Membuang Cinta Kasih Hanya untuk Menjadi Benar
Jurnalis : Erli Tan, Fotografer : Erli TanTopik Tzu Chi Talks yang berlangsung Sabtu 11 Juli 2020 ini mengundang rasa penasaran dari para partisipan.
Membuang Cinta Kasih Hanya Untuk Menjadi Benar, mungkin pertama kali membaca topik Tzu Chi Talks ini, kita akan merenung sejenak, apa maksudnya? Hal ini pula yang menjadi pertanyaan dari 292 partisipan yang hadir dan mengikuti Tzu Chi Talks secara online melalui ZOOM, Youtube, Instagram, dan Facebook Tzu Chi Indonesia ini. Di awal sesi, beberapa peserta pun bertanya-tanya, “Mengapa itu cinta kasihnya dibuang”, “Hendaknya dikembangkan”, begitu komentar mereka.
Tzu Chi Talks edisi kedua yang berlangsung pada Sabtu, 11 Juli 2020 ini dipandu Andre Zulman sebagai moderator, Haryo Suparmun membawakan Opening Remarks, dan Oey Hoey Leng sebagai narasumber. Oey Hoey Leng adalah salah satu relawan senior Tzu Chi. Berdasarkan pengalaman dan perenungan pribadinya ia pun menemukan bahwa orang-orang seringkali tanpa disadari telah membuang cinta kasih hanya untuk menjadi benar.
“Sedari kecil kita sudah diajari untuk menjadi benar, hanya saja menjadi benar belum tentu sama dengan benar menurut orang lain. Jadi benar menurut versi kita tidak selalu sama dengan benar menurut versi orang lain,” jelas Oey Hoey Leng.
“Misalnya kita terbiasa menyimpan suatu benda pada tempatnya, tapi keluarga atau pasangan kita merasa sah-sah saja jika benda itu diletakkan di tempat yang tidak menentu. Karena perbedaan pola pikir dan kebiasaan, akhirnya kita menjadi marah, kesal, sebal. Nah rasa ini sebenarnya sudah membuang cinta kasih, bukan saja pada orang yang kita cintai, tapi juga pada diri kita sendiri,” lanjutnya.
Oey Hoey Leng, seorang relawan senior Tzu Chi, menjadi narasumber pada Tzu Chi Talks kali ini.
Menurutnya, prioritas setiap orang pun berbeda, seperti pengalaman pribadinya dengan anaknya. Saat anaknya membeli sesuatu, bagi Hoey Leng membeli barang itu hanya buang-buang uang, mestinya beli yang lain. Namun akhirnya ia sadar, prioritas setiap orang berbeda, makanya keputusan yang diambil juga berbeda. Dari sana ia pun mulai pelan-pelan mengatasi pemikiran ‘saya benar dia salah’.
Selanjutnya Hoey Leng pun mengajak partisipan untuk merenung bahwa seberapa sering kita membuang cinta kasih hanya untuk menjadi benar? Terhadap siapa kita sering melakukannya? Apakah keluarga, sahabat, orang tua, anak, rekan kerja di kantor, atau lainnya.
Salah satu respon datang dari Maria, partisipan di ZOOM, “Saya kebiasaan rapi dan menaruh barang di tempatnya, tapi suami saya tidak bisa. Itu jadi ganjalan bagi saya sehingga lama-lama gak tahan juga, akhirnya marah. Selalu rapi itu mungkin kebiasaan dari kecil yang sulit sekali bagi saya untuk diubah.”
Menjawab komentar Maria, Hoey Leng berpendapat bahwa latar belakanglah yang membedakan satu sama lain. “Kita dididik rapi dari kecil sehingga kita tumbuh menjadi orang yang rapi. Tapi kalau kita renungkan lagi, latar belakang pasangan kita mungkin tidak mendidiknya jadi demikian. Jadi kalau kita memahami latar belakangnya, harusnya kita belajar menerima, karena tidak ada orang yang nilainya 100 (sempurna),” kata Hoey Leng.
Oey Hoey Leng menjelaskan bahwa kebenaran yang menurut kita benar belum tentu adalah kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak adalah hal yang membawa ketenangan, kedamaian, harmoni, dan kebaikan.
Hoey Leng mengumpamakan nilai setiap orang adalah 70, sedangkan 30 adalah sisi tidak sempurna yang mungkin tidak cocok di mata kita. “Kalau kita hanya mau menerima seseorang dengan nilai 100, kita akan kecewa, dan yang ada hanya penyesalan. Kita jangan lupa sebenarnya kita juga hanya 70 (tidak sempurna), kita sendiri juga punya tabiat kurang baik di mata orang lain,” jelasnya.
Kemudian ia pun memaparkan bahwa konflik atau pertentangan bisa timbul akibat sudut pandang yang berbeda, dan konflik itu diperparah oleh sikap kita yang menganggap gagasan kitalah yang benar. Akibatnya timbul kemarahan, kekerasan, sakit hati, kekecewaan, bahkan peperangan dan pembunuhan.
Untuk mengatasi ataupun menghindari hal itu, Hoey Leng pun membagikan beberapa tips bahwa kita harus melatih diri dalam hal membebaskan diri kita dari kebiasaan memberi label terhadap orang lain. Dan, kebenaran yang menurut kita benar belum tentu adalah kebenaran mutlak. Kebenaran mutlak adalah hal yang membawa ketenangan, kedamaian, harmoni, dan kebaikan. Sementara itu, kebahagiaan terletak pada setiap apapun yang kita lakukan dalam kehidupan kita, apakah kita bersyukur dan menerimanya dengan baik.
“Segala sesuatu yang kita temui, yang kita dapatkan, harusnya kita bisa bersyukur. Misalnya, ‘aduh ini panas’, kita bersyukur masih bisa merasakan panas. Jadi penuhilah rasa syukur, tiap momen apapun yang dihadapi, kita latih kesadaran kita. Kita bersyukur bisa bernapas dengan baik, karena ada orang yang bernapas harus bayar,” jelas Hoey Leng.
Andre Zulman sebagai moderator mengajak partisipan untuk kembali mengikuti episode berikutnya yang jatuh pada Sabtu 18 Juli 2020 dengan topik New Normal New Lifestyle.
Jadi menurutnya, apapun kondisi yang kita temui, orang atau masalah antar sesama yang bagaimana pun, anggaplah diri kita adalah batu berlian yang siap digosok. “Seperti kata Master Cheng Yen, kita ini seperti sebuah batu yang perlu digosok dan diasah untuk menjadi diri kita lebih bernilai. Jadi jangan kita yang jadi batu penggosok, ingat kita adalah berlian, segala hal dalam kehidupan, kesulitan dan lain-lain sebenarnya merupakan jalan bagi kita untuk menjadi lebih baik lagi,” terangnya.
Indra, salah satu partisipan usai mendengar penjelasan Hoey Leng pun merasa sependapat. “Untuk menjalankan cinta kasih membutuhkan pengorbanan, artinya kita mau mengosongkan ego kita supaya bisa menjalankan cinta kasih itu terhadap sesama dengan tidak mengutamakan kepentingan kita, tapi dengan melihat apa yang menjadi kebutuhan dia. Dan kunci untuk menjalankan cinta kasih ini adalah rasa syukur tadi, yaitu saat kita menjalani kehidupan ini, seperti saat bangun pagi kita masih sehat, bisa merasakan matahari, bahkan kita diberi rezeki untuk menjalani hidup,” ucap Indra.
Tzu Chi Talks ini direncanakan hadir setiap minggu di hari Sabtu, dengan mengangkat topik-topik menarik. Pada penutupan sesi kali ini, Andre Zulman sebagai moderator mengajak partisipan untuk kembali mengikuti episode berikutnya pada Sabtu, 18 Juli 2020 dengan topik New Normal New Lifestyle. Pastikan Anda juga tidak ketinggalan ya!
Editor: Hadi Pranoto
Artikel Terkait
Tzu Chi Hospital: High Technology, High Touch, and Humanity
24 Agustus 2020Tzu Chi Talks edisi kedelapan berlangsung pada Sabtu, 22 Agustus 2020. Diikuti oleh 300 partisipan melalui aplikasi Zoom, YouTube, Instagram, dan Facebook, Tzu Chi Talks mengusung tema Tzu Chi Hospital, Technology and Humanity yang merupakan Misi Kesehatan Tzu Chi. Webinar ini membahas tentang berbagai permasalahan dan solusi dalam menangani kendala pengobatan sekaligus memperkenalkan rumah sakit bertaraf International yang akan hadir (beroperasi) di Indonesia pada awal tahun 2021.
Mendapat Kebahagiaan Sejati di Tzu Chi
03 Agustus 2020Tzu Chi Talks bertopik “My Tzu Chi Life’s Script” dengan narasumber Liliawati Rahardjo, seorang relawan senior Tzu Chi yang juga Managing Director PT. Summarecon Agung Tbk, berlangsung pada Sabtu 1 Agustus 2020, diikuti oleh 455 partisipan LIVE melalui ZOOM, Youtube, Instagram, dan Facebook Tzu Chi Indonesia.
Berbagi Kiat Sukses Belajar-Mengajar dari Rumah
28 Juli 2020Freddy Ong, Direktur Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi berbagi kiat sukses kegiatan belajar-mengajar di rumah melalui Tzu Chi Talks yang bisa disaksikan melalui aplikasi Zoom, YouTube Live, Instagram Live, dan Facebook Live di akun Tzu Chi Indonesia.