Membuka Pintu Maaf dan Memupuk Benih Cinta Kasih

Jurnalis : Himawan Susanto, Fotografer : Himawan Susanto
 
foto

Dahulu, Rokayah (berbaju lengan panjang) menjadi pasien penanganan khusus yang diajukan oleh Yeyen (berbaju lengan pendek). Kini, mereka bersatu hati menebarkan dan menanam benih cinta kasih kebajikan.

Mengucapkan kata maaf mungkin mudah, namun saat harus benar-benar memaafkan apakah kita akan tetap dengan mudah mengucapkan kata maaf atau bahkan membantu mereka yang telah dulunya memberikan perlakuan buruk kepada kita? Apalagi jika perlakuan buruk itu diterima dari sanak keluarga sendiri. Kisah nyata mengenai ini dapat kita simak dari Lie Tjia Kim yang tinggal di Jalan Bungur Besar Gang IV RT 05 RW 04 No 7, Jakarta Pusat.

Siang itu, 15 April 2009, setibanya di Gang IV, saya segera memasuki dan menyusuri gang tersebut. Belum saya bertanya, seorang bapak tua bertanya kepada saya, “Mau ke rumah Ibu Yeyen ya?” “Iya,” jawab saya. “Dari mesjid belok kiri, pintu rumah pertama itu rumahnya,” jelas si bapak tua. Saya pun tersenyum, belum bertanya sudah mendapatkan jawaban dahulu. Pakaian abu-abu yang saya kenakan rupanya sudah sangat akrab di mata warga Bungur Besar ini, sehingga mereka langsung bisa tahu jika saya hendak mencari rumah Yeyen.

Lie Tjia Kim (Yeyen) yang bersuamikan Yap Ceng Hok (Edi), karena keterbatasan ekonomi harus tinggal menumpang di rumah orangtua sang suami. Suami Yeyen yang seorang pengemudi mikrolet tak mampu untuk membeli rumah bagi mereka. Di rumah mertua, Yeyen, ibu dari 3 orang putra ini seringkali cekcok dengan kakak-kakak perempuan sang suami yang memperlakukannya buruk. Karenanya, untuk mempertahankan diri, Yeyen kerap melawan mereka. “Kalau saya ga ngelawan, malah tambah parah,” ujarnya sedih sambil mengingat masa-masa itu. Puncaknya, saat mertuanya meninggal, karena masalah harta warisan, keluarga Yeyen pun diusir keluar dari rumah yang selama ini mereka tempati. Rumah itu dijual oleh kakak-kakak perempuan sang suami. Sejak itu, mereka terpaksa mengontrak rumah di sekitar rumah lama mereka.

Suatu saat di tahun 2007, Yeyen membawa Cicik (7) keponakan dari saudara tiri Edi ke sebuah baksos pengobatan di lingkungan mereka. Cicik yang menetap di Sukabumi ini sejak lahir tidak memiliki lubang anus. Untuk membuang kotoran, ia biasanya menggunakan saluran kencing, itupun dibantu dengan meminum dahulu obat pencahar. Saat di baksos tersebut, dokter yang memeriksa mengatakan bahwa mereka tidak sanggup menangani. Dari sana mereka disarankan untuk mendaftarkan diri ke Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di Mangga Dua, Jakarta. “Kalau ibu ga fanatik sama agama ke sana saja, namanya memang Buddha Tzu Chi, tapi sifatnya universal. Saran dokter waktu itu,” tutur Yeyen. Mendengar ini, Yeyen membawa Cicik ke Tzu Chi. Beruntung baginya, Cicik pun berhak mendapatkan bantuan pengobatan usai menjalani proses survei. Karenanya, Cicik pun menjalani perawatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Di RSCM, saat diagnosa penyakit, disimpulkan bahwa selain tidak memiliki anus, Cicik pun mengidap tumor di paru-parunya. Tumor itu telah semakin dekat dan menekan paru-parunya. Karenanya, dokter yang merawat menyarankan Yeyen untuk berdoa karena tipisnya kemungkinan selamat. Yeyen pun menangis tersedu apalagi ibu dari anak ini justru tidak memedulikannya. Harapan kemungkinan selamat yang tipis ini tak Yeyen beritahukan kepada Cicik. Walau begitu, Cicik tetap optimis bahkan tetap tenang saat menjalani operasi. Keajaiban terengkuh, Cicik ternyata tetap segar bugar hingga kini. Satu yang mengganjal hingga kini adalah Cicik tetap harus mengeluarkan kotoran dari saluran kencing karena lubang anus yang belum jua dibuat. Belum lagi, sang ibunda kini telah pergi meninggalkan dirinya. “Walau begitu Tzu Chi tetap memperhatikan dia sampe sekarang,” kata Yeyen

foto  foto

Ket : - Yeyen dan Edi saat melangsungkan pesta pernikahan mereka. Deraan derita yang datang bertubi-tubi
           dalam kehidupan mereka akhirnya perlahan pudar. Berada dalam Tzu Chi membuat Yeyen banyak berubah
           menjadi lebih baik. (kiri)
         - Ara, anak Rokayah kini memanggil "oma" kepada Yeyen. Saat Rokayah dirawat di rumah sakit, Ara hanya
           mau tinggal di rumah Yeyen, tidak di rumah relawan lain yang sebenarnya juga berkenan
           merawatnya sementara. (kanan)

Berbuahnya Jodoh Cinta Kasih di Saat yang Bersamaan
Di tahun yang sama (2007), Edi juga mengalami pendarahan yang hebat di duburnya. Selama 4 bulan, duburnya terus-menerus mengeluarkan darah. Pengobatan pun diupayakan, namun karena keterbatasan dana, pengobatan pun terhenti. Saat itu, pengobatan Cicik juga sedang berjalan. Yeyen pun bertanya kepada Fu Ce, seorang relawan Tzu Chi yang mensurvei Cicik mengenai penyakit suaminya. Fu Ce menyarankannya membuat permohonan bantuan pengobatan kepada Tzu Chi. “Mudah-mudahan bisa lolos,” kata Yeyen menirukan ucapan Fu Ce.

Gayung pun bersambut, Edi mendapatkan bantuan pengobatan dan kini telah pulih seperti sedia kala. Berkat Fu Ce pula, Yeyen bergabung dalam barisan relawan cinta kasih Tzu Chi. Sejak itu, lambat laun penduduk di sekitar rumah mengenalnya sebagai relawan Tzu Chi. Kini Yeyen telah resmi bergabung menjadi relawan Tzu Chi. Selama ini, telah puluhan pasien pengobatan khusus Tzu Chi yang ditanganinya. Salah satunya Rogaya (39) yang mengidap kista di dalam rahimnya. Saat Rogaya dirawat di rumah sakit, Ara, anak satu-satunya tinggal di rumah Yeyen. Beberapa relawan Tzu Chi mengajak Ara tinggal di rumah mereka, namun Ara tetap bersikeras tinggal di rumah Yeyen. Maka tak heran jika Ara memanggil Yeyen sebagai omanya.

Karena Yeyen pula, Rogaya lalu bergabung dalam barisan relawan cinta kasih Tzu Chi. “Kalau kita sih kerja apa aja oke,” kata Rogaya. Keinginan kuat Rogaya untuk menjadi relawan Tzu Chi juga muncul karena kepeduliannya saat menjalani pengobatan pengangkatan rahimnya. Saat itu, Rogaya melihat sumbangsih relawan dalam melayani para pasien pengobatan khusus Tzu Chi yang berobat. Ia pun lalu bertekad untuk mendedikasikan diri membantu sesama.

Membuka Pintu Maaf
Kehidupan senantiasa berganti, kadang ada gembira, namun kadangkala kesedihan datang tanpa diundang. Begitu pula jalan kehidupan Yeyen. Setelah diusir dari rumah mertua, mereka pun beberapa kali berpindah-pindah tempat tinggal. Rumah yang mereka tempati pun berstatus kontrakan. Namun, usai rumah warisan keluarga dijual oleh saudara-saudara suaminya, kehidupan ekonomi mereka pun makin merosot. Untuk kebutuhan sehari-hari pun kadang kesulitan. Berbeda dengan saudara-saudaranya, kehidupan Yeyen berangsur-angsur normal kembali. Suaminya yang dahulu pengemudi mikrolet kini telah menjadi penjaga tanah milik seorang pengusaha di daerah Jonggol, Jawa Barat. Sementara, ketiga putranya pun telah bekerja. Untuk kebutuhan sehari-hari, Yeyen yang memiliki keahlian dalam memasak dan membuat kue kini menerima pesanan dari beberapa perusahaan.

Sementara itu, kehidupan kakak-kakak perempuan Edi makin merosot, apalagi salah satu anak laki-laki dari kakak perempuan Edi ada yang didiagnosa positif mengidap HIV. Awalnya, mereka ragu Yeyen akan membantu mereka, namun berkat masukan dari seorang teman, mereka pun meminta Yeyen mengajukan bantuan pengobatan ke Tzu Chi. Mendengar permohonan ini, tanpa ragu Yeyen membantu mereka. Kini, anak laki-laki tersebut telah dapat bekerja seperti sedia kala.

foto  foto

Ket : - Kini Yeyen lebih bisa menjaga emosi dibanding saat dahulu sebelum mengenal Tzu Chi. Perubahan itu
           dirasakan sendiri olehnya, bahkan diamini pula para tetangganya. (kiri)
         - Di rumah kontrakan yang bertembok putih ini, Yeyen dan keluarga tinggal dan membantu mereka yang
           membutuhkan bantuan pengobatan dari Tzu Chi. (kanan)

“Yen, kamu kok mau bantuin mereka sih? Padahal mereka khan jahat sama kamu,” ujar Yeyen menirukan ucapan seorang tetangganya yang heran mengapa ia mau membantu mereka yang selama ini telah memperlakukannnya dengan buruk. “Kita orang Tzu Chi, ga boleh mendendam. Yang berlalu sudahlah berlalu. Kalau memang membutuhkan pertolongan ya harus dibantu,” jelas Yeyen kepada tetangganya. Yeyen pun kadang membantu makan sehari-hari keluarga dan sanak saudara suaminya. Awalnya, sang suami tak setuju dengan apa yang dilakukan Yeyen, namun Yeyen perlahan mengajarkan sang suami betapa pentingnya berbuat kebajikan. “Kita khan sekarang sudah jadi relawan Tzu Chi, jadi harus banyak belajar dan menjaga sikap,” tuturnya. Yeyen juga terlibat dalam program celengan bambu Tzu Chi dan dana bulanan yang ia kumpulkan dari para tetangga di sekitarnya.

Perubahan sifat pun langsung dirasakannya. “Kalau dulu ga bisa denger orang ngomong apa, langsung emosi dan ga pake tanya-tanya lagi. Bisa marah-marah, bahkan sampe bisa mukulin orang,” paparnya. Namun itu semua kini telah berubah. Berkat menjadi relawan Tzu Chi, emosi yang biasanya meledak-ledak, kini lebih bisa dikendalikan. “Makanya ada tetangga yang bilang, ‘Ci Yeyen sekarang dah berubah banyak. Baek banget dan kalem’,” tuturnya. Perubahan nyata kini telah dirasakan oleh Yeyen dan keluarganya, dari kondisi tanpa kepastian kini mereka menatap masa depan dengan senyum dan hati terbuka.

 

Artikel Terkait

Ikut Bersumbangsih dengan Hati Welas Asih

Ikut Bersumbangsih dengan Hati Welas Asih

11 Mei 2018
Tzu Ching Medan memanfaatkan hari liburnya dengan bersumbangsih pembongkaran rumah Nenek Siti yang berada di Kota kabanjahe yang nantinya akan dibangun kembali oleh Yayasan Buddha Tzu Chi.
Cinta Kasih Penyejuk Hati

Cinta Kasih Penyejuk Hati

04 Maret 2013 Rasa welas asih insan Tzu Chi tergerak setelah melihat kesedihan para warga yang kehilangan tempat tinggal dan perabotan lainnya.  Barisan Bodhisatwa bersama-sama memberikan perhatian dengan membagikan paket bantuan kebakaran di posko bantuan kebakaran.
The beauty of humanity lies in honesty. The value of humanity lies in faith.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -