Lembaran Kisah 3 Pasien
Jurnalis : Nadya Iva Nurdiani (HeQi Selatan), Fotografer : Nadya Iva Nurdiani (HeQi Selatan)
|
| ||
Seringkali kita lupa untuk mensyukuri memiliki tubuh yang sehat dan lengkap sampai suatu ketika kita dihadapkan pada cobaan berat seperti yang dialami oleh ketiga pasien: Ajeng Suci Ramdhani, Junaedi, dan Nando Jonnatal Butar- Butar. Setiap orang memiliki lembaran kisahnya sendiri, dan kami para relawan diberikan kesempatan untuk mengenal, mempelajari, dan memaknai lembaran kisah mereka ketika kunjungan kasih dilakukan pada 12 dan 13 Juli 2012 lalu. Ajeng Suci Ramadhani (Post Ops Jantung) Pada awalnya, niat para relawan dalam kunjungan kasih ini adalah melihat kondisi Ajeng Suci Ramadhani yang merupakan adik Dinda. Relawan tidak menyangka kalau Dinda sendiri ternyata sangat mengenal Tzu Chi. Sang adik, Ajeng juga merupakan pasien Tzu Chi yang dibantu biaya pengobatan untuk operasi kebocoran jantung— penyakit yang dibawanya sejak lahir. Ketika ditemui siang itu dan melihat sosok bayi mungil berusia 11 bulan dalam buaian ayahnya, ingatan seakan kembali melayang ke bulan November 2011. Pada bulan tersebut, Ajeng dibawa ke Jakarta untuk menjalani pengobatan operasi jantung sebagai rujukan dari Pekanbaru. Ajeng yang kala itu masih berusia 2 bulan hanya dibawa oleh sang ayah karena ibunya sakit dan tidak bisa bepergian jauh. Sebagai seorang ayah, Turipno sangat telaten mengurus anaknya yang masih bayi dan mengundang decak kagum para penghuni rusun Cinta Kasih Tzu Chi blok B3 yang merupakan tempat menginap sementara pasien-pasien dari luar Jakarta. Pada waktu operasi dulu, jantung Ajeng sempat berhenti berdetak dan tim dokter memutuskan untuk melakukan operasi lagi dalam selang beberapa waktu kemudian. Di tubuhnya yang mungil itu terdapat semangat juang yang luar biasa, di operasi yang kedua inilah Ajeng berhasil melewati masa kritis. Ayahnya yang saat itu menunggu operasi benar-benar pasrah akan kondisi anaknya, tidak pernah berhenti berdoa untuk diberikan jalan yang terbaik bagi buah hatinya. Dukungan dari para relawan pun terus bergantian datang, baik dari Pekanbaru seperti TisheShijie, dr. Aurora dan Akhyar Fuad Shixiong juga segenap relawan dari Jakarta yang mendampinginya selama pengobatan seperti Ibu Ros dari Perumahan Cinta Kasih dan pasien-pasien lainnya yang kala itu juga menginap di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. Selepas operasi, Ajeng diisolasi dalam ruang ICCU (Intensive Cardiac-Care Unit) untuk masa pemulihan. Hari ke hari kondisi umumnya semakin baik sehingga Ajeng pun diizinkan pulang namun harus rutin kontrol ke spesialis jantung di Pekanbaru satu bulan sekali.
Keterangan :
Walau operasi telah selesai dilakukan, silaturahmi antara Ajeng dan relawan Tzu Chi terus terjalin seperti yang dilakukan oleh Tishe Shijie bersama dr. Aurora yang terus memantau perkembangannya. Berat badan Ajeng yang terlampau kecil membuat dirinya harus mengonsumsi susu nutrisi tambahan yang tentunya menelan biaya tidak sedikit. Namun dengan tekad besar sang ayah, hal tersebut dapat terpenuhi walau harus membanting tulang bekerja. Melihat kondisi ini para relawan pun tidak berpangku tangan. Selain kunjungan kasih yang rutin diadakan, pemberian bantuan nutrisi tambahan pun dijalankan dengan harapan kelak Ajeng dapat tumbuh sehat dan normal. Ketika kunjungan berakhir, Turipno dengan haru mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian dan bantuan yang diberikan pihak Tzu Chi, “Saya berterimakasih sudah begitu diperhatikan baik selama berada di Jakarta maupun sudah kembali ke rumah. Dukungan dan perhatian penghuni rusun waktu itu membuat saya kuat menjalani cobaan ini. Harapan saya semoga Ajeng terus tumbuh sehat sampai nanti”. Dukungan dari atasan tempat Turipno bekerja pun begitu luar biasa, secara intensif kondisi Ajeng terus dipantau setiap bulannya. Kini nafsu makan Ajeng membaik dan berat badannya secara berkala juga naik. Junaedi (Patah Tulang Pinggul) Pada tahun 2009, dunia Junaedi seakan terbalik ketika dia terjatuh pada saat memanen buah dan terantuk batu di bagian pinggulnya yang mengakibatkan keretakan tulang parah. Junaedi yang langsung tidak sadarkan diri ketika terjatuh kebetulan ditemukan oleh tetangganya dan langsung diperiksakan ke klinik terdekat. Melihat lukanya yang begitu parah membuatnya dirujuk ke RSUD Pekanbaru dan di sana dia melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Hasil pemeriksaan mengatakan Junaedi tidak mungkin sembuh seperti sediakala karena tulang panggul mengalami patah berat. Putus asa dengan hasil pemeriksaan, orang tua Junaedi memutuskan untuk melakukan pengobatan alternatif namun setelah berkali-kali menjalaninya tidak menampakkan kemajuan apapun. Akhirnya Junaedi melakukan rawat jalan selama 3 tahun dan hanya bisa terbujur di tempat tidur sebab badan sudah tidak bisa digerakkan kembali. Akibat posisi tidur yang terus menerus sama, Junaedi menderita Ulkus Decubitus yakni kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat. Parahnya luka tersebut sampai membuat daging serta tulangnya terlihat. Jaringan kulit tidak bisa tumbuh sempurna karena Junaedi pun kurang asupan makanan yang bergizi. Selama 3 tahun perawatan ini, sang ibulah yang terus menerus merawatnya tanpa lelah padahal beliau juga masih mempunyai 3 anak yang masih kecil yang juga butuh perhatiannya. Namun dengan telaten di sela kesibukannya sebagai buruh tani harian, beliau membersihkan luka serta membalikkan posisi badan Junaedi agar luka-lukanya tidak bertambah parah. Dr. Endang yang rutin melakukan visit tiap 2 minggu sekali terus memantau keadaan Junaedi, tidak hanya dari pemeriksaan tapi juga memastikan bahwa Junaedi melakukan kontrol rutin ke RSUD bahkan sampai mengusahakan pinjaman ambulance dari perusahaan maupun Puskesmas. Dari pantauan rutin tersebut, pemberian makanan tambahan disarankan berupa telur 2 butir sehari, susu dan biskuit. Selain makanan tambahan, seorang perawat juga rutin datang untuk membersihkan luka-lukanya.
Keterangan :
Tiga tahun terkungkung tidak dapat melakukan apa-apa membuatnya semakin minder ketika bertemu orang lain. Dalam kunjungan kasih yang dilakukan pada 13 Juli lalu, Viny Shijiemengajaknya mengobrol namun dia tampak ragu dan malu untuk menjawabnya. Akhir-akhir ini Junaedi sudah tidak mau melakukan kontrol ke RSUD Pekanbaru lagi. Hal tersebut dituturkan sang ibu dengan prihatin, “Semalam dia demam dan mual, sudah sebulan ini tidak mau kontrol lagi. Katanya toh kontrol terus tidak sembuh juga.” Tampaknya penderitaan yang berkepanjangan ini membuat Junaedi putus asa. “Junaedi sebelum sakit dulu suka mengerjakan apa?” tanya Viny Sj membuka percakapannya, namun dia hanya diam seakan suaranya tidak bisa keluar lagi. Pancingan-pancingan pembicaraaan terus dilakukan Viny hingga akhirnya mengalir perbincangan walau tidak banyak. “Junaedi harus yakin dulu bisa sembuh, tadi kata dr. Endang luka-luka ini sudah membaik dan ada tumbuh jaringan. Satu per satu kita obati ya, soal nanti bisa jalan atau tidaknya itu kehendak Tuhan. Yang penting sekarang kita obati satu per satu, kalau sudah memikirkan yang jauh, yang dekat jadi tidak selesai-selesai. Ayo semangat untuk sembuh, banyak yang datang ke sini untuk membantu Junaedi. Ada ibu, Ibu Tishe, dr. Endang, Pak Rojak dan teman-teman lainnya yang mau bantu tapi tidak akan jalan kalau bukan dari diri Junaedi sendiri,” kata Vinny Shijiemenasihati. Perkataan itu nampaknya membuat Junaedi termenung dan mengangguk serta berjanji pada ibunya bahwa bulan ini akan kembali kontrol. Lalu beliau menanyakan kemana Pak Rojak, yakni perawat yang selama ini datang dan mengobrol bersamanya. Mungkin karena sesama laki-laki, Junaedi tidak enggan untuk mengobrol dan bertanya tentang luka-lukanya. Ketika pamit pulang, Junaedi memperhatikan satu per satu yang datang dan tersenyum hangat lalu kembali melihat keluar jendela dan terlihat tanaman rambat, lalu angin berhembus dan sinar matahari menyeruak masuk. Sebatas itu dunia luar Junaedi. Nando Jonnatal Butar Butar (Amputasi Kaki) Pembawaannya yang percaya diri dan riang membuat perbincangan siang itu menjadi terasa singkat. Awalnya dia menceritakan kronologis kecelakaan yang menimpanya sehingga harus kehilangan satu kakinya. Nando berpesan, “Jika mengalami luka atau kecelakaan apa pun itu harus segera ditangani dengan cepat dan bagi keluarganya juga harus cepat tanggap.” Hal tersebut diucapkannya bukan tanpa alasan. Penanganan yang cepat setelah kecelakaan sudah dilakukan oleh teman-teman sekerjanya dengan membawanya ke salah satu rumah sakit swasta di Pekanbaru. Namun 8 hari setelah operasi pemasangan pen dilakukan, sakitnya kaki tersebut membuat Nando yakin ada yang tidak beres dengan kakinya. Dan benar saja ternyata ada pembusukan di kakinya, pada saat itulah keluarga Nando memutuskan untuk membawanya ke RSUD Haji Malik di Kota Medan, di sanalah kaki Nando diamputasi. Kehilangan satu kaki tidak membuat Nando berputus asa, rasa sedih dan khawatir serta pandangan kasihan orang-orang terdekatnya ditepis. “Walau saya kehilangan satu kaki, bukan berarti hidup saya berhenti sampai disini. Hidup harus jalan terus,” ujarnya mantap. Namun dia menambahkan, “Hal yang paling berat justru ketika melihat orang tua yang sedih dengan keadaan saya. Makanya saya buktikan kalau saya bisa menjalani ini semua.” Nando yang berusia 27 tahun ini juga sangat bersyukur berada di lingkungan kerja yang kondusif dan memotivasinya untuk terus maju. Sewaktu kecelakaan itu terjadi di tahun 2009, Nando bekerja sebagai teknisi ekskavator dan kini oleh perusahaan tempatnya bekerja ia ditempatkan di bagian personalia. Dari pekerjaan teknik yang berada di lapangan menjadi seorang administratif yang duduk di belakang meja merupakan hal baru baginya. Dunia baru ini membuatnya semakin semangat belajar agar orang-orang di sekitarnya tidak membedakan dirinya yang cacat. “Saya memang hanya memiliki satu kaki sekarang tapi bukan berarti saya dibedakan dengan mereka yang normal,” tegasnya. Hal tersebut dibuktikannya dengan berusaha tidak membedakan dirinya dan rekan kerja lainnya serta bersikap mandiri seperti naik turun tangga untuk mengantarkan dokumen atau mengendarai motor sebagai transportasi kesehariannya. Ketegaran seorang Nando mungkin dipengaruhi kurang lebih dari keluarganya di mana dia merupakan anak pertama dari empat bersaudara, sehingga rasa tanggung jawab dan sikap percaya diri begitu melekat di dirinya agar adik-adiknya dapat menjadikannya sebagai panutan. Harapannya setelah mendapatkan kaki palsu adalah bisa terus kembali berkarya dengan pekerjaannya.
|
| ||
Artikel Terkait
Baksos Kesehatan Ke -93 : Harapan Untuk Sehat Kembali
20 November 2013 Sampai saat ini, masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang menderita karena penyakit dan tidak mampu berobat. Maka dari itu, Tzu Chi sepanjang tahun mengadakan Baksos kesehatan di berbagai daerah dan memberikan bantuan pengobatan kepada masyarakat setempat.Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-127 di Manokwari, Papua
05 Agustus 2019Untuk memberantas penyakit mata di wilayah Papua, Tzu Chi mengadakan Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-127 di Rumah Sakit Bhayangkara Lodewijk Mandatjan, Papua Barat. Baksos yang diadakan pada 19-21 Juli 2019 ini ada 259 orang yang berhasil dioperasi. Pasien katarak 204 orang, dan pterygium sebanyak 55 orang pasien.