Kunjungan Ma'arif Institute ke Tzu Chi Indonesia

Jurnalis : Khusnul Khotimah, Fotografer : Arimami SA, Khusnul Khotimah


Bagi Suriadi, Kepala Sekretariat Tzu Chi Indonesia, ini merupakan rangkaian dari kegiatan Tzu Chi untuk menjalin silaturahmi dengan organisasi lain yang beberapa tahun ini terus dibangun. Kunjungan ini adalah momentum berharga buat Tzu Chi Indonesia karena bisa saling kenal.

Sikap saling terbuka antar pemeluk lintas agama merupakan sebuah cara merawat keberagaman dan toleransi. Jika sudah lama Tzu Chi menjalin silaturahmi dan berkolaborasi dengan Nahdlatul Ulama, kini giliran Ma’arif Institute, melalui Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Ma’arif.

Sebanyak 30 siswa serta para mentor dari Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Ma’arif berkunjung ke Tzu Chi Indonesia, Selasa 17 Desember 2019. Kebanyakan mereka adalah mahasiswa S2 dari berbagai kota.

“Mengapa ada intoleransi, ada segregasi, salah satunya karena tidak adanya perjumpaan antar berbagai pemeluk agama. Ada istilah tak kenal maka tak sayang. Kalau kita tidak pernah berjumpa, yang ada mungkin saling curiga. Tapi setelah bertemu, oh ternyata seperti ini, ternyata Tzu Chi seperti ini,” kata ABD Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif Ma’arif Institute.

Kunjungan ini, tambah ABD Rohim Ghazali, adalah salah satu upaya Ma’arif Institute melahirkan generasi yang inklusif, yang paham tentang ajaran kemanusiaan yang universal.  

“Kita memandang Tzu Chi ini representatif untuk menjadi model bagi teman-teman yang ingin bergerak dalam bidang kemanusiaan di tempatnya masing-masing,” jelas ABD Rohim Ghazali.


Kunjungan Ma’arif Institute ke Tzu Chi ini adalah yang pertama kalinya.


Menurut ABD Rohim Ghazali, Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif memang memberikan pendidikan kemanusiaan pada siswanya. Di sekolah ini mereka belajar tentang berbagai perspektif persoalan kebangsaan, keislaman, dan kemanusiaan.

Agenda utama dari kunjungan ini adalah berdiskusi. Beberapa mahasiswa mengajukan pertanyaan, antara lain bagaimana Tzu Chi bisa tersebar ke lebih dari 50 negara. Juga apakah Tzu Chi menghadapi prasangka-prasangka buruk ketika melakukan kegiatan kemanusiaan di tengah masyarakat Indonesia yang plural dan bagaimana menyikapinya.

“Kita mau dihargai orang, jadi kita harus menghargai orang. Kita mau dicintai orang, kita harus mencintai orang dahulu. Prinsipnya itu. Contoh di Pademangan, waktu itu kita mulai dengan membangun ulang 25 unit rumah yang paling tidak layak huni di sana. Selanjutnya ada bakti sosial kesehatan dan kegiatan sosial lainnya. Nah masyarakat kan melihat sendiri (juga bagaimana relawan Tzu Chi bersikap),” kata Suriadi, Kepala Sekretariat Tzu Chi Indonesia dalam diskusi tersebut.

“Akhirnya setelah 10 tahun di Pademangan ini kita punya lima ribu donatur, ada 400 relawan Tzu Chi yang tinggalnya di Pademangan, yang mereka semua muslim. Sudah 15 tahun kita sana, tidak ada seperti yang mereka takutkan,” tambahnya.

Suriadi juga menjelaskan perjuangan dari berdirinya Tzu Chi di Hualien Taiwan 54 tahun yang lalu oleh Master Cheng Yen. Master Cheng Yen, seorang Biksuni yang dalam kondisi sulit dan tidak punya apa-apa waktu itu, namun didukung oleh 30 ibu-ibu yang menyisihkan satu koin setiap hari. Setiap akhir bulan koin tersebut dikumpulkan sebagai dana untuk kegiatan sosial. 

Memanusiakan Manusia


Dalam diskusi ini, Deri Rizal, asal Kota Padang turut menceritakan apa saja bantuan kemanusiaan yang sudah dilakukan Tzu Chi di kota asalnya.


ABD Rohim Ghazali dan Suriadi bertukar cindera mata. ABD Rohim Ghazali berharap ke depannya ada kerja sama yang konstruktif antara Maarif Institute dengan Tzu Chi.

Diskusi yang berlangsung sekitar dua jam yang dilanjutkan dengan tur Aula Jing Si ini pun memberikan banyak perspektif baru juga inspirasi. Beberapa dari mereka juga secara langsung menyampaikan ketertarikannya menjadi relawan Tzu Chi.

Tapi Deri Rizal, asal Kota Padang agak sedikit berbeda. Ia sudah tahu tentang Tzu Chi sejak tahun 2009 saat Tzu Chi memberikan bantuan ketika Padang diguncang gempa besar berkekuatan 7,6 Skala Ritcher. Ia juga sering berinteraksi dan bekerja sama dengan relawan Tzu Chi Padang sejak ia menjadi Ketua Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah (Lazismu) Sumatera Barat periode 2015-2020.

“Kami sudah sering kerja sama. Bakti sosial juga pernah, termasuk operasi katarak dan bibir sumbing yang melibatkan Lazismu sebagai bagian untuk mencari orang-orang yang jadi pasien. Juga pernah bagi bantuan sembako untuk nelayan yang ada di Kota Padang, sekitar dua bulan yang lalu,” kata Deri.

Karena itu dalam forum diskusi tersebut, Deri juga sempat mengucapkan terima kasih atas semua bantuan yang Tzu Chi berikan kepada masyarakat di Sumatera Barat.

“Bagi saya Tzu Chi sangat menarik karena mereka organisasi kemanusiaan. Agama kan mengajarkan kita bagaimana memanusiakan manusia tanpa pandang suku, agama, ras dan golongan. Kalau ada yang tertimpa masalah, kita wajib untuk meringankan dan menghilangkan kesedihan itu. Saya melihat itu ada di Tzu Chi. Dan itu merupakan anugerah bagi kita di Muhammadiyah Sumatera Barat, sehingga kita bisa bekerja sama dan memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat,” sambung Deri.


Para peserta Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif biasa berkunjung ke tempat-tempat yang dapat memberi inspirasi bagi peserta. Mereka diharapkan dapat menjadi kader-kader untuk pengembangan kemanusiaan di daerah masing-masing yang bukan sekedar pemikiran, tapi juga bisa berkiprah secara sosial.


Para peserta melihat apa saja yang sudah dipersembahkan Tzu Chi Indonesia bagi masyarakat, melalui tampilan  Exhibition Hall di Aula Jing Si Indonesia. 

Dengan semua kerja sama yang sangat baik dengan Tzu Chi, sebenarnya Deri sudah lama ingin berkunjung ke Kantor Tzu Chi Indonesia di Pantai Indah Kapuk ini, juga berkunjung ke Tzu Chi Taiwan.

“Makanya saya sampaikan itu pada Pak Rukiyat (relawan Tzu Chi Padang), sambil bercanda waktu itu, pak saya ingin juga lah berkunjung ke Buddha Tzu Chi. Malah saya ingin ke Taiwan waktu itu karena sudah bertemu dengan beberapa tokoh-tokoh yang ada di Padang. Nah ternyata diberikan kesempatan untuk datang dan berkunjung ke sini, makanya saya merasa sangat luar biasa, mungkin mimpi yang jadi nyata,” katanya sambil tertawa.

Editor: Hadi Pranoto


Artikel Terkait

Kunjungan Ma'arif Institute ke Tzu Chi Indonesia

Kunjungan Ma'arif Institute ke Tzu Chi Indonesia

19 Desember 2019
Sikap saling terbuka antar pemeluk lintas agama merupakan sebuah cara merawat keberagaman dan toleransi. Jika sudah lama Tzu Chi menjalin silaturahmi dan berkolaborasi dengan Nahdlatul Ulama, kini giliran Ma’arif Institute, melalui Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Ma’arif. 
Menyayangi diri sendiri adalah wujud balas budi pada orang tua, bersumbangsih adalah wujud dari rasa syukur.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -