Membangun Rumah dan Harapan
Jurnalis : Hadi Pranoto , Fotografer : Hadi Pranoto Sebelum membongkar dan membangun kembali rumah Rita (59) dan Toni (53) adiknya, relawan Tzu Chi membantu mengeluarkan barang-barang dan membersihkan rumah itu pada hari Senin, 28 Juli 2008. | “Waktu kita pertama survei, kita prihatin banget. Kita nggak nyangka kalo di Jakarta ini ternyata masih ada orang yang tinggal di rumah seperti ini. Atapnya dah roboh ke bawah, dapurnya juga dah roboh, kalo mau masuk kita harus membungkukkan badan 90 derajat.” |
Tidak seperti tetangganya, kehidupan Rita dan Toni, adiknya, sangatlah jauh berbeda. Rumah yang mereka tempati sejak 52 tahun silam –tinggal sejak tahun 1956– sama sekali belum pernah direnovasi. Seperti para penghuninya yang bertambah tua dan berkurang kekuatan fisiknya, tempat tinggal mereka pun sama, bahkan kondisinya lebih parah lagi. Atap seng yang berkarat, meliuk-liuk tak beraturan saat tertiup angin dan kayu atap rumah sudah banyak yang patah dan terjulur ke bawah. Setelah saya amati, ternyata yang membuat rumah ini tetap berdiri adalah sebuah tempat tidur susun. Ya, ranjang susun dan tumpukan barang-barang bekas itulah yang telah menyangga rumah kediaman mereka hingga bisa bertahan sampai hari ini. Begitu memasuki rumah, bau tak sedap langsung menyengat seolah menyambut kedatangan saya dan para relawan Tzu Chi. Saluran pembuangan air (got) yang terletak tepat di sebelah kiri rumah sepertinya menyumbang besar terhadap bau tak sedap di rumah itu. Rembesan sisa-sisa pembuangan kotoran limbah warga itu terlihat jelas di beberapa bagian sudut rumah. Belum lagi tumpukan barang-barang bekas dan patahan atap kayu yang membuat para relawan harus ekstra hati-hati saat memasuki rumah itu. “Bapak kuat tinggal dan tidur di ruangan seperti ini?” tanya seorang relawan. Toni, pria berumur 53 tahun itu pun menganggukkan kepalanya. “Habis mau gimana lagi?” jawabnya enteng. Pria yang bekerja tidak tetap sebagai tenaga instalasi listrik ini pun mengeluhkan penghasilannya yang tak seberapa dan tak menentu. “Boro-boro buat betulin rumah, buat makan sehari-hari aja kami sering kejepit,” sambung Toni. Tak seberapa lama, Jonathan (16) putranya melintas. “Kalau saya punya uang, anak saya dah saya sekolahin,” tunjuk Toni. Karena tak ada biaya, Jonathan hanya sempat bersekolah hingga tamat Sekolah Dasar. Jonathan adalah buah perkawinannya dengan almarhum istrinya yang meninggal 11 tahun lampau. Dulu Toni dan Jonathan tinggal di rumah orangtua istrinya. Namun, sejak istrinya meninggal dunia karena stroke, Toni dan Jonathan pun tinggal di rumah peninggalan orangtua Toni, bersama Rita kakaknya. Ket : - Toni dan Jonathan saat memindahkan barang-barang keluar rumah. Marlinda dan relawan Tzu Chi lainnya Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada kakaknya, Rita, wanita yang masih melajang di usianya yang ke-59 ini pun memberikan jawaban yang sama. “Ya enak aja, namanya juga rumah sendiri, biar rusak kayak kandang ayam, tetap aja rumah sendiri. Biar bagus, tapi rumah orang lain ya nggak enak juga ninggalinnya,” jawab Rita. Bahkan Rita sama sekali tidak khawatir ataupun takut rumahnya bakal ambruk. “Nggak takut roboh, pikiran saya rumah ini kan dari seng, terus juga ditunjang ama ranjang susun, jadi nggak takut ambruk. Kalo ranjangnya dicabut, pasti ambruk,” ujarnya sambil tertawa. Hanya musim penghujan yang ditakutinya. Maklum saja, 80% atap rumah ini terbuka sehingga jika turun hujan, air pun mengalir deras ke dalam rumah. Belum lagi kalau banjir, kedua kakak-beradik dan Jonathan harus mengungsi ke rumah tetangganya. Tapi sepertinya kecemasan itu akan segera berakhir. Senin, 28 Juli 2008, 10 relawan Tzu Chi mengunjungi rumah kediaman mereka. Kedatangan para relawan ini adalah untuk membongkar dan membangun kembali rumah ini dengan bangunan baru. Setelah dibersihkan –barang-barang yang tidak terpakai dikeluarkan– relawan Tzu Chi dibantu pekerja bangunan mulai merobohkan bagian rumah itu satu per satu. Menurut Marlinda, relawan Tzu Chi, alasan yang melatarbelakangi Tzu Chi membantu pembangunan rumah keluarga ini adalah karena kondisinya yang sudah sangat tidak layak huni. “Dah nggak layak huni, dah mau roboh, kamar dan ranjangnya pun dah nggak layak,” kata Marlinda yang mengetahui informasi keberadaan rumah ini dari salah seorang temannya. Selain prihatin dengan kondisi rumah, Marlinda dan relawan Tzu Chi lainnya merasa miris melihat Jonathan yang putus sekolah. “Kami juga berencana untuk membiayai pendidikan Jonathan,” tegas Marlinda. Ketika ditanyakan sampai kapan (jenjang apa) relawan Tzu Chi akan membiayainya, Marlinda menjawab, “Tidak ada batasan, kalau anak ini (Jonathan –red) mau dan rajin sekolah, sampai universitas pun kita siap.” Tekad ini bukanlah main-main dan mengada-ada. Para relawan Tzu Chi sangat mengerti bahwa salah satu cara untuk mengangkat derajat kehidupan seseorang haruslah dengan pendidikan. “Jadi nantinya tidak hanya rumahnya yang bagus, tapi Jonathan juga bisa membantu ayah dan bibinya meraih kehidupan yang lebih baik,” kata Marlinda berharap. “Kita bantu dia sekolah sampai dia bisa kerja dan bantu keluarganya hidup lebih baik lagi,” tambah Roswaty, relawan Tzu Chi lainnya. | |
Artikel Terkait
Baksos Degeneratif yang Sangat Membantu
28 November 2018Untuk mengedukasi masyarakat tentang kesehatan, juga sebagai bentuk sumbangsih kepada masyarakat kurang mampu, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Pusat, Xie Li Pademangan mengadakan Baksos Degeneratif pada Minggu, 25 November 2018.