahnya, terjawablah rasa penasaran mereka. “Rupanya Pak Julikam sedang memasak air. Ia masih memasak air menggunakan tungku yang dikelilingi bata putih di sekitarnya,” ucap Budi. Tungku sederhana tersebut berada dekat dengan pintu pagar rumah dan hanya ditutupi seng di bagian atasnya. Sesuatu yang sangat jarang ditemui di kota besar seperti Jakarta, di mana kompor dan tabung gas sangat lazim digunakan untuk memasak.
Di sekitar teras rumah juga terlihat hamparan botol bekas yang belum dipilah. “Ayo silakan masuk dan duduk dulu, baru kita ngobrol,” ucap Julikam menyambut relawan. Setelah relawan masuk ke dalam rumahnya, ia mulai bercerita, “Saya pakai tungku untuk masak air dan makanan lainnya karena harus hemat. Kalau nggak begini, nggak bisa memenuhi kehidupan sehari-hari.” Sesaat setelah duduk di dalam rumahnya yang sedikit remang-remang tersebut, tak lama muncul Iwan, satu-satunya anak Julikam. Sebenarnya Julikam mempunyai dua orang anak lagi, namun sayangnya anak tertuanya sudah meninggal pada usia 13 tahun karena demam berdarah, dan seorang anaknya yang paling kecil juga sudah meninggal.
Iwan, anak Julikam menulis banyak kata motivasi yang ditempelkan di pintu rumah mereka.
Julikam dan Iwan mengantarkan Anna Tukimin dan relawan lainya ke depan gang rumah mereka usai melakukan kunjungan.
Julikam pun bercerita tentang anak semata wayangnya yang tengah menjalani semester akhir perkuliahan. “Iwan sebentar lagi akan nyusun skripsi. Dia mahasiswa Akuntansi yang menerima beasiswa dari kampus dan dalam waktu 3,5 tahun diharapkan dapat lulus dari kampusnya,” katanya. “Selain kuliah, anak saya membantu membersihkan rumah dan menjaga Ibunya karena hanya dia yang bisa berkomunikasi dengan ibunya,” tambah Julikam.
Dengan kondisi kesehatan yang sudah menurun, Julikam masih tekun menjalani pekerjaanya sebagai pemulung. “Sehari-hari saya bangun pukul 5 pagi, mengurus rumah sampai pukul 12. Saya mulai mencari barang bekas dari pukul 14.00 sampai pukul 19.00, kadang juga sampai pukul 20.00 dan tiba di rumah pukul 21.00.” Ketika disinggung mengenai kondisi fisiknya yang tidak terlalu fit, ia berkata, “Saya kerja dari Senin sampai Minggu, kalau capek ya istirahat Sabtunya.” Ketika sedang membutuhkan uang, ia akan menjual barang bekas yang sudah ia kumpulkan.
Hari itu relawan mendapatkan banyak pelajaran dari Julikam yang tidak mengeluh mengenai kondisinya. Ia terus berusaha di tengah kesulitan dan sebisa mungkin menghemat pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Artikel Terkait
Menanam dan Menerima Berkah
16 September 2015Sebanyak 90 relawan melakukan kunjungan kasih ke rumah para penerima bantuan Tzu Chi pada tanggal 13 September 2015. Sebelum terjun ke lokasi, relawan diberikan pengarahan tentang apa saja yang boleh dilakukan saat kunjungan kasih maupun yang tidak boleh dilakukan. Usai melakukan kunjungan kasih, relawan pun memberikan sharing pengalaman mereka.
Mengasihi Opa dan Oma Sepenuh Hati
31 Maret 2015Kunjungan Kasih, Memberi Semangat dan Menjadi Pengingat untuk Selalu Bersyukur
07 September 2023Tidak hanya menjadi perpanjangan tangan Yayasan Buddha Tzu Chi dalam membantu menyalurkan bantuan, relawan juga melakukan kunjungan kasih ke rumah penerima bantuan.