KOMPAS: Belajar Tabah dari Parikin
Jurnalis : Budi Suwarna (Kompas), Fotografer : Da Ai News, Anand YahyaCinta bersemi di antara Parikin dan Juju, dua anak muda yang bercita-cita menjadi pendidik Sekolah Luar Biasa (SLB). |
| ||
Untuk mewujudkan mimpinya, Parikin mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri agar bisa diterima di IKIP Bandung. Tes gagal. Namun, dia tetap memelihara mimpinya menjadi PNS. Suatu ketika, temannya, Uud Subrani, membujuknya untuk kuliah di Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) Bandung. Dengan menjadi guru SLB, mereka lebih mudah diangkat menjadi PNS. Parikin tertarik dan ikut tes SGPLB. Dia dan beberapa temannya sekampung lulus. Dari sinilah arah kehidupan Parikin ditentukan. Lulus dari SGPLB, Parikin rupanya tetap tidak mudah menjadi PNS. Dia dan teman-temannya akhirnya dengan susah payah mendirikan SLB di Arjawinangun. Dari sinilah eksistensi, komitmen, dan idealisme Parikin sebagai guru SLB terbentuk. Berkat keuletannya, Parikin akhirnya bisa mewujudkan mimpinya sebagai PNS. Namun, tidak seperti yang dibayangkan, ternyata gaji PNS amat minim sehingga tidak cukup untuk menafkahi keluarga. Istri Parikin, Juju (Sita Nursanti), yang juga bekas teman kuliah, terpaksa berangkat ke Arab sebagai TKI.
Ket : - Sugeng Wahyudi - sang sutradara (kiri depan) dan Garin Nugroho mewakili para pemeran drama kisah nyata "Kisah Keluarga Parikin" bersyukur atas launchingnya drama ini pada 29 Maret 2010. (kiri). Inilah masa-masa terberat bagi Parikin. Selain egonya sebagai kepala rumah tangga terusik karena tidak sanggup mencukupi kebutuhan keluarga, dia juga kerepotan menjalankan peran sebagai ”orangtua tunggal” bagi kedua anaknya. Namun, keberangkatan istrinya ke Arab hanya memperbaiki kehidupan ekonomi mereka secara sementara. Setelah itu, uang hasil bekerja di Arab habis untuk mengobati anaknya yang sakit. Babak baru dalam kehidupan Parikin pun dimulai. Dia bergelut mencari kesembuhan bagi anaknya hingga ke Jakarta. Begitulah, kisah keluarga Parikin seperti pantulan dari problematik kaum miskin di sekitar kita. Namun, orang-orang dalam drama televisi itu tidak meratapi nasib. Mereka tetap optimistis dan tegar. Pelajaran hidup Gambaran kemiskinan tampil secara utuh lewat perabot rumah tangga di rumah Parikin. Suasana romantis desa tampil antara lain dalam sosok kerbau yang mandi di sungai, sepeda onthel, sumur timba, alang-alang. Detail waktu digambarkan dengan uang kertas yang beredar pertengahan tahun 1980. Satu-satunya kekurangan yang mudah ditangkap adalah pakaian pemainnya yang kurang mencerminkan corak tahun 1980-an. Namun, Kisah Keluarga Parikin tetap berbeda dengan kebanyakan sinetron. Drama televisi itu bahkan bisa dipandang sebagai antitesis sinetron yang banyak bertebaran di sejumlah stasiun televisi saat ini. Ketika sinetron kebanyakan bercerita tentang masyarakat kelas atas dengan segala kemewahannya, ”Parikin” bercerita soal masyarakat kelas bawah dengan segenap kemiskinannya. Ketika sinetron fokus menggali konflik dan intrik, ”Parikin” menggali pergulatan hidup manusia. Ketika sinetron menampilkan tokoh berkarakter hitam-putih, ”Parikin” menawarkan tokoh-tokoh dengan karakter yang berwarna. Ketika sinetron tidak peduli pada detail, ”Parkin” cukup peduli. Kasih Karena itu, kata Yabin, semua drama yang ditayangkan DAAI, termasuk Kisah Keluarga Parikin, diangkat dari kisah nyata. ”Dengan begitu, pemirsa tidak perlu ragu-ragu memetik pelajaran dari drama-drama tersebut. Kalau mau berdialog dengan pemilik kisah nyata itu, pemirsa bisa terlibat dalam acara talk show yang menghadirkan mereka,” kata Yabin. Drama televisi itu sekaligus memberikan gambaran ”idealisme” pengelola DAAI yang memosisikan dirinya sebagai televisi pembawa pesan cinta kasih. (Sumber: Kompas Minggu, 11 April 2010, Halaman 15/Tren Hiburan) | |||