Kisah Si Kura-kura dan Si Ayam

Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Metta Wulandari

Relawan Tzu Chi mendampingi rombongan dari GKI Kayu Putih, Kelapa Gading untuk melakukan tur Aula Jing Si, Jumat, 20 Maret 2015.

Banyak kesan yang timbul dari setiap kunjungan yang dilakukan di Aula Jing Si, kompleks Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara. Berbagai kesan yang timbul biasa diutarakan dengan rasa agak kurang percaya. Seperti kesan dari seorang anggota Gereja Kristen Indonesia Kayu Putih yang bernama Sindhu yang bertandang ke Aula Jing Si pada Jumat, 20 Maret 2015 pukul 09.00 WIB. “Saya pikir di dalemnya (Yayasan Buddha Tzu Chi) cuma buat orang (beragama) Buddha saja lho, ternyata nggak. Semua (agama) ada,” tukasnya yang disambut anggukan setuju oleh beberapa teman semejanya.

Saya dengan Sindhu memang sedang berbincang mengenai kunjungan yang dilakukan oleh rombongan GKI Kayu Putih, Kelapa Gading, Jakarta Utara di kantin Aula Jing Si. Selain Sindhu, ada beberapa orang lainnya dalam meja kami yang setuju akan pemikiran awal Sindhu mengenai Tzu Chi. “Iya lho, saya pikir bener-bener cuma orang (beragama) Buddha,” ujarnya lagi seakan masih tidak percaya dengan apa yang telah ia ketahui.

Sindhu bukan satu-satunya orang yang mempunyai pemikiran demikian. Sudah banyak orang sebelum Sindhu, yang mengutarakan hal yang sama. Namun setelah menerima penjelasan, baik melalui sosialisasi kerelawanan, kunjungan Aula Jing Si, maupun obrolan dari sesama teman, mereka kemudian mengetahui bahwa Tzu Chi merupakan organisasi yang universal. Tzu Chi bukan juga merupakan basis agama tertentu karena tujuan utama Tzu Chi adalah membantu sesama yang membutuhkan.

Relawan membagi rombongan menjadi lima kelompok untuk berkeliling Aula.

Sindhu (kemeja putih), salah satu peserta merasa terkesan dengan Tzu Chi yang tidak memandang perbedaan dalam memberikan bantuan.

Dari apa yang ia ketahui, Sindhu kemudian berbagi cerita singkat mengenai kura-kura dan ayam yang ia kutip dari khotbah salah satu pendeta di gerejanya. “Kura-kura kalau bertelur, dia nggak banyak suara. Beda sama ayam,” ucap Sindhu. “Kalau ayam, bertelur cuma satu juga sudah berisik minta ampun,” tambahnya membandingkan. Dari kisah itu, Sindhu menilai Tzu Chi yang jauh dari pemberitaan media massa nasional bagaikan seekor kura-kura yang tengah bertelur. Banyak melakukan hal baik, namun tetap rendah hati dan tidak banyak berkoar. Berbeda dengan ayam. “Tzu Chi tidak pernah menonjolkan diri ke luar, hanya saja yang saya lihat secara ringkas adalah kegiatan yang mereka lakukan lebih besar daripada pemberitaan media massa nasional tentang mereka,” ujar Sindhu.

Selain menilai Tzu Chi secara keseluruhan, Sindhu juga salut dengan Master Cheng Yen, Pendiri Tzu Chi. Karena di usia mereka yang setara, Master Cheng Yen sudah membantu begitu banyak orang, tanpa memandang hal-hal sensitif seperti agama, RAS, suku, dan lain sebagainya. “Tzu Chi bisa meredam dan menyatukan perbedaan bukan malah memperuncing. Dan siapa sangka Tzu Chi sudah banyak membantu orang di 50-an Negara!” ungkapnya meyakinkan.

Me-manajemen Hati

Dari kunjungan yang dilakukan oleh GKI Kayu Putih, ada sebanyak 53 anggota dari Komisi Dewasa yang ikut serta. Mereka semua antusias walau harus berkeliling sekitar 1 jam lamanya di Aula Jing Si dan Depo Pendidikan Pelestarian Lingkungan. Paulus N., penggagas kunjungan merasa senang melihat sambutan positif dari teman gerejanya. Sebenarnya, ia sudah lama tertarik dengan Tzu Chi. Ia pun telah menjadi salah satu donatur bulanan Tzu Chi. Ketertarikannya tersebut membuatnya ingin menularkan sedikit hal yang ia ketahui tentang Tzu Chi kepada teman-temannya. “Saya ingin mengajak teman-teman untuk belajar bersama Tzu Chi,” katanya.

Selain berkeliling di Aula Jing Si, peserta juga diajak berkunjung ke Depo Pendidikan Pelestarian Lingkungan untuk melihat bagaimana konsep daur ulang di Tzu Chi.

Di akhir acara, peserta ikut serta menjadi donatur dengan celengan bambu melalui program Sosialisasi Misi Amal Tzu Chi (SMAT).

Satu hal yang membuatnya tertarik pada Tzu Chi adalah karena Tzu Chi melakukan hal baik tanpa banyak bicara. “Karena kasih tanpa perbuatan adalah kosong,” ucap Paulus. Ia pun mengaku bersyukur karena masih bisa berkesempatan untuk mengunjungi serta belajar langsung di Tzu Chi. “ Di sini semuanya dibuat menjadi berarti untuk membantu sesama,” ujarnya terkesan.

Pimpinan GKI Kayu Putih, Judy Trisnodjojo, mengaku suka dan tersentuh dengan Tzu Chi. Terutama dengan para relawan Tzu Chi. “Mereka (relawan Tzu Chi) mempunyai manajemen hati yang saya rasa tidak semua orang miliki,” ucap Judy. “Manajemen hati itu yang perlu kami kelola dan belajar dari Tzu Chi,” tambahnya.


Artikel Terkait

Kisah Si Kura-kura dan Si Ayam

Kisah Si Kura-kura dan Si Ayam

23 Maret 2015 Sindhu berbagi cerita singkat mengenai Kura-kura dan Ayam yang ia kutip dari khotbah salah satu pendeta di gerejanya. “Kura-kura kalau bertelur, dia nggak banyak suara. Beda sama Ayam. Kalau ayam, bertelur cuma satu juga sudah berisik minta ampun. Nah, Tzu Chi itu seperti Kura-kura," ucap Sindhu.
Kepedulian Itu Ada di Dalam Hati

Kepedulian Itu Ada di Dalam Hati

06 Mei 2015 Charity Group Metro yang beranggotakan ibu-ibu yang berprofesi sebagai pedagang di Pusat Grosir Metro Tanah Abang, Jakarta Pusat memberikan donasi untuk para korban gempa Nepal melalui Tzu Chi.
Pelatihan Relawan Abu Putih : Tur Aula Jing Si, Dhamma Tanpa Suara

Pelatihan Relawan Abu Putih : Tur Aula Jing Si, Dhamma Tanpa Suara

07 September 2015 Aula Jing Si sebagai rumah insan Tzu Chi dan merupakan tempat pembabaran dharma tanpa suara, merupakan tonggak penting dalam sejarah perjalanan Tzu Chi. Oleh karena itu pada hari Minggu, 30 Agustus 2015, Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara kembali menjadi saksi perjalanan para Boddhisatwa melalui pelatihan relawan abu putih keempat untuk tahun 2015, yang diselenggarakan oleh He Qi (Komunitas Jakarta) Pusat.
Dengan kasih sayang kita menghibur batin manusia yang terluka, dengan kasih sayang pula kita memulihkan luka yang dialami bumi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -