Latihan Drama Musikal Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi: Persiapan Menjelang Pentas
Jurnalis : Yuliati, Fotografer : Arimami S.AAnak-anak Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng sangat giat berlatih drama musikal yang akan dipentaskan pada Sabtu, 31 Januari 2016 di Aula Jing Si Lt. 3, Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara.
Bersumbangsih tidak harus dilakukan dengan memberikan uang, melainkan juga bisa dilakukan dengan memberikan tenaga maupun pemikiran. Istilah ini yang menjadi pijakan bagi para guru dan murid Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng dalam memberikan sumbangsih mereka melalui pementasan drama musikal yang menceritakan tentang perjuangan anak-anak bantaran Kali Angke dalam menggapai masa depan yang lebih cerah. Pasalnya, hasil penjualan tiket pertunjukan yang akan digelar pada Sabtu, 30 Januari 2016 sebanyak dua sesi (pagi dan siang) ini akan didonasikan untuk pembangunan Rumah Sakit Tzu Chi Indonesia yang masih dalam proses pembangunan di Kompleks Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Kepala SMP Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Asep Yaya Suhaya, SE., MM yang merupakan penggagas ide pementasan drama musikal ini mengatakan bahwa drama musikal ini untuk mengenalkan bagian dari sejarah Tzu Chi dan untuk memfasilitasi bakat anak-anak. . “Kita memberikan informasi ke masyarakat tentang sejarah Tzu Chi, sehingga bisa menggugah masyarakat untuk bersumbangsih karena pada saat bersamaan (Tzu Chi) juga sedang membangun rumah sakit,” ujar Asep, “juga menggugah anak-anak (Sekolah Cinta Kasih) untuk turut bersumbangsih, bukan hanya melalui uang, tetapi juga bisa melalui tenaga dan gagasan, sehingga ini merupakan satu kesatuan gagasan anak-anak.”
Hasil penjualan tiket pementasan drama musikal ini akan didonasikan untuk pembangunan Rumah Sakit Tzu Chi Indonesia yang sekarang masih dalam proses pembangunan.
Pementasan drama ini telah dipersiapkan dengan matang. Latihan drama pun dilakukan setiap ada pelajaran kesenian di sekolah. Anak-anak sangat antusias berlatih, bahkan terdapat beberapa anak yang bersemangat untuk menjual tiket yang masih tersisa. Sehingga pada Rabu, 27 Januari 2016, selain berlatih drama, sebagian anak juga bertolak menuju pusat pembelanjaan di Glodok, Jakarta Barat dan ITC Mangga Dua, Jakarta Utara untuk menjual tiket pementasan drama musikal ini. Melihat antusias anak didiknya, Asep merasa bahagia. “Intinya bukan menjual tiket, tetapi menggugah orang-orang untuk bersumbangsih lalu diberikan tiket. Harapannya dengan didatangi langsung mereka mau ikut bersumbangsih,” kata kepala sekolah yang masuk sejak tiga semester lalu. “Dan target kita membentuk karakter anak-anak sudah bermunculan, ada motivasi yang baik keinginan mereka untuk bersumbangsih, disiplin, tepat waktu, dan sabar.”
Pementasan drama musikal berdurasi lebih kurang dua jam ini melibatkan lebih dari 300 orang, baik pemeran drama maupun pengisi tarian dari semua unit sekolah. Sejak enam bulan lalu, pementasan drama dipersiapkan dengan baik. Pathet Paksi Manyura (29) yang menjadi sutradara drama ini terus melatih anak-anak setiap jam mata pelajarannya. “Latihan setiap kelas beda-beda. Latihan sudah mencapai 85%,” ujar Paksi. Masing-masing kelas memilih peran satu babak yang mereka anggap menguasai.
Kepala SMP Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Asep Yaya Suhaya, SE. MM mengatakan bahwa pembentukan drama musikal ini untuk mengenalkan bagian dari sejarah Tzu Chi.
Selama persiapan, mulai dari riset awal, penyusunan skenario, seleksi pemain, hingga latihan tentu menemui kendala, terlebih drama ini pertama kali diadakan dengan durasi yang cukup lama dan tidak semua anak memiliki bakat seni peran. “Kesulitan cukup banyak karena (anak-anak) enggak ada basic acting, ada yang kurang percaya diri, bicara lantang seperti apa kadang tidak banyak yang berani,” ungkap guru kesenian SMP Cinta Kasih Tzu Chi ini. Drama ini akan dipentaskan secara live di Aula Jing Si Lt. 3, Tzu Chi Center. “Pilih secara live karena tidak membatasi kreativitas anak, meskipun memang pasti ada resiko pada saat pentas di panggung,” kata Paksi. “Tapi itu kami antisipasi sedemikian mungkin,” tambahnya sembari tersenyum.
Anak-anak juga sangat antusias dan serius setiap mengikuti latihan di sekolah. “Kadang saat latihan banyak improvisasi dari mereka sendiri saat di panggung. Mereka mencoba menggali hal yang inovasi dan kreatif,” papar guru yang sudah 4 tahun mengajar di Sekolah Cinta Kasih ini. Tentunya hal ini memberikan rasa bangga bagi Paksi. Ia pun berharap melalui pementasan ini, pesan drama dapat dimaknai setiap orang yang menyaksikannya. “Anak-anak Kali Angke memiliki potensi dan bakat tersendiri. Saya berharap penonton dapat tahu bahwa kehidupan di Kali Angke itu seperti apa dan tidak memandang sebelah mata karena ternyata banyak juga dari mereka yang sukses. (Drama) ini menyampaikan mimpi mereka yang kecil, kemudian mereka gali dan perjuangkan terus hingga bisa menggapai mimpinya,” ujar Paksi.
Anak-anak diberikan pengarahan singkat dari kepala sekolah sebelum terjun menjual tiket ke salah satu pusat pembelanjaan di Jakarta pada Rabu, 27 Januari 2016.
Peran yang Menantang
Dalam kisah perjalanan anak-anak bantaran Kali Angke ini, ada banyak peran dalam drama tersebut yang dimainkan. Tidak sedikit peran yang membutuhkan kerja keras agar sesuai dengan karakter yang dimainkan. Salah satu pemeran drama ini, Arif Lukman Hakim mendapatkan peran sebagai seorang kakek tua yang berusaha membantu warga pada saat banjir melanda Kali Angke saat itu dan menemani Ketua RT dalam membicarakan bagaimana penanganan banjir. “Saya senang bisa bergabung dalam drama dan mendapat peran ini,” kata Arif, siswa kelas 8 SMP Cinta Kasih Tzu Chi ini. Ia menambahkan, “Latihan drama ini membuat saya lebih dekat dengan teman-teman, sosialisasi bareng, dan menambah kedisiplinan. Apalagi (drama) ini tujuannya menggalang dana untuk pembangunan rumah sakit.”
Untuk memerankan tokoh kakek ini, Arif juga mesti belajar membentuk suara seorang kakek tua. Ia mengaku merasa kesulitan ketika berdialog meskipun mampu menjiwai peran ini. “Dalam memerankan seorang kakek-kakek kesulitannya di suara, susah menirukan suara kakek. Sudah dicoba tapi gagal mulu, belum pas,” aku remaja 14 tahun ini. “Dari sini saya terus berusaha pengen lebih baik lagi,” ungkapnya mantap.
Pathet Paksi Manyura yang menjadi sutradara drama ini terus melatih anak-anak setiap jam mata pelajarannya.
Arif yang dulunya merupakan salah satu warga bantaran Kali Angke semakin memahami apa yang terjadi pada keluarganya dulu meskipun ia belum bisa merasakan kondisi Kali Angke dulu karena usianya yang masih Balita. “Kali Angke dulu kotor, rumah di pinggir-pinggir kali,” ucapnya. Ia juga menceritakan kisahnya yang ia dengar dari ibunya. “Mama juga cerita saat rumah kami hanyut dibawa ombak, saya digendong nenek. Kali Angke kena banjir, akhirnya diberi bantuan rumah susun dari Tzu Chi. Sekarang ada rumah susun dan rumah sakit (RSKB Cinta Kasih Tzu Chi). Di sini ada teman main bareng, dan fasilitasnya lengkap, termasuk sekolah,” kisah remaja penggemar sepak bola ini.
Lain halnya dengan Jocelyn She yang memperoleh peran sebagai seorang guru. Ia mengaku memerankan seorang guru merupakan tantangan tersendiri karena harus mendalami karakter guru. “Benar-benar harus ketat banget karena di Tzu Chi gurunya enggak bisa sembarangan. Jadi guru ternyata enggak gampang, wibawa guru itu yang sangat sulit. Dari kemarin latihan sering mendapat masukan,” ungkap siswi kelas 3 SMP Cinta Kasih Tzu Chi ini.
Salah satu pemeran drama ini, Arif Lukman Hakim (dua dari kiri) mendapatkan peran sebagai seorang kakek tua. Ia sangat menjiwai peran tersebut ketika latihan di sekolahnya, Rabu, 27 Januari 2016.
Selain menjadi salah satu pemeran drama, Jocelyn juga ikut membawakan tari pita untuk pembukaan pementasan. Remaja 14 tahun ini juga membantu koreografi pada pementasan ini. “Bantu Bu Paksi untuk koreografi dance dan drama. Juga bantu siapin properti yang diperlukan nanti,” ujarnya.
Melalui drama ini, Jocelyn mendapatkan banyak pelajaran yang bisa dijadikan pengalaman hidupnya. “Warga Kali Angke memang susah dulunya, ternyata enggak gampang, mereka bangkit dan mampu mencapai prestasi. Kami pun lebih care dengan mereka,” ucap remaja yang tinggal di Taman Surya ini. “Saya memang tergolong orang yang berkecukupan, tapi kadang merasa iri ketika melihat mereka yang di atas saya. Tapi dari kisah-kisah (drama) ini saya jadi merasa bersyukur karena ternyata masih banyak orang yang hidup (kekurangan) di bawah saya, masih banyak yang kurang beruntung nasibnya,” lanjutnya. Jocelyn berharap setiap anak yang bermain drama bisa menjiwai setiap karakter yang diperankan masing-masing. “Saya berharap teman-teman bisa menjiwai tanpa merasa terpaksa, sehingga uang yang disumbangkan untuk rumah sakit dari hasil drama ini tidak sia-sia. Kita enggak bisa sumbang duit, setidaknya sumbang tenaga,” tukasnya.
Jocelyn She (kanan depan) selain mendapatkan peran sebagai guru juga ikut tarian pita dan membantu menjadi koreografer dalam drama ini.