Membuka Mata, Membuka Hati
Jurnalis : Willy, Fotografer : WillyKunjungan para peserta Diklat Sekolah Staf dan Pimpinan Kementerian Luar Negeri (Sesparlu) reguler dan internasional ditujukan untuk membangun kepekaan sosial dalam diri para diplomat yang nantinya akan mewakili Indonesia di dunia internasional.
Pada tanggal 24 April 2015, Yayasan Buddha Tzu Chi menerima kunjungan 25 diplomat yang merupakan peserta Diklat Sekolah Staf dan Pimpinan Kementerian Luar Negeri (Sesparlu) reguler dan internasional. Direktur Sesparlu, Odo Manuhutu menuturkan bahwa tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk menyentuh kepekaan sosial dari para peserta. “Tujuannya adalah selama dua bulan ini para peserta mempelajari berbagai persoalan politik, yang isu-isu besar. Tapi kalau isu-isu itu tidak dikaitkan dengan isu-isu sehari-hari kan tidak bagus juga. Sebagai diplomat dia harus memiliki pandangan Indonesia yang utuh. Supaya mereka sensitif terhadap lingkungannya,” tutur pria yang akrab disapa Odo tersebut.
Kunjungan diawali di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat, di mana para peserta diberi pengenalan dasar mengenai seluk-beluk Yayasan Buddha Tzu Chi. Agus Hartono, salah satu pengurus Yayasan Buddha Tzu Chi memberikan penjelasan singkat mengenai sejarah, filosofi, dan visi-misi Tzu Chi. Salah satunya mengenai filosofi dasar Tzu Chi yaitu Gan en, Zun Zhong, Ai yang berarti bersyukur, menghormati, dan kasih sayang.
Para peserta juga diajak berkeliling sekitar Kompleks Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi seperti ke Rumah Sakit Khusus Bedah, dan Depo Pelestarian Lingkungan yang juga dibangun oleh Yayasan Buddha Tzu Chi. Salah satu peserta Sesparlu Internasional, Vakaoca Kedrayate yang berasal dari Republik Kepulauan Fiji yang bekerja di Ministry of Foreign Affairs Republik Kepulauan Fiji ini menuturkan bahwa sebelumnya dia belum pernah mendengar tentang Yayasan Buddha Tzu Chi. Namun, melalui kunjungan ini dia merasakan bahwa kunjungan ini memberikan pencerahan dan membuka matanya mengenai bagaimana sebuah organisasi kemanusiaan seperti Yayasan Buddha Tzu Chi memberikan bantuan kemanusiaan kepada berbagai pihak. “Saya melihat foto-foto bagaimana mereka mengembangkan komunitas, menjangkau kehidupan, dan membuat komitmen yang tak terbatas pada etnisitas, agama, ataupun latar belakang seseorang, dan ini sangat menarik. Saya berasal dari Fiji, dan tidak ada Tzu Chi di situ. Tapi filosofi cinta kasih yang saya dapat akan dapat memberikan perbedaan di komunitas saya tak dibatasi oleh batasan-batasan sosial,” ujarnya.
Odo Manuhutu, Direktur Sesparlu berharap kunjungan ini dapat menjadi suatu momentum bagi para peserta Sesparlu mengenal Indonesia lebih dalam. “Tidak sebatas antara Sudirman-Thamrin (pusat perkantoran),” ujarnya.
Senada dengan itu, Odo mengaku telah mengenal Tzu Chi sejak dua tahun lalu. Menurutnya hal yang membuat Tzu Chi unik adalah dana amal yang didonasikan akan disalurkan sepenuhnya bagi penerima bantuan. “Melihat apa yang dilakukan Tzu Chi, membantu sesama, dari relawan, beberapa dari mereka terbuka pikirannya. Paling menarik adalah donasi yang diberikan ke Tzu Chi disalurkan seratus persen ke penerima bantuan,” tambah pria yang telah menjabat sebagai Direktur Sesparlu selama lima bulan.
Lintas Agama
Andalusia mendengarkan penjelasan dari Agus Hartono dengan seksama. Memang wanita yang bekerja di bagian Directorate General Affairs for Asia-Pasific dan Africa ini telah mendengar mengenai Yayasan Buddha Tzu Chi. Sekelebat tanya melintas dalam pikirannya. “Apakah label Buddha dalam nama yayasan ini mendapat resistensi? Apalagi di negara dengan 85% penduduk beragama muslim.”
Vakaoca Kedrayate, yang berasal dari Republik Kepulauan Fiji berharap dapat menerapkan nilai-nilai kemanusiaan yang dia dapat dari kunjungan ini dalam komunitas terdekat di negara asalnya.
“Apakah ada resistensi dari masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim?” tanya Andalusia yang bekerja di Directorate General Affairs for Asia-Pasific dan Africa. “Ada, tapi perlahan masyarakat menerima setelah mengetahui apa yang telah Tzu Chi lakukan,” jelas Agus Hartono.
Heran rasanya. Dia tergelitik bertanya dalam sesi tanya jawab. Pertanyaan ini direspon oleh Agus Hartono. Dia menjelaskan bahwa meski didirikan oleh seorang biksuni yang tentu beragama Buddha, akan tetapi Tzu Chi berdiri bukan untuk terkukung dalam batasan agama. Pria yang juga pimpinan Tzu Chi Center Continuing Education Center (TCUCEC) ini mengaku bahwa pada awalnya memang Tzu Chi mengalami kesulitan menjangkau masyarakat. Ada rasa curiga. Namun, perlahan kecurigaan itu memudar setelah para penerima bantuan maupun para mitra mengenal Tzu Chi lebih dalam. Agus juga mengundang drg. Linda, relawan kesehatan untuk memberikan pengalamannya kepada para relawan.
Beberapa tahun lalu, saat berada di Griya Jing Si di Hualien, Taiwan, drg. Linda memboyong beberapa relawan kesehatan. Beberapa di antaranya beragama muslim. Saat itu adalah bulan suci bagi kaum muslim, Bulan Ramadhan. Tapi hal itu tidak menjadi hambatan karena para penghuni Griya Jing Si memberikan perhatian penuh kepada ibadah para relawan muslim. Mereka juga bertanya mengebnai hal-hal yang dibutuhkan dalam ibadah puasa, dan juga mereka membangunkan para relawan untuk melakukan sahur.
Andalusia puas akan jawaban tersebut. Saat ditemui langsung dia mengatakan, “Nilai-nilai yang diajarkan oleh master Cheng Yen harusnya bisa dijalankan oleh berbagai insan manusia. Harusnya Indonesia bisa memiliki lebih banyak yayasan serupa. Mudah-mudahan ke depan akan lebih banyak lagi orang kurang beruntung yang dapat dijangkau oleh Tzu Chi.”