Melestarikan Budaya Menciptakan Persatuan
Jurnalis : Stefanny Doddy, Fotografer : Stefanny DoddyOrang
tua, murid, dan guru Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi menyaksikan pertunjukkan pada
acara Multicultural Day dengan penuh
perhatian.
Negara yang besar adalah negara yang memiliki budaya, sebuah karakteristik yang membedakan negara tersebut dengan yang lainnya. Indonesia sendiri merupakan negara yang tergolong sangat kaya dengan ribuan pulau dan budaya yang mewakili sekian banyak suku. Namun, tidak dapat dipungkiri lagi, dengan adanya kemajuan teknologi dimana informasi menjadi lebih efisien, budaya-budaya lokal ini sedikit demi sedikit mulai terkikis oleh budaya asing yang tersebar melalui globalisasi.
Oleh karena itu, Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat kembali mengadakan acara rutin tahunan sekolah, yakni Multicultural Day, pada hari Kamis, 15 November 2018 di Aula sekolah. Tahun ini merupakan tahun ke-5, sejak pertama kali kegiatan ini diadakan di Sekolah Cinta Kasih. Namun, untuk kali ini, kedua budaya lokal dan asing langsung digabung dalam satu acara, tidak terpisah seperti sebelumnya dan sekarang hanya terdapat 6 negara internasional dan 6 budaya lokal.
Salah satu tujuan acara ini adalah untuk memperkenalkan kembali baik budaya asing maupun budaya lokal. Namun, melalui acara ini, sebagai salah satu media pendidikan di Indonesia, pihak Sekolah Cinta Kasih juga turut mengantisipasi terjadinya proses asimilasi pada generasi penerus tanah air ini.
Asep
Yaya Suhaya, SE, MM, kepala sekolah SMP Cinta Kasih Tzu Chi, membuka acara
dengan kata sambutannya kepada para peserta.
“Kami selaku pendidik, berusaha memberikan motivasi pada siswa bahwa budaya ini harus dipertahankan, contohnya dengan program seperti ini. Kami juga mengenalkan budaya asing dalam acara ini, tetapi tujuannya adalah agar para murid bisa belajar untuk lebih kritis dalam menerapkan budaya asing. Mana yang baik dan mana yang tidak. Di sisi lain juga acara ini untuk perkembangan mental anak-anak khususnya pembentukan karakter, karena apabila kita bicara tentang masalah karakter, berarti kita berbicara masalah program, sistem, dan idealisme kependidikan,” ujar Asep Yaya Suhaya, SE, MM, Kepala SMP Cinta Kasih Tzu Chi.
Acara Multicultural Day yang mengambil konsep pengenalan budaya luar dan lokal ini diramaikan dengan berbagai penampilan murid SMP Sekolah Cinta Kasih. Ada drama cerita rakyat, paduan suara, modern dance, standup komedi, dan penampilan film pendek. Dalam hal persiapannya sendiri, sudah dilakukan para murid sejak sebulan sebelumnya.
Murid
kelas 7 Sekolah Cinta Kasih mempersembahkan tarian sambil menyanyikan lagu dari
film The Greatest Showman.
Tidak
hanya drama musikal dan cerita rakyat, para siswa juga menampilkan modern dance.
“Dalam proses persiapan tersebut, para murid juga belajar life skill, misalnya cara berkomunikasi yang baik dengan teman, meningkatkan rasa sensitivitas, empati, dan simpati antarsesama ketika mereka sedang mengadakan latihan. Sehingga, pada akhirnya, tidak hanya pengenalan budaya saja, tetapi juga terbentuknya karakter para murid dalam bersosialisasi di lingkungan masyarakat,” kata Asep Yaya Suhaya kembali.
Persatuan Dalam Perbedaan
Sebagai siswi kelas 8 yang mendapat kesempatan untuk ikut dalam pementasan drama cerita rakyat, Malin Kundang, Nadya Aplia sangat senang dapat berpatisipasi dalam mengisi acara dan mewakili kelasnya. Meski naskah akhir menjadi lebih panjang dari awalnya, Nadya tetap tampil dengan sukses. Dalam drama ini, Nadya mendapatkan peran sebagai ibu dari Malin Kundang yang ia perankan dengan penuh antusias.
Nadya Aplia (kiri), sedang memainkan perannya sebagai ibu Malin Kundang.
“Jujur saya sangat malu karena kalau dulu di sekolah dasar hanya ditonton oleh adik kelas. Tetapi, sekarang guru, murid, sampai orang tua semuanya menonton. Jadinya, cukup gugup saat berperan. Untunglah tadi bisa memberikan yang terbaik. Saya cukup senang dan lega,” ujar Nadya Aplia.
Nadya tidak hanya senang bisa mengisi acara, tetapi juga dengan adanya acara Multicultural Day ini. Menurutnya, acara ini menarik dan memberikannya banyak pengalaman serta pembelajaran.
Akhir
dari drama Malin Kundang yang dimainkan oleh para siswa kelas 8 Sekolah Cinta
Kasih.
“Kita jadi bisa mengenal banyak suku-suku lain dan juga terasa sekali persatuannya, karena di sini kita berbeda-beda suku, ras, dan agama. Namun, kita bisa bekerja sama dengan harmonis,” pungkas Nadya Aplia.
Bazar Budaya Asing dan Lokal
Sebuah acara kebudayaan seperti ini tentunya tidak lengkap tanpa perkenalan makanan dari masing-masing budaya. Murid Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi ikut memeriahkannya tidak hanya dengan pementasan kreativitas mereka, tetapi juga dengan mendirikan bazar makanan. Total jumlah bazar terhitung ada 13 stan, yang mewakili seluruh budaya nasional maupun internasional dalam acara tersebut.
Ketika
acara berselang dengan istirahat, para murid dari masing-masing jenjang
bergiliran untuk membeli makanan di bazar.
Untuk pembelian makanan di bazar, sekolah menggunakan sistem kupon dan masing-masing siswa harus membawa kotak dan alat makan mereka sendiri saat membeli makanan. Seperti motto Tzu Chi dalam upaya pelestarian lingkungan.
Castalia dan Lifa, dua murid kelas 7 Sekolah Cinta Kasih, dalam acara ini membuka stan makanan Jepang yang berhasil terjual habis. Keduanya sangat antusias saat awal mempersiapkan makanan mereka dan melihat jualan mereka laku, Castalia dan Lifa sangat senang.
Calista
(batik ungu) dan Lifa (batik hijau) sedang mempersiapkan minuman untuk dijual
di stan makanan Jepang mereka.
“Diadakannya bazar makanan ini memang tujuannya untuk memeriahkan acara. Dengan durasi kegiatan yang cukup lama, teman-teman pasti lapar dan haus. Jadi, ketika istirahat, mereka bisa beli makanan di sini. Sekaligus, kami bisa mendapatkan kesempatan untuk berkarya lewat makanan,” ujar Castalia dan Lifa.
Intinya Bukan Pementasan Tetapi Proses
Acara Multicultural Day yang terbilang sukses ini bukan hanya hasil dari kerja keras para murid tetapi juga kerja sama antara wali kelas dan para siswa. Persiapan yang berjalan selama kurang lebih satu bulan, penuh dengan rasa senang maupun susah. Ada kalanya yang mengeluh, berselisih pendapat, maupun yang marah. Semuanya dialami oleh para wali kelas dan murid bersama-sama.
“Tugas wali kelas di sini adalah membimbing dan membina anak-anak, sehingga terbentuknya teamwork yang bagus. Sinergi antara wali kelas dan murid terbilang sangat baik dengan adanya program seperti hari ini, menurut saya. Kedua pihak sangat terbuka dalam hal komunikasi,” kata Asep Yaya Suhaya.
Antonius
Edhy Harsanto (kiri) sedang berbicara dengan dua guru Sekolah Cinta Kasih
lainnya.
Sementara itu, dari kacamata seorang guru, acara Multicultural Day yang sukses bukanlah hal yang paling utama maupun sebuah memori yang paling berkesan, melainkan proses persiapannya-lah yang merupakan suatu pengalaman yang tak terlupakan.
“Ini adalah suatu pembelajaran anak dan Multicultural Day merupakan medianya. Jadi, inti dari acara ini bukanlah pada pementasannya, tetapi pada proses persiapannya. Kerja sama dalam koordinasi acara, persiapan murid-murid untuk pentas, dan sebagainya. Acara ini hanyalah akhir dari proses pembelajaran itu,” ucap Antonius Edhy Harsanto, seorang guru IPS di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi.