Memberikan Kail, Memberi Nafkah Kehidupan
Jurnalis : Himawan Susanto , Fotografer : Himawan Susanto * Ustadz Agus Yatim bersama dengan empat relawan Tzu Chi lain yang rumahnya menjadi peserta Bebenah Kampung, sedang mempersiapkan pembangunan posko kompos organik yang akan diresmikan satu bulan lagi. | Sampah? Siapa yang tak mengenal sampah? Barang buangan tak berguna sisa aktivitas manusia. Siapa peduli sampah? Tak ada, kecuali tukang sampah yang memang akrab dengan yang namanya sampah. Dan juga pemulung. Bagi mereka, sampah telah menjadi penghidupan dan teman sehari-hari. Sampah umumnya terdiri dari 2 jenis, organik dan non organik. Organik dapat diubah menjadi bentuk lain yang bermanfaat bagi manusia, sedang non organik hanya menyesaki bumi. |
Setiap harinya, 64 tukang sampah di Pademangan, Jakarta Utara membawa gerobak mereka menuju tempat penampungan sampah sementara (TPS) yang terletak di Pademangan juga. Di sana, semua isi gerobak dikumpulkan dan kemudian dimasukkan ke dalam truk untuk dibuang di tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang, Bekasi. Melimpah ruahnya bahan baku menginspirasi Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia untuk membangun sebuah posko kompos organik. Posko yang nantinya diharapkan dapat menghidupi masyarakat Pademangan ini ibarat memberikan kail dan memberi nafkah kehidupan. Sebuah impian dan cita-cita. Kail untuk Masyarakat Pademangan Saat itu, Ustadz Agus Yatim yang telah bergabung dalam barisan cinta kasih relawan Tzu Chi, sedang menunggu kedatangan kiriman bambu daur ulang. Bambu yang didapat dari sisa-sisa pembangunan sebuah proyek perumahan. Bersama dengan 4 relawan lain, ia akan membuat pagar posko kompos daur ulang dari bambu yang dibelah dan digepengkan. Empat relawan yang membantu Ustadz Agus adalah mereka yang rumahnya telah direnovasi oleh Tzu Chi dalam program Bebenah Kampung. Tanpa bayaran sepeser pun mereka melakukan kegiatan kemanusiaan ini. Setengah jam menunggu, sebuah truk datang dengan muatan penuh bambu dan kayu. Ustadz Agus dan para relawan pun segera menurunkan muatan truk tersebut. Bambu-bambu itu mereka letakkan di tengah area posko. Sementara itu, pemasangan atap posko sudah hampir selesai dikerjakan sehingga mempermudah dan tak membahayakan aktivitas pemindahan bambu ini. Segera Ustadz Agus dan relawan lain mencabuti paku-paku yang tersisa di bambu. Bambu yang pakunya telah dicabuti kemudian dibelah menjadi dua bagian. Setelah terbelah dua, ruas-ruas yang ada di dalam bambu mereka hancurkan. Setelah ruas itu hancur, permukaan kulit bambu kemudian dipukul dengan palu hingga rata dan dapat digunakan menjadi lapisan dinding posko. Begitulah berulang-ulang kegiatan yang mereka lakukan siang itu. Ket : - Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, itulah misi yang hendak digapai dalam pembangunan posko Bermula dari Sebuah Ide Tanggung Jawab Samsuri pun lalu bercerita panjang lebar. Sebagai seorang pekerja bangunan yang biasanya bekerja di proyek-proyek besar, ia biasanya jarang pulang ke rumah. Paling cepat 3 bulan sekali ia baru kembali ke rumah dan menemui keluarganya. Satu ketika, ia baru pulang kembali ke rumah setelah 6 bulan bekerja. Ternyata, rumah yang ia tempati kini telah berganti, lebih tinggi lantainya, dan lebih bagus dari semula! Rupanya, rumah itu telah direnovasi oleh Tzu Chi karena masuk dalam peserta program Bebenah Kampung. Namun, saat itu ia tak mendapati istri dan ketiga anaknya. Mereka telah pergi entah ke mana. Saat ia bertanya kepada ketiga adik-adiknya kemana istri dan anak-anaknya pergi, mereka mengatakan tak tahu. Ia pun lalu mencari keluarganya. Beberapa saat mencari, ia pun mendapati mereka mengontrak rumah di daerah Pademangan juga. Saat bertemu, ia pun bertanya kepada istrinya, mengapa ia dan anak-anak pergi meninggalkan rumah? “Katanya sih diusir sama adik-adik saya,” tutur Samsuri pelan. Ket : - Ustadz Agus Yatim, kini telah bertekad menjadi relawan Tzu Chi. Berkomitmen berbagi kebahagiaan bagi Mendengar itu, Samsuri pun hanya bisa menyesali keadaan yang dihadapinya. Namun, di hatinya ia pun menyadari kesulitan yang dihadapi oleh ketiga adiknya yang telah berkeluarga, hingga mereka bisa berbuat seperti itu kepadanya dan keluarga. Ia pun merelakan dengan ikhlas rumah itu untuk ketiga adiknya. “Mereka kini memang sudah bekerja namun kadangkala untuk makan saja mereka masih meminta kepada saya,” papar Samsuri. Namun, peristiwa tak mengenakkan ini tak membuatnya lupa akan kebaikan yang telah diberikan oleh Tzu Chi kepada keluarganya. Berkat Tzu Chi, rumah warisan orangtuanya kini telah lebih bagus dan layak untuk ditempati. Tak lagi seperti dahulu yang kebanjiran jika musim penghujan tiba. Karena itu, saat Ustadz Agus datang dan mengajaknya bergabung dalam membantu pembangunan posko kompos organik ia pun antusias membantu. Apalagi, saat ini ia sedang memiliki waktu luang karena belum adanya panggilan pekerjaan di proyek-proyek. “Tanggung jawab,” itulah kata-kata yang terlontar dari bibir Samsuri saat saya bertanya kenapa mau membantu pembangunan posko kompos organik ini tanpa mendapatkan bayaran sepeser pun. Dari Samsuri kita belajar arti memaafkan dan membalas budi. Seperti kata perenungan Master Cheng Yen yang berbunyi, “Memaafkan orang lain berarti berlaku baik pada diri sendiri.” | |