Melatih Kesabaran dengan Hati Bersyukur
Jurnalis : Cindy Kusuma, Fotografer : Cindy Kusuma Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Rumah sakit yang menyimpan segudang cerita dan pelajaran berharga.. |
| ||
Hampir seperempat abad hidup di dunia ini, saya belum pernah menginjakkan kaki di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Saya juga belum pernah mendorong kursi roda seseorang. Namun, selalu ada yang pertama untuk segalanya. Hari ini, 19 November 2012, untuk pertama kalinya saya mendorong kursi roda seorang asing yang berjodoh dengan saya melalui Tzu Chi melalui lorong-lorong rumah sakit, berpapasan dengan orang-orang lain yang memakai tongkat, di atas ranjang dorong, atau berlalu-lalang dengan gontai. Ia adalah Turimma Pasaribu (37), seorang ibu bertubuh agak gemuk, pasien kasus Tzu Chi rujukan dari Kota Batam. “Ibu sakit apa?” Setelah “memarkir” kursi roda di barisan tempat duduk depan ruang radiologi yang hampir penuh, saya melontarkan pertanyaan tersebut. “Nggak tau, kata dokter sih TBC Tulang,” balas Turimma yang tidak beranjak dari kursi rodanya. Lagi-lagi yang pertama kali untuk saya. Sebelumnya, tidak pernah sekalipun saya mendengar penyakit TBC tulang. Turimma sendiri juga tidak tahu apa itu TBC tulang. Yang ia tahu, penyakit ini sudah lama sekali mengganggu dirinya, menggerogoti tulangnya sampai membusuk. Sambil menunggu giliran dirontgen, saya berbincang dengan ibu asal Pematang Siantar ini. Turimma mengatakan, penyakitnya ini muncul setelah ia melahirkan anak semata wayangnya 12 tahun yang lalu. Selama kurang lebih 7 tahun belakangan ini, Turimma kesulitan berjalan. Ia harus memegang tembok atau memakai tongkat untuk membantunya berjalan. Masih untung, keterbatasannya ini tidak mengganggunya dalam mencari nafkah. Ia menyambung hidupnya dengan membuat kue-kue dan gorengan. Hingga pada suatu hari di awal tahun 2012, kakinya bengkak dan ia tahu, penyakit yang telah meradang bertahun-tahun ini perlu segera ditumpas. Ia pun berobat ke berbagai Puskesmas, namun tidak ada yang bisa mengobati. Turimma hampir putus harapan. Namun melalui kakaknya, Mardiati, keputusasaannya berubah menjadi harapan. Berkat Mardiatilah, Turimma dapat berjodoh dengan Tzu Chi. Mardiati mendaftarkan sang adik sebagai pasien kasus Tzu Chi setelah aktif menjadi relawan Tzu Chi Batam. Perkenalan Mardiati dengan Tzu Chi adalah ketika ia meminta bantuan biaya pendidikan untuk salah satu dari 13 anaknya. Kejadian ini sudah berlalu sekian tahun. Namun sampai sekarang, setiap bulannya, Mardiati masih aktif mengunjungi Kantor Perwakilan Tzu Chi Batam dan melakukan kegiatan kerelawanan seperti daur ulang dan kunjungan kasih. Bahkan pada hari raya Waisak beberapa bulan yang lalu, Mardiati turut aktif dalam susunan acara. Mardiati pun telah menjadi donatur tetap Tzu Chi. Sudah hampir sebulan lamanya Turimma dan Mardiati berada di Jakarta untuk menjalani pengobatan. Bersama dengan pasien luar kota lainnya, mereka tinggal di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. Meski mereka berada jauh dari keluarga, tetapi mereka saling mendukung dan telah menjadi keluarga baru satu sama lain. Mereka telah menganggap Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi bagaikan rumah sendiri. Setiap hari, para pasien dan keluarganya bangun jam 4 subuh untuk bergotong-royong membersihkan perumahan.
Keterangan :
Di sela-sela ceritanya, Turimma berkali-kali membicarakan buah hatinya. “Anak saya itu pintar, masuk ke sekolah favorit di Batam,” katanya bangga. “Tapi…” raut mukanya tiba-tiba berubah, “Saya kasihan sama dia, dia merasa bersalah karena saya bilang saya sakit karena melahirkan dia.” Turimma termanggu. Sudah sebulan mereka tidak berjumpa. Turimma sangat merindukan anaknya yang sekarang duduk di bangku SMP. Selama ini mereka hanya bisa berkomunikasi melalui telepon dan SMS. Tidak tahu berapa lama lagi ia mesti menunggu, sampai penyakitnya bisa didiagnosis dengan tepat, diobati sampai sembuh, dan bisa kembali lagi ke Batam, berkumpul dengan keluarganya. “Sabar ya, Bu…” Kata saya canggung sambil menyentuh punggung tangan Turimma. Hanya itu yang bisa keluar dari mulut saya. Mungkin saya bukan orang pertama yang menyuruhnya untuk bersabar. Saya tidak tahu apakah perkataan ini bisa menenangkan hatinya. Sabar. Satu kata yang sangat mudah diucapkan namun sangat sulit dipraktikkan. Sudah dua jam sejak kami pertama kali sampai di ruang tunggu itu. Para pasien lain mulai kehilangan kesabarannya. Ada yang mondar-mandir meneror pak satpam meminta segera dipanggil, ada yang terus-terusan melihat jam tangan. Turimma pun mulai gelisah. “Turimma Pasaribu, silakan ke ruang nomer tujuh.” Kalimat yang ditunggu-tunggu akhirnya terdengar juga dari pengeras suara. Saya pun langsung mendorong Turimma masuk ke ruangan radiologi. Rupanya, penantian berjam-jam ini hanya untuk beberapa detik saja. Dan foto rontgen yang berlangsung selama beberapa detik ini saja baru ketahuan hasilnya satu hari kemudian. Sabar. Kata itu kembali muncul dalam benak. Entah sampai kapan Turimma harus bersabar. Dan ia pun tidak tahu, apakah kesabarannya itu akan membuahkan kesembuhan yang ia nantikan. Yang terpenting adalah, harapan tidak boleh hilang, dan kita hendaknya menjalani semuanya dengan hati bersyukur. Dengan hati bersyukur maka segala penantian tidak mungkin sia-sia. Saya percaya bahwa setiap hari adalah hari baik, namun hari ini adalah hari yang istimewa bagi saya. Pengalaman pertama di RSCM hari ini mengajarkan saya, bahwa dalam ketidakberdayaan, daripada marah dan menyalahkan orang lain, lebih baik melatih diri untuk lebih bersabar. Gan en Turimma. Tanpa ia sadari, ia telah memberi saya pelajaran yang amat berharga. | |||