Letusan Merapi : Alam dan Sang Pencipta

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 
 

fotoJutaan meter kubik material yang dilontarkan oleh Merapi menutup jalan-jalan sampai radius 20 km.

Sebelum bencana datang, Desa Kinahrejo, Pelemsari, dan Ngerangkah  di Kelurahan Umbulharjo, Sleman, Yogyakarta. nampak hening dengan udara yang sejuk. Indah berlatarkan keanggunan Gunung Merapi. Masyarakatnya pun hidup damai, dengan mata pencaharian sebagai petani atau peternak sapi dan kambing.

Sejak dahulu masyarakat di sekitar lereng Merapi ini memiliki keyakinan bahwa kehidupan telah diatur oleh Hyang Gusti Allah. Dan kemakmuran adalah berkah yang diberikan oleh Gusti Allah atas keikhlasan atau kecintaannya pada manusia. Kendati demikian masyarakat tradisional Jawa meyakini semua yang mereka terima merupakan berkah atau ujian yang patut disyukuri. Karena mereka percaya di dalam kehidupan ini tidak ada yang bertambah atau berkurang. Ketika seseorang sedang kehilangan, sesungguhnya ia sedang mendapatkan. Ketika seseorang sedang memberi, sesungguhnya ia sedang menerima. Dan ketika seseorang sedang menerima, sesungguhnya ia sedang memberi.

Secara turun temurun, nenek moyang orang Jawa mengajarkan bahwa seseorang harus terus berucap syukur, ingat selalu pada sang pencipta,  dan berani menghadapi ujian. Ajaran itu sampai saat ini masih terus melekat dan dijalankan oleh Pujomiono sang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang juga berprofesi sebagai salah satu asisten juri kunci Merapi.

Pujomiono yang kini telah berusia 75 tahun selalu melewati hari-harinya dengan damai bersama istrinya yang telah berusia 68 tahun dan seorang putri tunggal yang bernama Sri. Dengan kesetiaan dan semangatnya yang tinggi pada tugas-tugas Keraton Yogyakarta, maka sekitar tahun 90an Pujomiono beserta istrinya diangkat sebagai abdi dalem Keraton dengan tugas utama membantu menjalani ritual labuhan Gunung Merapi bersama sang juru kunci.

Pujomiono yang bertutur dan berpenampilan sederhana ini, mencukupi kehidupan sehari-harinya dengan cara yang sederhana, yaitu menjadi pemandu atau menyediakan rumahnya sebagai tempat tinggal sementara bagi para pegiat alam yang hendak mendaki Merapi. Dua ekor sapi dan tujuh ekor kambing miliknya kini praktis hanya sebagai teman di kala kesendiriannya. Pujomiono sudah tak mau lagi memerah susu atau menyembelih kambing untuk mencukupi perekonomiannya. Ia berkeyakinan bahwa hidup ini telah ada yang mengatur, termasuk rezeki dan kematian.

foto  foto

Keterangan :

  • Debu vulkanik dan hujan abu juga menimpa Kota Yogyakarta. Ini adalah peristiwa yang jarang terjadi. Sebelumnya dampak letusan Merapi tidak sampai mengenai kota ini. (kiri)
  • Adi Prasetyo bersama dengan relawan Tzu Chi yang lain menjenguk Pujomiono di ruang ICU RS Bethesda. Tuti Dwiastuti (kiri) cucu Pujomiono, merasa gembira mendapatkan perhatian dari para relawan. (kanan)

Di Hari-hari Terakhir
Nok (nak) kamu sing tenang saja. Hidup itu sudah ada yang mengatur. Kalau sudah waktunya mati di mana pun pasti mati, tapi kalau belum waktunya mati biar gimana pun pasti selamat,”
”Tapi mbah, status Merapi sudah awas, pemerintah sudah minta kita mengungsi,” kata Tuti Dwiastuti salah satu cucunya.

”Kamu sing tenang wae (saja),” balas Pujomiono.

Hari itu (26/10), setelah menyantap sarapan, Pujomiono langsung meninggalkan rumahnya menuju ladang guna mencari rumput untuk pakan ternaknya. Tempat biasa Pujo mencari rumput letaknya tak terlalu jauh, ia biasa mencari rumput di sekitar kebun belakang rumahnya atau daerah menuju lereng gunung. Sementara Pujo terus menyibukkan diri mencari pakan ternak, para aparat di Kelurahan Umbulharjo terus sibuk melayani warga yang telah sudi dievakuasi dan melakukan pemantauan.

Detik demi detik terus berlalu melewati antara ketegangan para aparat dan ketenangan para warga yang memiliki keyakinan teguh pada spiritualnya. Dan ketika waktu menunjukkan sekitar pukul 15.00 WIB, aparat meminta agar warga melakukan evakuasi dengan alasan yang jelas: Merapi dalam status awas. Pujomiono yang tinggal di lereng Gunung Merapi masih saja tenang menyikapi situasi ini. Ia masih menikmati semilir angin dingin yang berhembus menembus baju tipis yang dipakainya, orang biasa pasti tidak tahan dan mengigil, tapi Pujomiono sudah terbiasa akan hal ini. Ia juga terbiasa dengan karakteristik letusan Merapi. Berdasarkan pengalamannya pyroclastik (awan panas) yang meluncur dari kubah Merapi bisa diprediksi berdasarkan arah luncurannya yang biasa terlihat jelas dari desa-desa yang ada di bawahnya. Namun rupanya Pujomiono melupakan satu hal. Sejak pagi hingga sore menjelang kubah Merapi selalu tertutup kabut tebal yang seolah menutupi wajah kemurkaannya. Bahaya sedang mengintai Pujomiono.

Sampai akhirnya pada sore menjelang malam, letusan Merapi benar terjadi. Aliran awan panas sebagai salah satu hasil letusan bergerak cepat melontarkan debu vulkanik dan gas panas dengan kecepatan mencapai 700 km/jam, bersuhu seribu derajat Celcius. Awan panas itu bergemuruh  merangsek benda apapun yang ada dihadapannya hingga tumbang dan melumer. Dalam waktu sekejap awan panas menghanguskan dan merusak 3.559 hektar hutan Taman Nasional Gunung Merapi. Dan secara bersamaan juga menerjang Desa Kinahrejo dan Pelemsari. Mengetahui kedua desa di kaki Merapi telah dirusak awan panas, Pujomiono yang tinggal di Desa Ngerangkah segera tahu apa yang harus ia lakukan –mengajak istrinya lari untuk menyelamatkan diri.

foto  foto

Keterangan :

  • Karena luka yang parah, istri Pujomiono akhirnya meninggal pada Rabu pagi 27 Oktober 2010. Pujomiono dengan ikhlas menerima kepergian sang istri. (kiri)
  • Selain dihadiri keluarga korban, pemakaman massal juga diikuti oleh para relawan, simpatisan, dan aparat pemerintah daerah. (kanan)

Kala itu suasana begitu kacau dengan teriakan banyak orang yang menyelamatkan diri. Lebih mengerikan lagi awan panas yang bergerak bagaikan kabut tebal bergulung-gulung itu sudah nampak di belakang Pujomiono. Ia bersama istrinya sekuat kemampuan lari menyelamatkan diri melalui sebuah gang di samping rumahnya. Tetapi sayang sebelum mereka sempat sampai di tempat yang aman, istri Pujomiono tergelincir di tepian jalan. Dan Pujomiono sendiri tergeletak lemah setelah beberapa detik dilewati awan panas. Kaki, badan, dan wajahnya melepuh dengan kulit yang mengelupas.

Satu jam kemudian setelah awan panas dinilai sudah tidak membahayakan, para relawan dan tim penyelamat segera menuju 3 desa tersebut untuk menyisiri korban. Dan setelah ditemukan Pujomiono secepatnya dilarikan ke rumah sakit Bethesda, sedangkan istrinya dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito karena menderita patah tulang dan luka bakar yang mencapai 90%. Namun hidup ini sudah ada yang mengatur, demikian keyakinan Pujomiono. Saat ia masih terbaring lemah di ruang ICU, istrinya meninggal pada Rabu pagi 27 Oktober 2010. Ketika penderitaan itu menjadi kesedihan sanak keluarga, pada Kamis 28 Oktober 2010 relawan Tzu Chi datang menghadiri pemakaman sang istri dan menjenguk Pujomiono yang masih terbaring lemah di rumah sakit. Kunjungan relawan pada hari itu sesungguhnya bukan sekadar memberikan bantuan, tetapi lebih dari itu, relawan bermaksud menghibur dan turut merasakan keprihatinan atas derita korban Merapi.

Selaras dengan Alam
Sesungguhnya tak banyak yang diharapkan Pujomiono dalam hidup ini. Ia hanya berharap keselamatan dan keikhlasan dari Hyang Gusti Allah. Tetapi kehidupan telah diatur berdasarkan hukum keseimbangan. Karena itu, melalui peristiwa meletusnya Merapi kali ini banyak orang Jawa tradisional berpesan: cita-cita luhur sejatinya manusia adalah memperoleh keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Karenanya demi mencapai cita-cita tersebut, selama menjalani kehidupan di dunia ini, seseorang harus menciptakan suasana selaras, sinergi, dan harmoni dengan alam dan sang pencipta.

  
 

Artikel Terkait

Bedah Buku: Sutra Hidup Manusia (Bagian 2)

Bedah Buku: Sutra Hidup Manusia (Bagian 2)

01 Oktober 2012 Kita harus bisa bersyukur atas apa yang telah kita miliki, tidak serakah dan tidak melekat terhadap apapun karena tiada yang kekal serta bisa menumbuhkan kebijaksanaan kita dengan hati yang tulus penuh welas asih tanpa pamrih.
Suara Kasih: Bekerja Sama dengan Harmonis

Suara Kasih: Bekerja Sama dengan Harmonis

19 Desember 2011 Tzu Chi adalah organisasi Buddhis yang didirikan di Taiwan. Semangat ajaran Buddha harus diwujudkan lewat indahnya keharmonisan kita. Kita harus bahu-membahu untuk bersumbangsih bagi semua makhluk yang menderita di dunia.
Kehangatan di Sekolah Tzu Chi

Kehangatan di Sekolah Tzu Chi

22 Agustus 2012
Suasana ramai riuh berdengung menghiasi aula lantai 6 Sekolah Tzu Chi Indonesia di pagi hari yang cerah pada Rabu, 15 Agustus 2012.  Pada hari itu siswa-siswi Sekolah Tzu Chi akan mengikuti rangkaian kegiatan Sports Day  yang diadakan dalam rangka perayaan peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus negeri kita tercinta, Indonesia.
Tanamkan rasa syukur pada anak-anak sejak kecil, setelah dewasa ia akan tahu bersumbangsih bagi masyarakat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -