Melampaui Keterbatasan Diri

Jurnalis : Amelia Devina (He Qi Utara), Fotografer : Amelia Devina (He Qi Utara)
 
 

fotoSeluruh peserta pelatihan melakukan isyarat tangan lagu "Wo De Ming Zi Jiao Yong Gan” (Namaku adalah Sang Pemberani) dengan begitu antusias.

Di pelatihan relawan abu putih Minggu, 16 September lalu, ada sosok seorang wanita muda yang tampak berbeda dari yang lainnya. Berjalan dengan tongkat penyangga, ia telah berhasil membuat haru suasana.

 

 

Saat Ellen Hock berjalan dari tempat duduknya menuju panggung untuk prosesi serah terima baju relawan, seisi ruangan bertepuk tangan. Dengan tertatih, selangkah demi selangkah ia didampingi seorang relawan yang menuntunnya hingga ke atas panggung. “Aku sangat terharu, sampai gemetaran. Rasanya ingin menangis, apalagi mendengar semua orang bertepuk tangan memberikan semangat,” ujar Ellen.

Pelatihan relawan abu putih ini merupakan yang pertama kalinya ia ikuti. Sekitar 560 orang yang mengikuti pelatihan di hari itu, sosok Ellen dengan tongkat penyangganya memang membuatnya terlihat berbeda. Kebetulan, ini juga pertama kalinya pelatihan abu putih dilakukan di Aula Guo Yi Ting (International Conference Hall), Tzu Chi Center, dan diselenggarakan serta diikuti oleh relawan dari empat He Qi (Barat, Selatan, Timur, Utara) di seluruh Indonesia.

Melalui Tzu Chi, Mensyukuri Kekurangan Diri
Sewaktu kecil, saat sedang bermain di ketinggian, Ellen terjatuh hingga menyebabkan tulang panggulnya yang sebelah kanan patah. Dokter menyarankan agar kakinya digips, tetapi karena saat itu sang ibu sedang hamil tua, perhatian terhadap Ellen pun terbagi. Ellen kemudian tidak dapat berjalan sama sekali, kakinya mati rasa, dan sampai usia belasan tahun harus digendong ke mana-mana. Sampai suatu hari, teman ibunya menyarankan agar Ellen berobat ke shinse (dokter pengobatan herbal ala Tiongkok) hingga kemudian syaraf-syaraf kakinya dapat kembali berfungsi. Barulah setelah itu Ellen belajar berjalan sendiri.

Jodoh dengan Tzu Chi dimulai ketika di tahun 2008 Ellen kerap menonton DAAI TV. Saat itu ia menyimpan keinginan agar suatu saat nanti dapat menjadi seorang relawan. Namun, ia masih belum tahu bagaimana caranya. Sampai sekitar Mei 2012 ketika ia sedang membuka situs jejaring sosial facebook, Ellen melihat sosok seseorang berbaju biru putih, persis seperti yang dilihatnya di DAAI TV. Ellen pun langsung menghubungi Effendy Zhang Shixiong (Shixiong - sebutan bagi relawan pria Tzu Chi), yang tidak lain adalah seorang relawan komite di He Qi Timur. Pucuk dicinta, ulam tiba. Effendy pun mengajak Ellen untuk aktif menjadi relawan Tzu Chi. Karena lokasi tempat tinggal Ellen yang berjauhan dengan pusat kegiatan He Qi Timur di Kelapa Gading, Effendy memperkenalkan Ellen kepada relawan lain yang lokasinya lebih berdekatan. Kini, Ellen adalah seorang relawan abu putih di He Qi Utara.

Keterbatasan fisik tidak lantas membuat Ellen yang lahir di tahun 1979 ini minder. Justru kini ia merasa bersyukur, terutama sejak mengikuti kegiatan kunjungan kasih – berkunjung ke rumah pasien yang pengobatannya dibantu oleh Tzu Chi. Sekali waktu pernah Ellen berkunjung ke rumah seorang pasien yang juga tidak dapat berjalan dengan normal, tetapi berbeda dengan Ellen, ia sama sekali tidak mau berjuang untuk mandiri, serta kurang bersemangat dalam menjalani hidup. Di situlah Ellen bersyukur, bahwa walaupun ia mengalami keterbatasan fisik, ia tetap mau dan mampu bersumbangsih kepada banyak orang melalui Tzu Chi.

foto   foto

Keterangan :

  • Ellen Hock didampingi Lely Herawati naik ke atas panggung untuk menerima seragam abu putih. Kekuatan hati Ellen membuat seisi ruangan bertepuk tangan menyemangatinya (kiri).
  • Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei (kanan), didampingi Wen Yu Shijie sedang memberikan pesan cinta kasih kepada seluruh peserta pelatihan (kanan).

Memaafkan Ayah
Anak pertama dari tiga bersaudara, sejak kecil Ellen telah menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari sang ayah. Walaupun terdengar janggal di zaman sekarang ini, Ellen ternyata tidak disukai karena ia adalah seorang anak perempuan. Apalagi sejak ia tidak dapat berjalan, sang ayah berlaku semakin kasar. Tidak hanya caci maki, Ellen kecil pun kerap menerima pukulan. Ketika Ellen berusia 11 tahun, sang ayah meninggal karena sakit. “Papaku tidak pernah peduli denganku karena aku anak perempuan. Sampai ia meninggal tidak pernah memperhatikan aku. Tapi aku tidak sakit hati sama Papa,” begitu Ellen mencurahkan isi hatinya.

Sudah sejak lima tahun ini Ellen tinggal sendiri di sebuah rumah kost di kawasan Grogol. Adik lelakinya telah lebih dulu meninggal, sedangkan ibunya kini tinggal bersama adik perempuannya. Pengalaman hidup Ellen yang getir tidak membuatnya patah semangat. Justru dengan bangga ia bangkit dari keterpurukannya. Pikiran positiflah yang barangkali membuat Ellen mengalami sebuah keberuntungan ketika di tahun 2007, atas jasa kebaikan seseorang yang tak ia kenal, ia dihadiahi tongkat penyangga yang kini telah menuntunnya sekitar lima tahun. Saat itu Ellen tidak sengaja salah memencet nomor telepon. Salah sambung yang berbuah baik, ternyata pria separuh baya yang menerima telepon Ellen kemudian malah menjadi temannya. Memberikan ia dukungan, juga memberikan tongkat penyangga untuk Ellen dengan tulus, tanpa imbalan apapun.

Memaksimalkan Potensi Diri
Siapa yang menyangka bahwa wanita muda seperti Ellen bekerja di dua tempat dalam sehari. Tidak tanggung-tanggung, ini ia kerjakan sampai lewat tengah malam. Di pagi hingga sore hari Ellen bekerja sebagai supervisor sebuah perusahaan jasa di bidang komputer, dan dari sore hingga malam hari, ia bekerja sebagai kasir di sebuah rumah makan. Ditambah lagi, ia juga berjualan baju secara online. Seakan tidak habis-habis energi yang ia miliki. Ketika ditanya apakah ia tidak merasa lelah, Ellen menjawab dengan sederhana bahwa ia hanya ingin memaksimalkan waktu yang ada. Selain itu, sebagai seorang Kristiani yang baik, Ellen juga rutin beribadah di gereja. Ia pun menjadi relawan multimedia, membantu ibadah di gerejanya. Di hari Minggu ketika ia sedang tidak bertugas, ia aktif berkegiatan di Tzu Chi.

Rupanya Ellen telah lebih dulu menyadari bahwa batin yang dikelola dengan baik akan menjadi batin yang tahan uji, dan dengan demikian mempunyai potensi yang tak terhingga untuk merangkul semua makhluk dengan cinta kasih universal. Seperti pesan cinta kasih yang disampaikan oleh Liu Su Mei, Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, di hari itu, “kita harus bisa mengatur diri kita sendiri, baru kita bisa membantu orang lain. Keindahan kelompok tergantung dari pembinaan diri tiap individunya.” Apabila tiap relawan Tzu Chi dapat meneladani kelapangan hati seorang Ellen Hock, tentu visi dan misi Tzu Chi akan terasa semakin mungkin untuk kita raih.

Semoga kisah Ellen Hock membuat kita bercermin bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang bagi kita untuk melakukan kebajikan. Bukan juga keterbatasan ekonomi, atau keterbatasan pendidikan. Yang menjadi penghalang utama bagi kita manusia tidak lain adalah keterbatasan pikiran – sebuah pikiran yang membatasi kita menggapai potensi maksimal di dalam diri. Lewat Ellen kita juga belajar bahwa luka masa lalu bukanlah untuk dipendam. Lewat kerelaan dan pengampunan, kita telah memilih untuk merdeka terhadap sakit hati dan beban pikiran kita sendiri. Melampaui keterbatasan diri.

  
 

Artikel Terkait

Setetes Darah yang Bermakna

Setetes Darah yang Bermakna

22 Januari 2022

Tzu Chi Palembang komunitas Xie Li Tamken Palembang menjalankan program amal dalam kegiatan Donor Darah di Jl. Residen Abdul Rozak, Kec. Ilir Timur II, Palembang pada Minggu, 16 Januari 2022 .

Menyumbang Darah, Menyelamatkan Sesama

Menyumbang Darah, Menyelamatkan Sesama

15 Juni 2012 Seperti ibu Eva, terdapat banyak sekali pendonor lainnya yang karena kebetulan melihat ada kegiatan donor darah saat berjalan-jalan di mall pun ikut serta dalam kegiatan ini.
Pemberkahan Akhir Tahun 2018

Pemberkahan Akhir Tahun 2018

07 Februari 2019
Pemberkahan Akhir Tahun 2018 Tzu Chi Indonesia kali ini terasa berbeda. Penampilan Persamuhan Dharma Wu Liang Yi Jing yang menjadi inti semangat Tzu Chi, menjadi isi dari pemberkahan akhir tahun. Sebanyak 865 orang relawan melafalkan Sutra dan melakukan gerakan isyarat tangan dengan sangat indah pada Minggu, 13 Januari 2019. Seminggu kemudian, Minggu, 20 Januari 2019 di tempat yang sama juga diadakan Pemberkahan Akhir Tahun 2018 untuk masyarakat umum. Kegiatan ini dihadiri 3.620 peserta (dua sesi, pagi dan siang).
Umur kita akan terus berkurang, sedangkan jiwa kebijaksanaan kita justru akan terus bertambah seiring perjalanan waktu.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -