Lebih Dekat dengan Para Pengungsi di Palu dan Sigi

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Arimami, Hadi Pranoto, Erli tan, Tan Surianto (He Qi Utara 1)


Relawan Tzu Chi memberi perhatian dan semangat kepada warga korban gempa dan tsunami di Palu dan Sigi yang tinggal di pengungsian (hunian sementara).

Tawa dan sorak-sorai anak-anak menyambut kami (relawan Tzu Chi) tatkala memasuki kawasan hunian sementara (Huntara) Kabonena di Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tidak mudah untuk mencapai lokasi pengungsian yang berada di perbukitan ini. Terlebih masih ada beberapa jalan rusak yang belum diperbaiki pascagempa. Sepanjang perjalanan, dari atas kami bisa melihat wajah Kota Palu yang dikelilingi lautan.

Meski cuaca sangat terik menyengat, namun keramahan para pengungsi membuat sejuk hati relawan. Warga menyambut hangat kedatangan 13 orang relawan Tzu Chi yang mengunjungi mereka. Kedatangan relawan utamanya adalah untuk memberi perhatian sekaligus memverifikasi warga calon penerima bantuan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Tadulako, Kota Palu dan Pombewe, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.   

Dari ratusan warga penghuni Huntara Kabonena, beberapa diantaranya memang mengajukan permohonan bantuan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Tadulako, Palu. Salah satunya adalah Umi Atiah. Wanita berusia 42 tahun ini sejak awal sudah memutuskan untuk mengajukan bantuan di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Tadulako setelah rumahnya di Perumnas Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu hilang tertimbun tanah akibat likuefaksi. Bukan hanya kehilangan rumah, gempa dan likuefaksi juga membuatnya kehilangan orang yang dicintainya. Suami Umi, Saripudin (52) tertimbun tanah karena mencoba menyelamatkan putri mereka.

 

Umi Atiah yang suaminya meninggal akibat likuefaksi. Ng Siu Tju, relawan Tzu Chi memberinya semangat untuk terus bangkit dan pulih dari kehidupannya.

“Anak saya selamat karena suami mendorongnya ke atas (jalan), sedangkan ia sendiri kemudian terjepit dan sampai sekarang tidak ditemukan,” kata Umi lirih.

Saat musibah gempa terjadi, Umi, suami dan dua anak mereka tengah berada di dalam rumah. Keempatnya sempat menyelamatkan diri keluar dari rumah, tetapi kemudian terpisah ketika tanah mulai terbelah dan bergeser.

“Kita sudah di jalan, tetapi entah gimana, suara gemuruh dan tanah mulai bergerak dan akhirnya suami dan anak saya masuk ke retakan,” kata Umi mengenang kejadian setahun silam. Menyikapi musibah ini, Umi mengaku ikhlas. “Saya ikhlas dan pasrah karena ini kehendak Allah. Saya yakin di balik ini semua pasti ada sesuatu yang baik untuk saya dan keluarga,” tegasnya.

Harapan Umi kini adalah agar ia bisa segera menempati rumah di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Tinggal di Huntara selain terbatas segala sesuatunya juga membuatnya tidak bisa aktif mencari nafkah. Umi terbiasa berdagang. Dulu, ia berjualan nasi kuning, dan keahlian memasaknya itu akan dicobanya lagi di tempat tinggalnya nanti.

“Kalau sekarang saya bergantung dari bantuan anak pertama yang buka usaha. Kadang bantu-bantu jaga usaha milik teman juga,” ungkapnya.

 

Ada 9 Huntara di Palu dan Sigi yang dikunjungi relawan. Relawan mendatangi satu per satu warga dan berinteraksi dengan mereka.

Mendengar kisah Umi, relawan pun terharu. Ng Siu Tju tak henti-hentinya memberi semangat dan dukungan. “Ibu semangat ya…, harus bangkit!” kata Ng Siu Tju sambil memeluk Umi. Begitu pula relawan Tzu Chi lainnya, Betty Anie Arifin. Semua relawan yang hadir memberi semangat dan motivasi kepada warga di pengungsian.

Selain Huntara Kabonena, ada delapan Huntara lainnya yang dikunjungi relawan selama dua hari: 30 September dan 1 Oktober 2019. Di Palu, Huntara Penggawu, Batu Bata Indah, Duyu, dan Kompas Kabonena. Sementara di Kabupaten Sigi: Huntara WIKA Mpanau, Huntara Pertigaan (seberang WIKA), Huntara Merah Putih (BUMN), dan Huntara Ranggulalo.

Belajar dari Para Korban Bencana
Dalam setiap pemberian bantuan bencana, Tzu Chi memegang prinsip “langsung, prioritas, sesuai kebutuhan, menghargai dan cepat”. Prinsip “Langsung” mengkondisikan relawan untuk berinteraksi langsung dengan penerima bantuan. Prinsip “Prioritas” menjadi pegangan relawan saat harus menentukan pihak yang dibantu. Sedangkan prinsip “Menghargai” menunjukkan bahwa Tzu Chi memandang penerima bantuan dengan penuh penghormatan sebagai sesama manusia. Hal inilah yang melandasi relawan melakukan verifikasi dan survei langsung ke Huntara.

 

Budaya humanis Tzu Chi juga diperkenalkan kepada warga. Lagu isyarat tangan Satu Keluarga menjadi sebuah harapan munculnya benih-benih kerelawanan di Tanah Kaili (Sigi, Palu, dan Donggala) ini.

Berinteraksi langsung dengan para korban bencana juga memberi pengalaman dan warna baru bagi para relawan. Salah satunya dirasakan oleh Betty Anie Arifin. Meski usianya sudah tak muda lagi, ia tetap semangat mengikuti kegiatan Tzu Chi. Sebelum ke Palu, ia bahkan sempat ikut kegiatan pemberian perhatian bagi para korban gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

“Mendengar cerita mereka yang terkena bencana, rasa cinta kasih kita juga semakin terpanggil. Mereka ada yang kehilangan harta benda, dan bahkan anggota keluarganya,” kata Betty, “tetapi mereka tetap semangat dan mau bangkit lagi. Ini yang perlu kita teladani.”

Hal yang sama dirasakan Leni Darmawang, relawan Tzu Chi Makassar. “Meski menjadi korban bencana, tetapi mereka masih bersyukur karena selamat, masih diberi kehidupan,” kata Leni. Padahal banyak dari mereka yang harus menyaksikan sendiri saat orang-orang yang mereka sayangi menjadi korban gempa dan likuefaksi.

“Sesudah bencana juga mereka tetap semangat, meski tinggal di tenda ataupun Huntara. Mereka juga mulai hidup mandiri,” ungkap Leni. Leni yang pascabencana sudah beberapa kali datang ke Palu dan Sigi ini berharap warga bisa segera menempati rumah yang lebih layak, berkumpul bersama keluarganya, dan hidup pulih seperti sedia kala.

 

Setahun pascagempa dan tsunami di Palu, warga di Huntara Penggawu dan lainnya melakukan doa bersama untuk mengenang musibah gempa, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi tahun lalu, sekaligus mendoakan mereka yang menjadi korban.

Doa bersama juga dilakukan oleh warga Palu dan Sigi dari berbagai agama. Salah satunya umat Buddha di Wihara Karuna Dipa Palu.

Puspawati, relawan Tzu Chi yang sejak tahap verifikasi pertama di Palu mengikuti kegiatan ini melihat antusiasme warga untuk tinggal di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi sangat tinggi. “Karena tinggal di Huntara segala sesuatunya terbatas. (Keluhan) yang paling banyak adalah jauh dari tempat kerja maupun usaha,” kata Puspawati.

Dua kali melakukan verifikasi, Puspa memiliki pengalaman berbeda. Salah satunya adalah dari sisi korban. Jika di Palu banyak korban yang meningal, di Sigi dari cerita yang didapatnya banyak warga yang selamat, meski rumahnya juga rata dengan tanah. “Dari cerita warga, di Sigi ini lumpurnya dingin, sedangkan di Balaroa lebih panas. Namun persamaannya, warga tetap bisa menerima cobaan ini,” ungkap koordinator relawan ini.

Dalam proses verifikasi ini, selain mengkonfirmasi data di lapangan, relawan juga harus bisa merasakan apa yang dirasakan warga. “Penderitaan mereka juga penderitaan kita, dan kebahagiaan warga juga kebahagiaan para relawan,” kata Puspa. Proses verifikasi ini juga salah satu cara agar bantuan yang diberikan bisa tepat sasaran. “Kita benar-benar berusaha agar mereka yang membutuhkan rumah adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Kita utamakan mereka yang memiliki anak kecil, Lansia, dan mereka yang memang benar-benar tidak memiliki tempat tinggal,” tegas Puspa.

 

Relawan Tzu Chi melihat dan memantau progres pembangunan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Tadulako, Palu.

Seperti di tempat-tempat lainnya, Puspawati juga berharap dengan adanya jalinan jodoh ini, di Palu maupun Sigi bisa tumbuh benih-benih cinta kasih, hadirnya relawan-relawan Tzu Chi di kedua kota ini.

Dan harapan itu seperti sudah tampak di pelupuk mata. Terlebih selama proses verifikasi dua hari ini, ada relawan dari Sigi yang ikut membantu. Salah satunya adalah Marcelo Baruko (22 tahun). Mahasiswa STMI Bina Mulya Palu ini tergabung dalam Koko-Cici Palu. Dan selama dua hari proses verifikasi selalu ada Koko-Cici yang hadir. Mereka membantu dari mulai pengaturan barisan, pemanggilan nomor antrian, sampai memeriksa kelengkapan persyaratan.

“Ini sebagai bentuk terima kasih kami kepada Yayasan Buddha Tzu Chi yang sudah memberikan perhatian kepada masyarakat kami. Ini bentuk keterpanggilan kami sebagai Koko-Cici Sulteng,” kata Marcelo. Koko-Cici sendiri merupakan wadah muda-mudi Sulawesi Tengah yang bergerak dalam bidang sosial, budaya, dan pariwisata.

Meski rumahnya sendiri rusak karena gempa, tetapi Marcelo masih bersyukur karena keluarganya selamat. “Rumah saya juga masuk zona merah (tidak boleh dibangun lagi -red), tetapi saya yakin ke depan pasti bisa terselesaikan,” kata Macelo yang kini kos di dekat kampusnya. Keluarga besar Marcelo sendiri memang tinggal di Poso, dan saat kejadian gempa ia dan kakaknya yang menempati rumah itu selamat.

 

Koko-Cici Sulteng yang ikut membantu proses verifikasi rumah di Palu. Kehadiran mereka diharapkan bisa menjadi tumbuhnya benih-benih cinta kasih Tzu Chi di Palu.

Ungkapan senada juga disampaikan Wijaya Chandra, Ketua Koko-Cici Sulteng. Wijaya sendiri sejak awal gempa sudah ikut membantu para korban gempa bersama Tzu Chi. “Sudah kewajiban kami sebagai tuan rumah untuk membantu relawan Tzu Chi. Relawan Tzu Chi jauh-jauh datang membantu maka kita harus ikut membantu, ini contoh yang baik buat kita,” ungkapnya. Koko Cici sendiri bukan hanya berasal dari etnis Tionghoa, tapi hampir dari semua suku ada, seperti Kaili (suku asli Sulteng), Bugis, Jawa, Makassar, dan bahkan Bali. “Kita tampilkan keberagaman, kita bina mereka sejak muda agar lebih  mudah menyerap nilai-nilai kebajikan dan keberagaman,” kata Wijaya.

Di setahun pascagempa Palu ini, Wijaya berharap kehidupan masyarakat bisa lebih baik. “Satu tahun pascagempa ini sebuah momen luar biasa, dan proses verifikasi rumah dari Buddha Tzu Chi menjadi berita baik untuk masyarakat kami. Ini membuktikan tidak ada batasan cinta kasih. Orang sedih kita ikut bersedih, orang bahagia kita bahagia. Kita bangkitkan Palu, Sigi, dan Donggala untuk bangkit,” tegas Wijaya.

Editor: Khusnul Khotimah


Artikel Terkait

Lebih Dekat dengan Para Pengungsi di Palu dan Sigi

Lebih Dekat dengan Para Pengungsi di Palu dan Sigi

02 Oktober 2019

Proses verifikasi warga korban gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu, Sulteng dilakukan relawan Tzu Chi pada tanggal 28-29 September 2019. Relawan juga berkesempatan mengunjungi dan memberi perhatian kepada para pengungsi di berbagai lokasi pengungsian.

Memiliki sepasang tangan yang sehat, tetapi tidak mau berusaha, sama saja seperti orang yang tidak memiliki tangan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -