Melangkah di Jalan Tzu Chi
Jurnalis : Riani Purnamasari (Tzu Chi Perwakilan Sinarmas), Fotografer : Riani Purnamasari (Tzu Chi Perwakilan Sinarmas) Para peserta training memperagakan bahasa isyarat tangan "Satu Keluarga" dalam training relawan abu putih pertama Tzu Chi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. |
| ||
Langkah kaki kembali dipijakkan oleh relawan Tzu Chi di Pulau Kalimantan. Tanggal 2 April 2011, relawan Tzu Chi dari Jakarta mengadakan pelatihan relawan biru putih di Batu Ampar Estate Training Center. Sehari sebelumnya, para relawan dari Jakarta yang tiba di Bandara Syamsuddin Noor Banjarmasin, melanjutkan perjalanan dengan jarak tempuh 5 jam ke lokasi training. Mereka pun mengadakan persiapan pelatihan seperti alur masuk dan keluar barisan, serta perlengkapan elektronik yang akan digunakan. Hari Sabtu pagi itu, para trainer melanjutkan persiapan. Kali ini, persiapan materi yang hendak diberikanlah yang menjadi fokus utama mereka. Tepat setelah makan siang selesai, pukul 13.00 WITA dimulailah pelatihan relawan abu putih pertama bagi komunitas relawan Region Kalimantan Selatan 1 dan 2. Lagu Wu Liang Fa Men mengiringi langkah para relawan ketika memasuki ruang pelatihan. Name tag telah rapi dikenakan, menunjukkan bahwa mereka adalah relawan abu putih dari Hu Ai Sinarmas, yang masuk dalam wilayah He Qi Selatan.
Keterangan :
Sejarah Tzu Chi secara global dibabarkan oleh Rudi Suryana Shixiong, yang juga merupakan salah satu anggota Komite Tzu Chi Indonesia. ”Master ChengYen dilahirkan pada tanggal 4 Mei 1937, di Desa Chingsui, Taiwan, dengan nama keluarga Huang Jin Yun,” ucapnya mengawali sejarah Tzu Chi. Lebih dalam lagi mengenal Tzu Chi, Rudi Shixiong menjelaskan konsep celengan bambu, ”Kenapa harus setiap hari menyisihkan 50 sen, bukan setiap bulan berdana NT$ 15 saja? Karena setiap hari berikrar baik dan berbuat kebajikan. Satu niat baik yang dilakukan oleh banyak orang bisa menghalau ribuan bencana, dan bentuknya adalah dana kecil amal besar.” Masuk ke materi budaya dan tata krama, Tawang Sotyajati Shixiong menjelaskan budaya humanis berupa bersyukur, saling menghormati dan cinta kasih universal. ”Prinsipnya adalah senyuman, lakukan sendiri, turun ke lapangan, rendah hati, penuh pengertian, perilaku yang lembut dan lakukan dengan sepenuh hati,” ujar Tawang Shixiong. Ia pun menjelaskan jenis seragam Tzu Chi, tata cara berpakaian, tata cara berbaris dan bagaimana harus bersikap pada saat menggunakan seragam Tzu Chi. “Insan Tzu Chi tidak hanya membawa nama dirinya sendiri, akan tetapi juga membawa image dari seluruh keluarga besar Tzu Chi, maka ketika kita berseragam dan menggunakan atribut Tzu Chi kita wajib untuk bervegetarian, tidak merokok dan tidak minum-minuman keras. Ketiga sikap itu dilakukan untuk kesehatan diri kita. Menurut Master Cheng Yen, sebelum membantu orang lain, kita harus menjaga kesehatan diri sendiri terlebih dahulu,” lanjutnya. Masih di dalam sesi budaya humanis, Riani Shijie juga memberikan pelatihan cara teknis pendokumentasian agar jejak langkah Tzu Chi di Kalimantan Selatan dapat disebarluaskan. Ia juga menjelaskan cara memotret dan menulis dengan pedoman budaya humanis Tzu Chi yaitu ”benar, bajik, dan indah” (Zhen, Shan, Mei).
Keterangan :
Mewujudkan Cinta Kasih Pelatihan ini semakin beragam ketika materi flow Baksos Kesehatan Mata dibawakan oleh Tawang Shixiong. Dijelaskan secara berurutan bagaimana relawan di bagian pendaftaran membuat administrasi secara rapi dan sistematis, kemudian relawan snellen chart diajarkan untuk mengukur kelemahan mata tiap peserta baksos sampai bagaimana relawan di beauty advisor membantu memilihkan kacamata yang cocok bagi para peserta. Video ceramah Master Cheng Yen tentang Tiga Tiada yang ditayangkan setelah itu menyentuh hati para relawan. Gempa Jepang membuat mereka semakin yakin untuk turut serta melangkah dalam jalan Tzu Chi. Di akhir pelatihan, Mulyadi Shixiong memberikan suvenir sebuah buku tulis bertuliskan ”Bersyukur” kepada semua peserta pelatihan. Rasa gembira dan bersemangat memenuhi dada para relawan. Satu langkah lagi di jalan Tzu Chi menyertai para relawan melewati malam di tengah hutan Kalimantan. | |||