Kisah-kisah Mutiara Hitam di Afrika Selatan

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi Pranoto
 
foto

Huang Chun-khan, relawan Tzu Chi di Afrika Selatan sedang menceritakan pengalamannya, sekaligus bagaimana Tzu Chi bisa tumbuh, berkembang dan memiliki relawan-relawan baru di Afrika Selatan.

Afrika Selatan (Afsel) dan Indonesia adalah dua negara yang jauh berbeda. Yang satu memiliki kekayaan alam yang berlimpah dan satunya harus hidup di alam yang keras, kekeringan, dan kelaparan. Namun keduanya memiliki satu kesamaan, sama-sama memiliki kekuatan cinta kasih yang besar untuk membantu sesama.

Setidaknya itulah gambaran yang bisa diperoleh dari sharing 3 relawan Tzu Chi di Afsel di hadapan hampir 50 relawan Tzu Chi Indonesia, termasuk ketua dan wakil ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Phan Ming-shui, Huang Chun-khan, dan Liau Mei-ling dengan lancar menceritakan pengalaman, sekaligus tantangan mereka menebarkan cinta kasih di Afsel. Bagaimana mereka dengan penuh kesabaran membimbing dan mendampingi warga Afsel untuk menjadi relawan Tzu Chi dan mengibaratkan mereka (relawan Afsel) bagaikan mutiara-mutiara hitam yang sangat bernilai.

“Di Afrika, pemandangan alamnya sangat bagus. Banyak orang berlibur ke sana. Orang-orang menyebut Afrika sebagai surga dunia. Lalu kita berpikir, apakah orang di Afrika Selatan itu hidupnya susah? Ternyata, di balik keindahan gunung dan alam tersebut, banyak orang yang kekurangan makanan dan gizi, membuat orang yang melihatnya bersedih hati. Perbedaannya hanya pada satu gunung saja, surga dan neraka yang terletak di satu tempat,” kata Phan Ming-shui membuka sharingnya.

Sewaktu pertama datang ke Afrika, Phan merasa kurang yakin, apakah mereka manusia ataukah dewa. Setiap kali disuruh tampil mereka tidak berani karena belum tahu apa-apa. Di Afsel tidak ada program pelatihan relawan, sehingga Phan pun setiap tahun berangkat 2 kali untuk mengikuti pelatihan di Taiwan. Sekembalinya dari Taiwan, Phan Ming-shui pun mulai mengajak orang Afrika untuk bergabung di Tzu Chi, karena di sana yang ada hanya orang Afrika. Beberapa tahun ini, dia melihat sekaligus kagum ada orang muda seperti Chun-kai yang mau menghabiskan waktunya untuk melakukan pekerjaan tanpa profit seperti itu.

Kegigihan Relawan Afrika
“Afrika Selatan tidak banyak diketahui orang, orang lebih mengenal Afrika. Di Afrika, Tzu Chi disebut sebagai kedai kecil di pinggir jalan,” kata Huang Chun-kai. Di Afrika, banyak orang yang terkena penyakit AIDS, diare, dan penyakit kulit. Relawan-relawan Tzu Chi membantu dengan membersihkan dan memberi perhatian kepada mereka. “Ada seorang anak yang sewaktu lahir memiliki kelainan (cacat –red), sehingga dianggap aneh dan dibuang oleh orangtuanya. Relawan Tzu Chi kemudian mengambilnya, membersihkan dan merawatnya sampai akhirnya keluarganya merasa malu dan mengambil kembali anak mereka,” kata Chun-kai berkisah.

foto  foto

Ket : - Phan Ming-shui, relawan Tzu Chi Afrika menceritakan pengalamannya di hadapan sekitar 50 relawan Tzu Chi
           Indonesia.(kiri)
         - Ketua dan wakil ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Liu Su-mei dan Sugianto Kusuma turut hadir
           mendengarkan sharing relawan Tzu Chi dari Afrika. (kanan)

Kebanyakan relawan Tzu Chi di Afrika adalah wanita. Mereka memiliki tubuh yang besar, dan suka sekali menyanyi. Mereka menjalani kegiatan Tzu Chi dengan senang hati, memberi kepedulian dengan naik ataupun turun gunung menuju lokasi penerima bantuan sambil bernyanyi-nyanyi. Salah satunya Anna Mkhize. Wanita berumur 80 tahun ini adalah seorang relawan yang paling tua. Dia sangat familiar dan peduli, memberikan pengarahan kepada warga dan aktif mengikuti kegiatan Tzu Chi.

Ternyata di balik kegigihannya, terdapat kisah hidup yang menyedihkan. Di tahun 2000 kehidupannya berubah drastis. Anaknya yang pertama terkena TBC dan meninggal dunia. Anak perempuannya mengalami kecelakaan dan juga meninggal dunia. Anak ketiganya bertengkar dengan ayahnya sampai menuntut sang ayah ke pengadilan. Anna tidak memihak keduanya, dan merasa sangat sedih. Anak ketiganya kemudian meninggal dunia karena AIDS. Anak bungsunya pun meninggal karena TBC. Anna pun hidup seorang diri setelah suaminya meninggal dunia.

Anna harus kehilangan sebelah kakinya karena kanker kulit. Ia pun harus menggunakan tongkat untuk berjalan. Anna memberikan kepedulian kepada orang yang mengalami kesusahan dan juga mengajak orang-orang menjadi relawan Tzu Chi. Ia juga bertugas menerjemahkan dan memimpin relawan-relawan yang lain. “Kadang saya bilang 1, dia terjemahkan 10 kata. Kadang saya belum selesai ngomong, dia sudah selesai terjemahkan,” kata Chun-kai. Seperti relawan lainnya, Anna pun sering naik turun gunung untuk membantu orang lain.

foto  

Ket : - Meski sharing dilakukan pada malam hari (pkl. 19.30 - 21.30), tetap tidak mengurangi semangat para
           relawan Tzu Chi Indonesia untuk mendengarkan kisah relawan Tzu Chi Afrika.

Masih Terus Belajar
Sementara Liau Mei-ling, mengatakan jika melihat perkembangan Tzu Chi di Indonesia, Tzu Chi Afrika masih harus banyak belajar. “Yang kami lakukan masih baru tahap dasar, kami masih perlu belajar banyak dari relawan-relawan Tzu Chi lainnya di dunia,” kata Mei-ling. Ia pun mengisahkan pengalamannya saat mengenalkan budaya humanis Tzu Chi di salah satu sekolah Afrika. Karena bahasa Inggrisnya minim, maka dia mengajak relawan lainnya, Huang Chen-song, mengunjungi sekolah itu. Murid-muridnya kebanyakan berkulit hitam. Setelah memberikan pengarahan, murid ataupun guru memberikan sambutan yang baik.

“Saya menyarankan kepada anak-anak yang memiliki mainan untuk mau memberikan bantuan kepada orang yang lebih membutuhkan,” kata Mei-ling. Tidak disangka, ada satu anak dari keluarga yang sangat miskin. Dia memiliki 1 mainan kesukaannya dan ia sumbangkan kepada Tzu Chi untuk membantu orang-orang yang menderita AIDS. “Sekarang anak itu sudah kelas 2 SMA,” kata Mei-ling di penghujung acara.

 

Artikel Terkait

Baik Sejak Kecil

Baik Sejak Kecil

02 November 2009
Kebersamaan selama setahun antar anak Kelas Budi Pekerti dengan teman-temannya, juga dengan Da Ai Papa dan Mama (relawan pendamping) rasanya pantas untuk dikenang dan dimeriahkan dengan sedikit acara.
Semangat Bisa Kembali Bersekolah

Semangat Bisa Kembali Bersekolah

03 Agustus 2018
Beby Ananda Rosaldi (8) telah duduk di bangku kelas 1 SD pada tahun ajaran ini. Sebelumnya, ia tidak bisa bersekolah karena penyakit yang diidapnya, yakni kaki bengkok (Congenital Talipes Equinus Varus Bilateral). Sudah lebih dua minggu ia bersekolah, Beby kini ceria, aktif, dan mudah berteman dengan siapa saja.
Mengenal Lebih Jelas Tentang Vaksinasi Covid 19

Mengenal Lebih Jelas Tentang Vaksinasi Covid 19

29 Juli 2021

Yayasan Buddha Tzu Chi Kp. Palembang mengadakan acara Bincang Kesehatan dengan Tema “Vaksinasi Covid 19 Teman atau Musuh?” Pada Jumat, 23 Juli 2021 Pkl. 19.00 WIB – 21.00 Wib menggunakan Aplikasi Zoom.

Bertambahnya satu orang baik di dalam masyarakat, akan menambah sebuah karma kebajikan di dunia.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -