Lim Lay Nio (Bagian 1)

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto, Anand Yahya, Johny Chandra (He Qi Barat)
 
foto

Semula Lim Lay Nio tidak bersedia untuk menjalani pengobatan yang telah diberikan oleh Tzu Chi karena pandangan yang salah. Johny terus membujuknya dengan memberikan pandangan yang positif mengenai operasi.

Jakarta pada tahun 60-an masihlah lengang. Rumah-rumah masih terlihat berjauhan, lebih-lebih jalanannya sepi oleh lalu-lalang kendaraan. Transportasi yang paling banyak waktu itu adalah becak. Becak menjadi transportasi andalan masyarakat Jakarta kala itu. Daerah Glodok sampai Jembatan Dua juga belum terlalu ramai.

Lim Lay Nio lahir dan besar di Jembatan Dua, Jakarta Barat. Saat memasuki usia remaja, Miao Kiam Lu pemuda dari Kampung Laksa, Jembatan Lima sering memperhatikan Lay Nio—saat Lay Nio pulang dari gereja pada akhir pekan. Seringnya memperhatikan Lay Nio membuat hati Kiam Lu terpikat.

 

Dengan sebuah keberanian akhirnya Kiam Lu datang untuk berkenalan. Caranya yang sopan membuat Lay Nio berani menyambut perkenalan itu. Lama-kelamaan hubungan mereka berlanjut menjadi sepasang kekasih. Seringnya Kiam Lu mendatangi rumah Lay Nio membuat orangtua Kiam Lu memutuskan untuk menikahkan mereka yang sedang dimabuk asmara. Lay Nio menilai Kiam Lu sebagai pemuda yang baik dan sopan, maka saat orangtua Kiam Lu datang mengajukan lamaran, Lay Nio menerimanya dengan senang hati. Mereka berdua akhirnya menikah di usia yang masih belasan tahun, kemudian lahirlah Lim Beng Wha yang disusul Martha tiga tahun kemudian.

Pada masa itu kehidupan Kiam Lu dan Lay Nio sudah dalam kondisi pas-pasan. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga Kiam Lu bekerja secara serabutan sebagai buruh. Sayang di usia ke-30 Kiam Lu mengalami serangan jantung dan meninggal karena tak tertolong. Kiam Lu meninggal di usia yang masih muda, di saat anak dan istrinya masih sangat membutuhkan figurnya sebagai sosok ayah dan kepala rumah tangga.

Sejak Kiam Lu meninggal dunia, Lay Nio bertekad untuk tidak menikah lagi dan hanya akan membesarkan anak-anak dengan sebaik-baiknya. Sebagai orangtua tunggal untuk menghidupi anak-anaknya Lay Nio bekerja sebagai buruh di pabrik farmasi. Beberapa tahun kemudian pabrik ini pindah ke Kabupaten Bogor. Lay Nio memutuskan untuk berhenti karena lokasinya yang terlalu jauh, lalu ia mulai melanjutkan kehidupannya dengan berdagang kue atau juru masak bila ada yang meminta. Kegiatan ini terus berlangsung hingga kedua anaknya besar dan menikah.

Setelah Lim Beng Wha dan Martha menikah, tulang punggung keluarga itu dipikul oleh menantu sambil sesekali Lay Nio mengerjakan pesanan kue. Dari pernikahan Beng Wha melahirkan Billy dan Ineke. Sedangkan pernikahan Martha dengan Yono membuahkan putri yang diberi nama Yunita, Liana, Angela, dan Abigail.

Di usia 40-an Lay Nio merasakan menstruasinya tidak lancar, perut sebelah kirinya terasa sakit, nyeri dan kencang. Sakitnya membuat kebugarannya terganggu. Lay Nio lantas meminta tetangganya yang ahli urut untuk memeriksanya. “Coba Lu pegang dah kenapa sih nih perut,” pinta Lay Nio.

Ketika ahli urut itu meraba perut Lay Nio ia terkejut karena adanya benda di sekitar area rahim Lay Nio, langsung ia berkata, “Ga berani urut ah Oma, ada bayinya di dalam. Saya takut.” Penjelasan ahli urut itu membuat Lay Nio menjadi geram. “Dari mana saya hamil. Saya udah bertahun-tahun menjanda, udah ga nyampur lagi sama laki,” kata Lay Nio dengan nada kesal. “Abis di perutnya ada benjolan saya takut untuk urutnya,” terang si ahli urut.

Sesudah itu Lay Nio segera pulang, namun untuk memeriksakan diri ke dokter rasanya hampir tidak mungkin mengingat biaya dokter yang mahal dan keadaan ekonominya yang tidak menunjang.

foto  foto

Ket : - Karena keterbatasan biaya dan minimnya pengetahuan, Lay Nio menahan sakitnya hingga puluhan tahun.
           Dengan penjelasan dari relawan Tzu Chi, akhirnya Lay Nio bersedia menjalani pengobatan. (kiri)
         - Jumat, 24 Juli 2009, Johny dan Salim kembali mengunjungi Lay Nio di rumahnya yang beralamat di Pulo
           Harapan Indah, Cengkareng Jakarta Barat. Kedatangan keduanya untuk memberikan dukungan dan
           menghibur Lay Nio. (kanan)

Dalam keadaan gundah Lay Nio teringat dengan Lulu Lusiana tetangganya yang ia kenal sejak kecil dan kini sudah menjadi dokter di rumah sakit swasta di Jakarta. Ia datangi Lulu sambil berkata, “Coba Lulu sekarang udah jadi dokter, bawa alat-alat dokter periksa ini apa emang hamil, kan udah tahun-tahunan ga punya suami kok bisa  hamil?” pinta Lay Nio sambil bertanya penasaran. Lulu segera menuruti permintaan Lay Nio untuk memeriksanya. Ketika diperiksa, “Nggak, nggak ada getaran bayi, nggak ada nafas bayi di dalamnya. Mungkin ini penyakit,” terang Lulu.  

Berhari-hari, berbulan-bulan sampai bertahun Lay Nio menahan sakit di perutnya. Selain takut karena tidak ada biaya, ia juga khawatir bila diperiksa dokter akan divonis menderita penyakit yang berat. “Saya ga punya duit, nanti kalo kelihatan penyakitnya saya jadi pikiran, saya takut. Nanti kalo disuruh ke dokter duit dari mana bayar dokternya. Jadi didiamin aja, ga pernah diladenin,” aku Lay Nio.

Bertahun-tahun Hidup dengan Kista
Bertambah bulan, bertambah tahun. Ketika pertama kali kista ini diketahui, cucunya Yunita masih bayi, dan kini Yunita sudah beranjak remaja. Kista yang ada di dalam tubuh Lay Nio semakin membesar hingga membuat perut Lay Nio semakin terlihat membusung bagai hamil tua dan terasa kian berat. Lay Nio menjadi sering sakit-sakitan, sakit yang sering dialaminya adalah sesak nafas, nyeri punggung, dan sakit pada kedua kakinya.

Setiap kali sakitnya tak tertahankan Yunita biasa mengantar Lay Nio berobat ke klinik 24 jam. Dokter klinik biasanya memberikan obat pereda nyeri punggung dan kaki. Demikian kebiasaan ini terus berulang sampai akhirnya dokter di klinik 24 jam itu tidak lagi mau memberikan obat pereda nyeri itu karena khawatir justru akan membahayakan kesehatan Lay Nio. Dokter itu menyarankan agar Lay Nio diperiksa ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang tepat.

Kembali lagi ia membayangkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan bila harus berobat di rumah sakit. Terlebih menantunya Yono sudah meninggal karena penyakit diabetes sekitar tahun 2007 dan Beng Wha telah bercerai. Tinggallah Billy dan Yunita yang bekerja di pabrik garmen yang mencarikan nafkah untuk keluarganya.

Awal tahun 2009, Yunita sudah berusia 21 tahun. Keadaan Lay Nio terlihat semakin memburuk, ia menjadi sering masuk angin, ritme nafasnya kian terengah-engah tak teratur, sulit tidur, dan kakinya sering kram hingga membuatnya sulit berjalan. “Kalau sudah begitu Oma biasanya setiap malam minta dipijitin dan dikerokin punggungnya,” kata Yunita.   

Melihat keadaan Lay Nio yang kian sakit dan tidak bisa diobati dengan cara biasa, anak-anak dan cucu-cucunya menyarankan untuk diperiksakan ke rumah sakit. Kebetulan salah satu tetangganya menyarankan untuk berobat ke rumah sakit Tzu Chi Cengkareng. “Coba aja berobat ke sana, siapa tau bisa dapat bantuan. Biasanya di sana bisa kasih bantuan,” kata si tetangga. Yunita juga langsung menunjukkan keseriusan merawat neneknya dengan berhenti dari tempat kerjanya. “Ya udah mah, periksa aja ke rumah sakit nanti Ita yang temenin,” bujuk Yunita kepada Lay Nio.

foto  foto

Ket : - Di rumah yang tidak terlalu luas ini mereka hidup bersama dalam satu keluarga, nenek, anak, dan cucu.
           Selepas ayah Yunita meninggal, kehidupan keluarga ditanggung bersama-sama oleh cucu yang telah
           bekerja. (kiri)
         - Johny saat mengikuti bakti sosial kesehatan Tzu Chi ke-59 pada 25 Juli 2009. Pada hari itu Yunita juga turut
           bergabung sebagai relawan setelah diajak oleh Johny sehari sebelumnya. (kanan)

Dengan membawa harapan, pada bulan Februari 2009 setelah perayaan Imlek, mereka mendatangi Rumah Sakit Khusus Bedah Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng. Di sini Lay Nio dirujuk ke bagian kebidanan, bertemu dengan Dr Yohanes. Setelah dirontgen dan di-USG, diketahui terdapat kista yang membesar di dalam perut Lay Nio. Yohanes menyarankan agar Yunita dan Lay Nio mengajukan permohonan bantuan ke sekretariat dan bertemu dengan Suster Weni.   

Setelah mengetahui persyaratan yang harus dipenuhi, Yunita segera melengkapi data lalu menyerahkannya ke sekretariat. Dua minggu kemudian, permohonannya mendapatkan tanggapan yang baik. Tzu Chi bersedia memberikan bantuan pengobatan kepada Lay Nio. Menyusul Lay Nio dirujuk untuk diperiksa ke rumah sakit pemerintah di Jakarta Barat. Di rumah sakit ini Lay Nio kembali menjalani pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui keganasan dari kista yang dideritanya. Hasilnya cukup mengejutkan, yaitu melebihi nilai normal.

Salah satu dokter di rumah sakit itu menyarankan agar pemeriksaannya dilanjutkan di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSCM). Karena di rumah sakit ini tidak terdapat peralatan yang lengkap. Dokter itu juga menjelaskan bahwa untuk penyembuhannya dibutuhkan kemoterapi. Lalu ia menceritakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila kemoterapi diberikan. “Nanti kalau Oma dikemo efeknya, rambut rontok, kepala bisa botak, bibir pecah-pecah,  jalannya juga bisa menjadi lemas,” jelas dokter itu.

Dalam hati Lay Nio membatin, “Kalau kaya gini bisa bikin susah anak cucu. Mending kalau kita ada duit, kita kaya. Kita (kan) susah. Nanti bikin susah orang lagi. Udahlah ga usah operasi, Biarin aja dah kalo begitu mah.” Sejak itu Lay Nio tidak lagi berniat untuk melanjutkan pengobatannya, sampai akhirnya Leo Kusno relawan Tzu Chi mendatangi rumah Lay Nio yang berada di Pulo Harapan Indah, Cengkareng Barat untuk membujuk Lay Nio agar mau melanjutkan pengobatannya.

Lay Nio masih bersikukuh tidak mau melanjutkan pengobatan. Karena yang ada di benaknya adalah kemoterapi hanya akan memberikan penderitaan dan kesusahan bagi dirinya serta anak-cucunya.

Bersambung ...

Artikel Terkait

Baksos Ke-90: Mewujudkan Kepedulian Sosial

Baksos Ke-90: Mewujudkan Kepedulian Sosial

15 April 2013 Di baksos yang telah diadakan ke-90 kalinya ini, harapan yang terbersit masih tetap sama yaitu semoga semakin banyak jiwa yang terobati, semakin banyak mata yang kembali terang, dan semakin tersebar luas pula cinta kasih di dunia ini.
Suara Kasih: Membina Dokter Humanis

Suara Kasih: Membina Dokter Humanis

03 Juni 2013 Demi menyelamatkan bumi ini, Beliau memilih datang kembali ke dunia. kepada semua makhluk. Buddha terus mengayomi bumi ini dengan harapan semua makhluk bisa tersadarkan serta hidup dengan aman dan tenteram.
Berbagi Kebahagiaan

Berbagi Kebahagiaan

25 Mei 2011
Hari itu para anggota Tzu Ching juga tidak lupa mengajak adik-adik ini mengenal dan belajar isyarat tangan yang merupakan salah satu budaya humanis Tzu Chi. Setiap gerakan isyarat tangan yang diajarkan membuat adik-adik ini tersenyum gembira.
Seulas senyuman mampu menenteramkan hati yang cemas.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -