Membangun Sikap Positif dan Mengasah Keterampilan
Jurnalis : Michelle Novenda (He Qi Barat 2), Fotografer : Erli Tan, Elysa Wu (He Qi Utara2), James Yip (He Qi Barat 2)Kamp Budi Pekerti Tzu Shao 2018 diikuti oleh 104 anak-anak Tzu Shao dari seluruh wilayah Jakarta. Kegiatan selama 2 hari ini diisi dengan berbagai aktivitas menarik.
Bertemakan “Aku Datang - Aku Senyum - Aku Bahagia” pada 3-4 November 2018 diadakan Kamp Budi Pekerti Tzu Shao Ban 2018. Kegiatan ini diadakan untuk para siswa kelas budi pekerti Tzu Shao. Rangkaian kegiatannya pun bermacam-macam, diantaranyaFood Art, drama musikal dari anak-anak kelas Tzu Shao,special performance dari Daai Ge Ge Jie Jie, serta sharing dan performance oleh tiga orang tamu dari Afghanistan. Tema kamp ini sendiri diangkat karena menggabungkan murid-murid kelas Tzu Shao dari berbagai wilayah untuk berkumpul bersama di Aula Jing Si, Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Kegiatan yang berlangsung 2 hari ini, diikuti oleh 104 peserta dan 117 relawan yang saling bekerjasama dalam menyukseskan acara kamp ini. Persiapan dan latihan juga dilakukan secara intensif oleh panitia selama beberapa minggu sebelum kegiatan.Hasilpun memang tidak akan mengkhianati pengorbanan dan kerja keras, suara gemuruh tepuk tangan yang meriah menunjukkan rasa bangga para orang tua dan relawan atas hasil dan pencapaian anak-anak mereka terkasih, menandakan bahwa acara kamp kali ini sukses besar.
Lagu “Xiao Ju Ren” menjadi pembukaan bagi kamp tahun ini. Menurut Maria, relawan yang menjadiPICKamp Budi Pekerti Tzu Shao Ban 2018lagu yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Raksasa Kecil” ini memiliki makna agar kita tidak menganggap remeh diri kita sendiri.“Karena pada diri setiap individu terdapat kejujuran, sikap ketulusan dan semangat yang membuat diri kami masing-masing memiliki kapasitas yang baik serta kemampaun yang tak terhingga, seperti seorang raksasa kecil,” kata Maria.
Acara kemudian dilanjutkan dengan kesepakatan tata tertib, lalu gamesyang dibagi atas 5 pos berbeda. Pos-pos tersebut yakni: Clean the River, Mix and Match, Treasure Hunt, The Blindfold Game, dan Game Peragaan. Anak-anak Tzu Shao terlihat sangat bersemangat dan antusias dalam bermain, mereka berusaha untuk menyelesaikan setiap permainan yang menantang. Salah satunya adalah seorang gadis cilik bernama Evelyn Tavanya Long dari grup Shan Jie 3. Ia dengan semangat berpartisipasi dan memberikan pendapat dalam berbagai games yang ada. Menurutnya, permainan yang paling sulit merupakan permainan di pos 2, yakni Mix and Match karena permainan tersebut mengharuskan para pemain untuk berpasangan dan menebak kata yang diberikan kepada mereka dengan bantuan pasangannya.
Maria Shijie selaku PIC kegiatanKamp Budi Pekerti Tzu Shao 2018 ini menjelaskan makna lagu “Xiao Ju Ren” yang menjadi lagu tema di kamp ini.
Menurut Evelyn Tavanya Long (tengah), games yang dipandu oleh kakak-kakak dari Tzu Ching ini dapat melatih pola pikir dan kreativitas.
Selain itu, menurut Evelyn game yang paling berkesan baginya adalah game di pos 5, yakni Game Peragaan.Permainan ini melatih pola pikir kreatif kita dalam menyampaikan pesan tanpa menggunakan perkataan, serta melatih kemampuan kita dalam mengerti orang lain. “Ini sangat membantu untuk orang-orang yang tidak bisa mendengar maupun berbicara, sehingga kita juga dapat belajar untuk menyampaikan pesan kepada orang-orang yang memiliki kekurangan dalam pendengaran maupun berkomunikasi, juga membuat kita lebih kreatif dan memahami makna-makna yang disampaikan,” tutur Evelyn menjelaskan Game Peragaan.
Acara kemudian dilanjutkan dengan Food Artyang baru pertama kalinya diselenggarakan di Kamp Budi Pekerti Tzu Shao Ban. Relawan Juny Leong sebagai PIC Food Art juga memberikan arahan secara langsung kepada anak-anak sebelum dipraktekkan oleh peserta kamp. Food Art sendiri adalah seni menghias makanan menjadi sesuatu yang menarik sehingga terlihat indah ketika disajikan kepada orang-orang atau suatu acara tertentu. Inspirasi untuk menerapkan kegiatan ini pada edukasi anak-anak didapatkannya dari kegiatan pembelajaran Cha Dao selama empat hari di Taiwan.
“Kita kan melihat, mendengar, dan melakukan, jadi bukan melakukan dulu baru berpikir. Selama ini, kita melihat dengan mata kita bahwa anak-anak bersikap tidak patuh dan sulit diatur, hal ini dikarenakan kita tidak menerapkan suatu sistem yang mengharuskan anak-anak untuk berpikir terlebih dahulu. Jika kita menerapkan sistem seperti itu, persentase kenakalan otomatis akan berkurang, karena mereka telah terbiasa untuk berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan,” jelas Juny.
Dikarenakan tingkat kesulitan yang tinggi ketika ia belajar Cha Dao di Taiwan, Juny sendiri melahirkan ide yang lebih sederhana untuk diterapkan kepada anak-anak kelas Tzu Shao.Dengan tema “Don’t Judge a Mango from It’s Skin”, anak-anak berkreasi dengan kreativitas sendiri. Mereka menciptakan berbagai bentuk makanan yang unik dan bermakna. Bahan baku seperti pudding mangga, coklat, permen, biskuit, selai beserta alat-alat untuk menghias makanan telah disediakan di meja dan siap untuk digunakan. Banyak hasil karya yang mengesankan hingga terasa sayang untuk dimakan, dan ada juga yang menghias makanan mereka dengan penuh makna.
Juny Leong membuka sesi Food Art dalam Kamp Budi Pekerti Tzu Shao 2018 dengan sebuah demo singkat.
Salah satu karya Food Art pilihan terbaik adalah Jeanly Ciam.
Melihat hasil karya anak-anak, para relawan merasa sangat terharu dan tersentuh. Ternyata, pembelajaran tentang seni menghias makanan dapat diserap dengan baik oleh anak-anak. Jeanly Ciam, salah satu peserta dari grup Baorong 3menghias pudding dengan pola hati yang ia buat dari coklat putih yang ia susun di sisi kiri hati dan coklat mesesdi sisi kanannya, kemudian mengaitkan hasil karyanya dengan ajaran Dharma. “Setiap manusia memiliki sisi baik dan sisi buruk, sama seperti gambar hati yang dibentuk di atas pudingnya. Kendati demikian, kita tetap harus mengikuti ajaran yang benar dan terus bersikap baik kepada orang-orang,” ucapJeanly.
Selain Food Art, drama musikal menjadi salah satu highlight di acara kamp kali ini. Drama yang ditampilkan oleh murid-murid kelas budi pekerti ini merupakan ide dari Daai Ge Ge Jie Jie dan mendapat respon positif dari berbagai pihak. Semangat yang luar biasa mendorong anak-anak Tzu Shao Ban yang sangat berantusias mendaftar menjadi pemeran yang terlibat dalam drama. Proses pembuatan naskah memakan waktu kurang lebih satu minggu ditambah dengan penyuntingan selama satu hari penuh, dan para pemain drama sendiri menggunakan waktu selama lima minggu untuk berlatih pada akhir pekan sekaligus proses dubbing.
Drama musikal berjudul “Our Dreams” ini mengisahkanlima alumni Tzu Shao Ban yang sudah mau beralih ke dunia perkuliahan kembali reuni dengan dua Shi Gu pendamping mereka dulu. Mereka bernostalgia tentang kehidupan mereka sebelum mengikuti Tzu Shao Ban dan perubahan yang terjadi pada diri mereka maupun orangtua mereka masing-masing setelah mereka mendaftar di Tzu Shao Ban. Kini, keenam pemuda tersebut sedang berusaha keras menggapai impian mereka masing-masing dan berpisah demi mencari jati diri mereka dengan melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi di luar kota maupun luar negeri.
Lagu-lagu yang diputarkandalam drama ini merupakan lagu-lagu yang sedang naik daun diselingi dengan lagu Tzu Chi seperti Ren Shi Nin Zhen Hao, juga disisipkan oleh pertunjukkan shou yu dari Tzu Ching dengan lagu berjudul Kehidupan Harus Selalu Digenggam Saat ini.Lagu-lagu tersebut diselipkan sesuai dengan kecocokan suasana dan latar drama per babak.Drama ini dipertunjukkan sebagai penutupan kamp sekaligus penutupan acara Tzu Shao Ban tahun 2018.
Drama “Our Dream” dengan pemeran utama 8 orang Tzu Shao. Drama ini berkisah tentang perubahan anak-anak setelah mengikuti kelas Tzu Shao dan bersiap menggapai masa depan usai tamat dari Tzu Shao Ban.
Melalui kisah drama ini, setiap relawan Tzu Chi berharap bahwa anak-anak yang telah tamat dari kelas budi pekerti dapat memiliki sikap yang positif dalam hidup dan tidak berhenti untuk mengejar impian mereka masing-masing, terlepas dari setiap kesulitan yang dihadapi dalam perjalanan hidup mereka.
Editor: Arimami Suryo A.