Komitmen kepada Kemanusiaan dan Sesama

Jurnalis : Himawan Susanto , Fotografer : Himawan Susanto
 
foto

* Abdul Rozak Baasyir, seorang relawan pendamping program Bebenah Kampung Pademangan sedang berbincang-bincang dengan Agus Yatim. Agus adalah salah satu penerima bantuan Bebenah Kampung yang kini telah bergabung dalam barisan relawan Tzu Chi Indonesia.

Merupakan suatu berkah apabila sesama manusia dapat saling menghargai dan saling bersyukur.
(Kata Perenungan Master Cheng Yen)

Pagi itu, pukul 08.00 WIB, di hari Jumat yang cerah, saya ditemani oleh Abdul Rojak Baasyir, relawan Tzu Chi yang bertugas menjadi pendamping program Bebenah Kampung di Pademangan Barat, Jakarta Utara, datang berkunjung ke rumah Ustadz Agus Yatim, seorang peserta Bebenah Kampung. Setibanya di sana, istri pak ustadz mengatakan bahwa pak ustadz masih mengikuti rapat membahas acara takbir akbar di rumah seorang ulama. Maka, kami pun sejenak menunggu di ruang tamu.

Di halaman rumah, teronggok sebuah meja panjang yang di atasnya terdapat sebuah etalase kaca berbentuk persegi panjang. Di atas etalase itu, terpampang sebuah kain putih polos yang di dalamnya tertera sebuah tulisan besar “Soto Ayam”. Rupanya, untuk menambah penghasilan sehari-hari, istri pak ustadz berjualan soto. Dahulu, sebelum rumah mereka dibedah, keluarga ini sehari-hari berjualan gado-gado. Tak lama, pak ustadz pun datang dan menyalami kami. “Bagaimana kabarnya nih?” tanyanya kepada kami. “Baik-baik, Pak Ustadz,” jawab kami. Tak seberapa lama, Abdul Rojak berpamitan meninggalkan saya dan Ustadz Agus karena harus segera ke Kapuk Muara meninjau Sekolah Al-Muttaqin di sana.

Tzu Chi, Bukan Sesuatu yang Baru
Rupanya, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia bagi Agus bukanlah sesuatu yang baru. Sekitar 5 tahun lalu, ia pernah mendengar bahwa anak Ani, seorang tetangganya, pernah mendapatkan operasi gondok di ITC. “Buddha (Tzu Chi) yang nanganin,” ujarnya menirukan ucapan Ani. Kemudian, tanpa sengaja ia pun kebetulan pernah bertemu dengan satu orang tetangganya yang mendapatkan bantuan pengobatan katarak. “Bagus juga yah, bantu-bantu. Katanya, orangnya baek-baek, agama mah ga dimasalahin,” papar Agus mengulang ucapan si tetangga. Saat itu, ia memang sering bertandang ke Kelurahan Pademangan Barat. Hal ini dilakukan karena berkaitan dengan jabatannya di dewan masjid yang bertugas di bagian hubungan masyarakat. Sebagai humas, ia bertugas menjelaskan berbagai informasi kepada seluruh lapisan masyarakat dan juga para pejabat terkait. Saat Tzu Chi melakukan program Bebenah Kampung pertama kali, Agus hanya mengetahui bahwa TNI-lah yang membangun rumah-rumah tersebut walaupun saat relawan Tzu Chi melakukan survei, ia juga sempat melihat kedatangan mereka.

Sukses dengan program pertama, Tzu Chi berkordinasi dengan Kelurahan Pademangan Barat kembali melanjutkan program Bebenah Kampung. Saat itu, Lurah Pademangan Barat pun meminta diri Agus untuk membantu dalam program ini. Bahkan, Lurah pun kemudian meminta dirinya mendaftarkan diri menjadi salah satu pesertanya. Mendengar permintaan ini, Agus memberanikan diri bertanya kepada lurah. Apakah boleh jika ia pun mengajukan orang lain selain dirinya yang memiliki rumah tak layak, tanyanya waktu itu. Mendengar pertanyaan itu, lurah pun meluluskan permintaannya. “Saya ga mau saya sendiri yang mendapatkan,” ujarnya. Untuk itu, ia pun membicarakan hal ini dengan ketua RT setempat. Segera setelah itu, ia pun mempersiapkan administrasi kelengkapan para peserta Bebenah Kampung. Ketika itu, dari 12 rumah yang diajukan, 10 di antaranya telah selesai dibenahi. Sementara, 2 rumah lainnya belum mendapatkan bantuan karena tidak adanya pemilik rumah saat survei dilakukan.

foto  foto

Ket : - Dengan mengendarai sepeda motor, Abdul Rozak Baasyir mengunjungi rumah Agus Yatim yang kini tak lagi
           kebanjiran jika musim penghujan tiba. (kiri)
         - Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, istri Ustadz Agus Yatim berjualan soto di depan rumah mereka.
           (kanan)

Dari program ini, perlahan Agus pun mengenal Tzu Chi. Apalagi ia sangat berkesan dengan relawan Tzu Chi saat Yoppie Shixiong melakukan survei ke rumahnya. “Dibawa ngobrolnya enak,” pungkasnya. Dari Yoppie, Agus mendapatkan penjelasan bahwa jangan berharap keputusan dibenahi akan datang darinya. “Semua keputusan di tangan Tuhan Yang Maha Esa,” ujar Agus mengingat ucapan yang disampaikan Yoppie Shixiong. Agus pun kemudian membagikan informasi yang didapatnya ini kepada para peserta lain yang disurvei.

Saat program Bebenah Kampung Tzu Chi diadakan, masyarakat Pademangan Barat sempat bertanya-tanya apakah latar belakang kegiatan ini? Adakah tujuan selain misi sosial semata? Karena itu, Agus mewakili masyarakat menanyakan perihal ini saat relawan Tzu Chi mengadakan sosialisasi celengan bambu di kantor kelurahan Pademangan Barat. Saat itu, dahaga dan rasa keingintahuan masyarakat pun terjawab. Tidak ada misi apa pun selain misi sosial cinta kasih yang dilakukan oleh Tzu Chi. Karena itu, Agus pun lalu bergabung menjadi peserta program celengan bambu Tzu Chi. Dan tidak hanya itu, ia juga turut membantu mengkoordinir para peserta Bebenah Kampung yang tergabung dalam program celengan bambu. Bisa dibilang, rumahnya menjadi pusat celengan bambu di sekitar lingkungannya. Bahkan, ia kini juga telah terdaftar menjadi donatur bulanan Tzu Chi.

Setelah Membuktikan Sendiri Baru Jadi Relawan
Sebelum diniatkan bergabung dan menjadi relawan Tzu Chi, Agus telah terlebih dahulu meminta masukan dari kyainya dan “orang-orang tua” lain. Restu pun didapatkan dari mereka. Saat pertama kali mengikuti pelatihan relawan, ia terkagum-kagum dengan tulusnya persaudaraan yang ada. Tiada perbedaan di antara mereka. “Bahkan, pas jamnya sholat, (saya) yang malah ditanya, ‘Ga sholat dulu nih?” tandasnya. Dari dua kali pelatihan yang diikutinya, ia merasakan betapa besar rasa kebersamaan dan menghormati di antara para relawan Tzu Chi.

Di sela-sela waktunya yang masih padat, kini ia juga berkomitmen untuk menyiapkan hari Sabtu dan Minggu sebagai harinya untuk Tzu Chi. Saat ini, ia juga telah mengajak 12 orang peserta Bebenah Kampung dan 2 orang yang bukan, mendaftarkan diri menjadi relawan Tzu Chi. Tak mengherankan, jika banyak orang telah menganggapnya orang Tzu Chi. Saat Pademangan kebakaran belum lama ini, beberapa warga yang rumahnya terbakar sempat mendatangi dan meminta bantuan kepadanya. “(Saya) katakan di Tzu Chi itu ada prosedur yang harus dijalani dalam proses pemberian bantuan. Jadi saya tidak menjanjikan apapun kepada mereka,” jelasnya.

foto  foto

Ket : - Istri Agus Yatim memberitahukan Abdul Rozak Baasyir bahwa suami sedang mengikuti rapat di masjid.
           Abdul Rozak dan saya pun berinisiatif untuk menunggu di depan rumah. (kiri)
         - Sebagai seorang tokoh agama dan juga tokoh masyarakat, Agus Yatim senantiasa didatangi oleh mereka
           yang hendak berkonsultasi dan berdiskusi mengenai banyak persoalan. (kanan)

Sosok yang Berbeda
Di mata Abdul Rojak, Ustadz Agus Yatim adalah seorang sosok yang berbeda. “Saat diberitahu rumahnya akan dibedah, dengan penuh syukur ia mengucapkan terima kasih. Bahkan ia juga mengkoordinir para peserta lain mengangkut bahan-bahan material bangunan untuk mengurangi biaya angkut,” katanya. Agus juga selalu menuruti apa pun yang direncanakan dalam program Bebenah Kampung. “Bahkan saat rumahnya kebocoran, ia memperbaikinya sendiri. Berbeda dengan beberapa peserta program Bebenah Kampung lain yang di hatinya belum muncul rasa syukur,” tambahnya.

“Perbedaan yang (saya) lihat, jika dahulu lebih condong keagamaan, kini setelah mengenal Tzu Chi, ia lebih ke sosial tanpa meninggalkan keagamaannya,” jelas Rojak.

Walaupun hidupnya didedikasikan untuk membantu orang di sekelilingnya, ia pun tak alpa membantu keluarga terdekatnya. Saat liver sang mertua mengalami penyumbatan, setelah berkonsultasi dengan anggota keluarga lain, mereka pun mengajukan permohonan bantuan pengobatan kepada Tzu Chi. Di saat itu juga, ia kembali mengingatkan anggota keluarganya bahwa kepastian mendapatkan bantuan pengobatan atau tidak tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Agar mereka tidak berharap terlalu banyak dan akhirnya kecewa,” paparnya.

Namun dewi fortuna rupanya melingkupi ayah mertuanya. Ia mendapatkan bantuan pengobatan dari Tzu Chi. Namun di tengah masa pengobatan, mertuanya memutuskan berhenti dan menjalani pengobatan di rumah. “Setelah berkonsultasi dengan keluarga besar dan juga adanya masukan dari Ibu Lulu, kami memutuskan untuk ikhlas pasrah. Perawatan di rumah saja. Kasihan melihat kondisi mertua yang seluruh tubuhnya harus dimasukin berbagai macam alat kalau di rumah sakit,” ujarnya. “Jika terus dirawat di rumah sakit sama aja membunuh orangtua pelan-pelan. Lebih baik sakit karena dicabut nyawa daripada sakit sebelum dicabut nyawanya,” tambahnya. Kepeduliannya kepada tokoh masyarakat ia wujudkan dengan mengajukan kembali Jupri, seorang sesepuh kampung Pademangan yang gagal dalam program Bebenah Kampung pertama di periode selanjutnya.

Tanpa terasa, perbincangan saya yang hangat dengan Ustadz Agus telah lebih satu jam berlalu. Apalagi tak lama kemudian, dua orang tamu datang bertandang. Telah tiba waktunya bagi saya untuk berpamitan, menggoreskan kisah Ustadz Agus yang memiliki komitmen kepada kemanusiaan dan sesama ini, serta membagikannya kepada Anda semua. Saat materi menjadi ukuran keberhasilan, Ustadz Agus mengajarkan kita bahwa kepedulian kepada sesama tetap senantiasa ada di hati setiap manusia.

 

Artikel Terkait

Kesempatan untuk Melayani

Kesempatan untuk Melayani

25 April 2011 Pagi  hari  sekitar pukul 06.00 WIB tanggal 10  April  2011, relawan  Tzu Chi  mulai   berbaris rapi dua-dua sesuai dengan budaya Tzu Chi. Dimulai  dari halaman mes relawan Tzu Chi berjalan menuju  lokasi diadakannya bakti sosial kesehatan.
Saat  Mata Mendengar, Telinga Melihat

Saat Mata Mendengar, Telinga Melihat

05 Mei 2014
Master Cheng Yen mengingatkan kita: “Kejahatan dan kebaikan sedang tarik menarik adu kekuatan, kita harus mengembangkan kebajikan dan meninggalkan kejahatan agar Tzu Chi dapat mewujudkan sebuah kekuatan besar untuk menentramkan masyarakat.
Berjuang Bangkit Kembali

Berjuang Bangkit Kembali

16 Oktober 2019

Tahun 2016 silam, menyambut mahasiswa baru di kampusnya, Agatta dan rekan-rekannya dari organisasi pecinta alam melakukan atraksi repling (menuruni ketinggian dengan media tali). Tiga rekannya berhasil, sedangkan Agatta gagal karena miskomunikasi dengan teman lainnya. Akibatnya Agatta terjatuh ke tanah hingga menyebabkan kelumpuhan dan bergantung pada kursi roda. Sejak itu, relawan terus memberikan dukungan dan semangat kepadanya. 

Tahun 2016 silam, tepatnya 13 September, untuk menyambut mahasiswa baru di kampusnya, Agatta dan rekan-rekannya dari organisasi pencinta alam  melakukan atraksi repling (menuruni ketinggian dengan media tali). Universitas Jayabaya, salah satu mahasiswa dari Organisasi Mapalaya ingin memberikan suatu atraksi lompat dari atas gedung universitas lantai 6. Agatta Stevanya Meralda Montolalu (22), salah satu pelompat cewek berada diantara 3 pelompat cowok lainnya. Tiga rekannya cowok berhasil,  melakukan atraksi lompat tinggi, sedangkan Agatta sendirian gagal karena  miskomunikasi dengan teman lainnya. Akibatnya,  adanya yang kurang dari safety-nya (alat pengaman) menyebabkan Agatta terjatuh ke tanah hingga menyebabkan kelumpuhan dan bergantung pada kursi roda hingga kini. Sejak itu, relawan terus memberikan dukungan dan semangat kepadanya.

Kendala dalam mengatasi suatu permasalahan biasanya terletak pada "manusianya", bukan pada "masalahnya".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -