Membalas Budi Baik Buddha, Orangtua, dan Semua Makhluk

Jurnalis : Ivana, Fotografer : Anand Yahya, Henry, Antony, Roann (He Qi Barat), Pitra S.
 
foto

Para peserta Pemandian Buddha Rupang membentuk formasi mengitari altar lingkaran, tampak seperti pancaran cahaya ke segala arah.

Pada 2552 tahun lalu, Siddhartha Gautama terlahir di dunia ini. Beliau kemudian meninggalkan keluarga untuk menemukan Penerangan Sempurna dan menjadi Buddha. Setelah agama Buddha menyebar ke China, pada setiap Hari Waisak dilakukan Prosesi Pemandian Buddha Rupang (patung) untuk memperingati kedatangan Buddha di dunia. Tzu Chi didirikan pada tanggal 24 bulan 3 penanggalan lunar di tahun 1966, namun sejak tahun 1996 ditetapkan setiap hari Minggu kedua bulan Mei sebagai “Hari Tzu Chi”, hari ini juga merupakan “Hari Ibu” internasional.

Khidmat Sebagai Wujud Penghormatan
Hari Minggu kedua Mei tahun 2008 jatuh pada tanggal 11 Mei, secara serentak insan Tzu Chi di seluruh dunia merayakan Hari Waisak, Hari Ibu, dan Hari Tzu Chi. Tzu Chi Indonesia merayakannya di Jakarta International Exhibition Center (JITEC), Mangga Dua Square Lt. 8, Jakarta. Lebih dari satu bulan lalu, berbagai persiapan telah disusun. Pasca peringatan hari ini pun, selama satu bulan penuh para relawan Tzu Chi membagikan makanan vegetarian dan membuka pameran di titik-titik komunitas mereka.

Kalau tahun-tahun sebelumnya Tzu Chi Indonesia membagi Pemandian Buddha Rupang menjadi beberapa sesi dengan pola baris yang sederhana, maka kali ini Tzu Chi menggabungkannya dalam formasi besar yang indah namun agak rumit. Relawan menyediakan 2 altar penghormatan, satu berbentuk lingkaran dekat mimbar dan satu membujur di belakang lingkaran. Peserta pemandian berdiri mengelilingi altar bulat, berbaris lurus, seolah membentuk pancaran cahaya. Sementara di altar panjang, peserta berbaris di tiga sisi. Kerapian ini dapat tercapai karena relawan Tzu Chi telah menempelkan penanda posisi berdiri di lantai. Tak kurang dari 4.000 penanda digambar dan ditempelkan. Bila setiap orang dengan tertib berdiri tepat di atas penanda ini, mereka akan menampilkan kesatuan yang indah.

Prosesi pemandian berlangsung khidmat. Kenyataan bahwa 4.064 peserta satu-persatu dapat melakukan Pemandian Buddha Rupang dengan rapi, cukup mengesankan. Mereka perlahan bergerak mendekati altar dalam barisan, lalu setelah tiba giliran, peserta melakukan 3 gerakan: memberi salam sujud di kaki Buddha sambil menyentuh air wangi dengan kedua tangan, lalu membungkuk hormat sambil mengambil sekuntum bunga, dan setelahnya berbalik badan untuk kembali ke barisan. Setelah itu masih ada pradaksina, yaitu berjalan searah jarum jam dalam siklus. Dengan melakukan pradaksina, peserta mengungkapkan terima kasih kepada Buddha yang telah membangkitkan kesadaran batin umat manusia, juga melambangkan rasa terima kasih insan Tzu Chi atas perwujudan Dharma yang diperlihatkan oleh semua makhluk dalam penderitaan.

“Makna Pemandian Buddha Rupang adalah membangkitkan cinta kasih dalam diri sendiri, bersikap tulus dan hormat dan menghapus kerisauan, sehingga tercapai kondisi batin yang terang dan jernih,” demikian Master Cheng Yen pernah berpesan. Di samping itu Master Cheng Yen menjelaskan bahwa pada saat melakukan pemandian ini sesungguhnya kita juga sedang membasuh kekotoran batin kita sendiri dan semua makhluk.

foto  foto

Ket : - Seorang relawan komite Tzu Chi memberikan kartu berbentuk daun Bodhi berisi ajaran Dharma kepada
           siswa sekolah Buddhis yang baru selesai melakukan pemandian. (kiri)
         - Tsai Siu-chi yang menjadi pengarah acara sempat merasa khawatir tentang kelancaran kegiatan.
           Selama 1 bulan ini dengan sepenuh hati ia mempersiapkan kegiatan Pemandian Buddha Rupang
           ini. (kanan)

“Cuma Ini yang Bisa Saya Perbuat untuk Mama”
Suhardi (32) datang ke JITEC hari itu setelah melihat sebuah brosur. Sebelumnya, ia sudah mengenal Tzu Chi lewat DAAI TV. Suhardi tidak datang sendirian, ia mengajak Susilowati (63) ibunya yang kebetulan sedang datang ke Jakarta dari Cipanas. Ibu-anak ini punya kedekatan khusus, sejak kecil sang ayah sudah meninggal dunia sehingga Susilowati yang membesarkan kedua anaknya sendirian. Keluarga kecil ini terpencar ketika Suhardi pergi menjadi guru di Jakarta, adiknya ke Bandung, sementara Susilowati tetap tinggal di Cipanas dengan kakaknya.

“Saya lihat acara ini buat Mama berarti sekali. Saya kenalin Mama ke jalan Buddha. Saya cuma pengen satu saat nanti jika dia akan pergi untuk selama-lamanya, dia udah tau jalannya ke mana. Cuma ini yang bisa saya perbuat untuk Mama,” tutur Suhardi dengan mata yang sekejap berkaca-kaca. Kebetulan belum lama ini Susilowati baru menjalani visuddhi-upasika (prosesi menjadi murid Buddha), proses yang sudah dinantinya selama 2 tahun. Susilowati mengungkapkan sangat senang dapat mengikuti prosesi Pemandian Buddha Rupang ini.

Pada hari Ibu yang juga jatuh pada hari yang sama, Suhardi mendapat kesempatan baik untuk menunjukkan bakti pada orangtua tunggalnya. “Selama ini kita jarang ketemu, dan kebetulan saya berapa minggu ini lagi sakit, dan Mama dateng ke Jakarta merawat saya. Trus kebetulan juga saya denger ada acara seperti ini, jadi dalam hati saya bilang momen ini saya ga mau lewatin. Saya pikir mudah-mudahan, di hari ini saya ingin supaya Mama bahagia, terus bahagia selama-lamanya,” katanya.

foto  foto

Ket : - Dengan ujung jari, para peserta menyentuh air suci pertanda pemandian. Sesungguhnya saat sedang
           melakukan pemandian ini, kita juga sedang membersihkan hati kita sendiri dari kekotoran batin. (kiri)
         - Suhardi (baju batik) mengajak ibunya Susilowati untuk mengikuti kegiatan ini. Ia berharap Susilowati
           semakin memahami ajaran Buddha dan berbahagia selama-lamanya. (kanan)

Selain masyarakat umum dan relawan, dokter, perawat, dan karyawan Tzu Chi juga hadir. “Saya merasa suasananya lebih khusuk terutama waktu mengitari (lingkaran) itu dan kita harus ambil bunga. Rasanya khidmat,” tutur dr Ryan Ardi Lesmana yang baru pertama kali mengikuti peringatan Waisak di Tzu Chi. Sebagai seorang umat Buddha, dalam momen Waisak ini dr Ryan bertekad akan membantu lebih banyak orang lagi sesuai profesinya selaku dokter. Ia juga mendoakan Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi dapat menjadi panutan bagi rumah sakit-rumah sakit lain.

Zr. Weny juga seorang perawat di RSKB Cinta Kasih. Meskipun ia sendiri bukan seorang Buddhis, namun ia mengikuti prosesi ini dengan sukarela dan mengaku menikmatinya. “Buat saya ini satu acara untuk mengingatkan kita kembali bahwa semua agama itu sebetulnya baik. Ajaran agama adalah untuk menjadikan saya lebih baik dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Zr. Weny mantap.

Kelelahan yang Terjawab
Tidak sedikit relawan yang dilibatkan untuk mendukung terlaksanakan kegiatan ini. Mereka mendapat tugas mulai dari menempel penanda di lantai, menata altar, mengatur barisan, menyediakan bunga, mempersiapkan suvenir, mendampingi para siswa sekolah Buddhis, sampai dengan mendokumentasikan kegiatan. Seluruhnya berpartisipasi secara sukarela. “Saya mau aja sendiri, nggak ada yang suruh,” kata Joe Riyadi yang bertugas mengatur peserta di altar panjang. Sejak 5 hari sebelumnya, ia juga membantu menempel penanda posisi. Meski lelah, ia bertutur, “Enjoy, senanglah bisa begini sukses. Bagus!” Bertugas dengan Joe Riyadi, ada pula Revian yang mengaku momen Waisak selalu memberinya ketenangan.

foto  foto

Ket : - Prosesi yang khidmat melambangkan rasa hormat. Meski peserta berjumlah ribuan orang, bila mereka
           menjaga sikap dengan baik dan berdiri di posisi yang benar, akan tercipta keindahan dalam kesatuan. (kiri)
         - Peserta bergiliran maju ke altar untuk memberikan penghormatan kepada Buddha sambil menyentuh
           air berkah, lalu mengambil bunga yang melambangkan semerbak harumnya Dharma. (kanan)

Bagi Tzu Chi Indonesia, peringatan Waisak ini adalah pertama kali digelar secara akbar. Maka maklum jika ada banyak kekhawatiran tentang kelancaran kegiatan ini. “Awal mula saya merasa sangat khawatir. Kalau di Taiwan yang ikut acara ini kan para relawan. Kalaupun ada masyarakat umum, itu juga baris di belakang. Sementara kita, relawan hanya sedikit, sebagian besar adalah masyarakat umum, padahal kita harus menjalankannya sesuai tatacara Tzu Chi,” kata Tsai Siu-chi yang menjadi pengarah acara dalam kegiatan ini. Sejak latihan 5 hari sebelumnya, Siu-chi tak bosan-bosan mengingatkan relawan untuk menjaga sikap tubuh dan berdiri di posisi yang benar.

Keseluruhan prosesi Pemandian Buddha Rupang berlangsung selama 2 jam dalam posisi berdiri. Beberapa peserta lanjut usia yang tidak tahan menepi dan beristirahat sejenak. Peserta yang berusia muda dan tidak terbiasa pun mungkin akan merasa pegal kakinya. Meski demikian, doa tulus dan khidmat yang dipanjatkan serta pelimpahan pahala yang dihaturkan, semoga bisa membawa kedamaian dan keselamatan bagi seluruh makhluk di dunia.

foto  

Ket : - Untuk pertama kali Tzu Chi Indonesia melakukan peringatan Pemandian Buddha Rupang secara gabungan.
           Kegiatan di JITEC Mangga Dua Square Lt. 8 itu dihadiri 4.064 orang yang dibagi di 2 altar.

 

Artikel Terkait

Seratus Ribu Paket Bantuan Beras dari Tzu Chi dan Pengusaha Peduli NKRI Untuk Warga Bali

Seratus Ribu Paket Bantuan Beras dari Tzu Chi dan Pengusaha Peduli NKRI Untuk Warga Bali

02 Agustus 2021

Sebanyak 500 ton atau 100.000 paket beras dari Tzu Chi Indonesia dan Pengusaha Peduli NKRI telah tiba di Pulau Bali. Bantuan ini siap didistribusikan untuk warga yang sangat terdampak pandemi Covid-19, utamanya yang belum mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat.

Paket Lebaran 2022: Tzu Chi Jambi Bagikan Paket Sembako

Paket Lebaran 2022: Tzu Chi Jambi Bagikan Paket Sembako

09 Mei 2022

Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1443 H, Tzu Chi Jambi membagikan 1.200 paket sembako untuk warga tidak mampu di 3 kelurahan di Kota Jambi.

Suara Kasih : Menjadi Teladan Nyata

Suara Kasih : Menjadi Teladan Nyata

16 Maret 2012 Sejak tanggal 8 Maret lalu, Tzu Chi mengadakan pementasan adaptasi Sutra di Hualien. seluruh staf misi kesehatan dan insan Tzu Chi dari Taiwan bagian timur yang telah berpartisipasi  dalam mementaskan dua sesi pertama. Sungguh membuat orang tersentuh melihatnya.
Keteguhan hati dan keuletan bagaikan tetesan air yang menembus batu karang. Kesulitan dan rintangan sebesar apapun bisa ditembus.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -