Gathering Relawan Misi Amal bertema “Melayani dengan Empati, Semangat Membara” yang digelar di Aula Jing Si, PIK, Jakarta, Minggu, 13 April 2025, dengan talkshow kisah relawan sebagai salah satu isinya.
Dalam dunia sosial yang sering kali penuh tantangan, hadirnya sosok-sosok berhati lembut yang memilih untuk melayani menjadi secercah cahaya bagi banyak jiwa yang sedang berjuang. Relawan Misi Amal Tzu Chi adalah contoh nyata dari semangat pelayanan yang tidak hanya mengandalkan tenaga, tetapi juga mengedepankan ketulusan dan empati dalam setiap langkah mereka. Hal ini tergambar jelas dalam Gathering Relawan Misi Amal bertema “Melayani dengan Empati, Semangat Membara” yang digelar di Aula Jing Si, PIK, Jakarta, Minggu, 13 April 2025.
Ada 213 relawan yang hadir di gathering ini. Selain sebagai ajang kumpul-kumpul ini, gathering ini juga menjadi ruang pembelajaran dan perenungan bagi para relawan. Yully Kusnadi, Head of Bakti Amal Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia menyampaikan bahwa hal yang paling ia lihat dan cermati adalah komitmen para relawan, yang membuatnya sangat hormat dan kagum dengan dedikasi relawan. Karena itulah, sejak tahun 2023, diadakan Gathering Relawan Misi Amal sebagai bentuk penghargaan sekaligus ruang untuk menyegarkan kembali semangat mereka. Yully meyakini bahwa para relawan pasti lelah karena terus memberi tanpa henti. Maka, dalam gathering tersebut, dirancang berbagai sesi yang tidak hanya menyenangkan dan mempererat jaringan antar-relawan, tetapi juga sarat pembelajaran.
“Karena kami ingin ketika relawan pulang, mereka membawa energi positif, merasa di-recharge, kenal relawan baru, dan merasa diberi penghargaan, dihargai, dan disayangi. Bahwa mereka tidak hanya bekerja, tapi bertindak dengan tulus dengan komitmen yang luar biasa,” kata Yully.
Selain sebagai ajang kumpul-kumpul ini, gathering ini juga menjadi ruang pembelajaran dan perenungan bagi para relawan.
Empati yang Tak Pernah Mati
Salah satu segmen yang paling membekas dalam hati peserta adalah sesi talkshow yang mengangkat kisah-kisah nyata dari relawan misi amal, mulai dari proses mereka mengenal dunia kerelawanan hingga tantangan yang mereka hadapi.
Seperti Wie Sieong yang sempat merasa takut karena sering menangani kasus kematian, namun akhirnya bangkit karena merasa keberadaannya dibutuhkan. Ada pula Hoklay, yang bertahan di tengah dilema keputusan sulit dalam penyaluran bantuan.
“Saya sudah cukup lama ikut terlibat dalam kegiatan amal. Tapi, pernah juga ada momen di mana saya merasa tidak tahan, sehingga saya sempat berhenti dan melepaskan aktivitas di Tzu Chi. Namun, ketika saya merenung dan mengingat kembali pelajaran dari Master Cheng Yen, saya teringat bahwa beliau pernah mengatakan, ‘kalau kita tidak mendengarkan Dharma, cara pandang kita bisa menjadi keliru’. Dari situ saya sadar, saya harus tetap belajar, tetap mengikuti bimbingan dari mentor dan teman-teman se-Dharma,” tuturnya.
Tim divisi Bakti Amal Yayasan Buddha Tzu Chi menyajikan drama tentang bagaimana survei kasus pada penerima bantuan dilakukan dengan baik.
Ada pula kisah dari Denasari yang menemukan kecocokan dengan dunia medis dalam misi amal, atau Rita Malia yang belajar bahwa membantu bukan tentang mengubah orang lain, tapi hadir dan memahami dengan empati. Bahkan Tjoeng Sioe Fong menceritakan pengalamannya mendampingi seorang ibu tunggal yang hampir menyerah pada hidup. Dengan komunikasi empatik, ia berhasil menyalakan kembali semangat hidup sang ibu, yang akhirnya bangkit dan membuka usaha kecil-kecilan.
“Ketulusan itu bisa dirasakan,” ucap Yully Kusnadi. “Saat kita hadir, mendengarkan tanpa menghakimi, dan berbicara dari hati, orang akan merasa diperhatikan dan tidak sendirian.”
Dari setiap cerita yang dibagikan dalam talkshow tersebut, satu hal terasa adalah ketulusan dan empati sebagai bahan bakar yang menggerakkan mereka. Relawan bukan sosok tanpa cela, mereka juga pernah lelah, pernah bimbang, bahkan nyaris menyerah. Tapi karena ada yang mendengar, yang menguatkan, dan karena mereka terus belajar hadir dengan sepenuh hati, mereka tetap melangkah. Dari sana, mereka tumbuh dan memberi inspirasi.
Kebaikan Terus Berputar
Kunci yang menjadi benang merah dalam sesi ini adalah pentingnya komunikasi empatik. Materi ini dibawakan oleh Yully sendiri. Yully menekankan bahwa empati bukan hanya soal merasakan apa yang orang lain rasakan, tetapi juga kemampuan untuk hadir secara penuh saat mendengarkan.
“Saat kita hadir dengan sepenuh hati, penerima bantuan akan merasa dihargai, bukan sekadar dikasihani,” ujarnya. Inilah yang menjadi kunci mengapa banyak relawan bisa menyentuh hati para penerima bantuan, karena kehadiran mereka dirasakan sebagai bentuk cinta kasih, bukan belas kasihan semata.
Lily Brahma (kanan) dan Anita (kedua dari kiri) merasa senang karena mendapatkan pelajaran baru dari Gathering Relawan Misi Amal ini.
Salah satu kisah yang mencerminkan kekuatan empati ini adalah cerita dari Lily Brahma. Keluarganya dulu adalah penerima bantuan Tzu Chi. Saat masih duduk di bangku SMA di Bandung, Lily menerima bantuan pengobatan untuk sang adik yang mengidap cerebral palsy. Bantuan itu bukan hanya meringankan beban mereka, tetapi juga menjadi awal jalinan jodoh Lily. Merasa tersentuh oleh ketulusan para relawan, Lily perlahan menumbuhkan keinginan untuk membalas kebaikan itu. Hingga sejak 2007, ia mulai terlibat sebagai relawan.
Perjalanannya membawa banyak liku. Dari Bandung ke Aceh untuk berkuliah, lalu kembali ke Jakarta untuk bekerja, kini Lily berkarier di divisi Corporate Communication DAAI TV Indonesia sambil terus aktif menjadi relawan. “Saya bersyukur. Dulu kami yang dibantu. Sekarang, saya bisa ikut membantu orang lain. Ini bukan soal membalas budi, tapi meneruskan cinta kasih yang pernah kami terima,” ujarnya senang.
Melawan Keterbatasan
Tak hanya Lily, banyak relawan lain yang berbagi kisah penuh makna. Seperti Anita, relawan Tzu Chi Sinarmas yang menjadi peserta hari itu juga merasakan betul manfaatnya. Ia mengaku, komunikasi empatik yang disampaikan Yully begitu klik dan aplikatif, terutama bagi relawan yang sehari-hari terjun langsung ke masyarakat, berbaur di berbagai daerah.
Yully Kusnadi, Head of Bakti Amal Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia berbagi tentang Komunikasi Empatik yang bisa bisa dipelajari oleh semua orang dan bisa berdampak luar biasa, menciptakan hubungan yang bermakna, baik untuk sesama relawan maupun relawan bersama penerima bantuan.
“Kadang di lapangan kita langsung menjadi kaku kalau ketemu orang baru, atau terkesan buru-buru ya. Apalagi kalau survei kasus, kadang takut tanya ini dan itu. Jadi pendekatan komunikasi empatik ini memungkinkan kami bisa berlatih lebih halus, beneran akan kepakai banget,” ujarnya.
Anita menjelaskan, di berbagai wilayah perkebunan di Xie Li Sinar Mas, tantangan relawan yang menjalankan misi amal bukan hanya masalah komunikasi, tapi lebih berlapis-lapis. Jarak tempuh yang jauh, medan yang tak selalu bersahabat, kondisi warga yang serba terbatas, juga fasilitas yang masih sangat minim. “Kadang udah jauh-jauh datang, survei panjang berkali-kali, tapi nggak jadi dibantu. Ya semua ada saja tantangannya. Tapi saya salut karena relawan tetap ikhlas dan semangat.”
Menurutnya, empati juga membantu relawan menentukan prioritas dengan lebih bijak. Karena di wilayah daerah terpencil, kalau bisa, semua orang mendapat bantuan. “Tapi lewat komunikasi empatik, kami rasanya bisa menggali kisah mereka lebih dalam hingga bisa menentukan siapa yang paling butuh, diprioritaskan, atau perlu didahulukan.”
Semangat yang Tak Pernah Lelah
Misi Amal Tzu Chi memang bukan pekerjaan ringan. Tapi dari setiap cerita relawan, terasa betapa cinta kasih bisa menjadi motivasi yang tak habis-habis. Terutama saat komunikasi empatik dijadikan landasan. Bukan hanya untuk menjalin hubungan dengan penerima bantuan, tapi juga antar-relawan sendiri.
Gathering ini pun menegaskan kembali makna menjadi relawan Tzu Chi yang bukan sekadar memberi, tetapi juga hadir, mendengarkan, dan menghidupkan harapan. Di tengah dunia yang kerap terasa cepat dan individual, para relawan ini memilih untuk melambat, menyimak, dan melayani dengan sepenuh hati. Karena sejatinya, membantu bukan soal berapa banyak yang kita beri, tetapi seberapa dalam kita hadir untuk sesama.
Ada 213 relawan yang hadir di Gathering Relawan Misi Amal ini, mereka berasal dari berbagai wilayah di Jakarta dan Tangerang.
Master Cheng Yen menuturkan bahwa esensi kehadiran relawan bukan hanya untuk membagi bantuan, tapi membangun perubahan. Perubahan ini yang dimulai dari mendengar dengan hati dan melayani dengan empati.
Seperti yang dikatakan Yully, “Kami tahu misi ini baik. Dan kalau ini baik, kami ingin misi ini bertahan lama. Maka kita perlu terus belajar, beregenerasi, dan saling menguatkan.”
Dan pada hari itu, semangat relawan tak hanya membara, tapi juga menular, menyala, dan siap menyinari lebih banyak hati yang membutuhkan.
Editor: Arimami Suryo A.