Mempelajari Nilai Kehidupan dari Sebuah Batu
Jurnalis : Sukhawati (He Qi Pusat), Fotografer : Lie Ay Ling, Lianny Lie (He Qi Pusat)Seluruh relawan yang hadir dalam kegiatan bedah buku di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi Bogor berfoto bersama setelah kegiatan berakhir.
Pada Sabtu, 13 Januari 2024, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Pusat (Xie Li Bogor) berkumpul bersama di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi Bogor untuk mengikuti kegiatan bedah buku. Kegiatan ini dibuka dengan bersama-sama memberikan penghormatan kepada Buddha dan Master Cheng Yen sebanyak 3 kali. Tema materi bedah buku kali ini adalah Nilai Sebuah Batu yang diambil dari tayangan Master Cheng Yen Bercerita dan diulas oleh Agus Mulyadi Shixiong.
Di awal cerita, Master Cheng Yen berkata bahwa dalam mempelajari agama Buddha, kita harus berhati lapang dan berpikiran murni/sederhana, jangan berpikir terlalu rumit. Kemudian Master Cheng Yen menceritakan sebuah kisah tentang seorang Sramanera kecil yang mengikuti gurunya meninggalkan keduniawian. Sramanera itu terus berpikir, apa sesungguhnya nilai dari kehidupan manusia. Dia sering bertanya tentang masalah di dunia, kehidupan, nilai kehidupan, dan lain-lain. Sehingga gurunya memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut melalui sebuah batu, dimana Sramanera tersebut diminta pergi ke pasar dan menawarkan batu itu kepada orang-orang di pasar, namun tidak untuk menjualnya.
Setelah sampai di pasar, ada seorang pria yang melihat batu yang besar dan cantik itu, lalu menawarnya seharga 2 dolar. Namun ada seorang pria lain yang berkata bahwa batu ini punya kegunaan lain, yaitu bisa dijadikan sebagai timbangan sehingga pria tersebut menawarnya seharga 10 dolar dan seterusnya. Sramanera tersebut merasa senang karena harga batu yang dibawanya ternyata naik dari bahkan ada yang berani menawarnya sampai seharga 100.000 dolar.
Seluruh relawan Tzu Chi komunitas He Qi Pusat (Xie Li Bogor) peserta bedah buku sedang bersama-sama menyaksikan tayangan Master Cheng Yen Bercerita dengan judul ”Nilai Sebuah Batu”.
Lalu ia bertanya pada gurunya, apakah batu tersebut sudah boleh di jual? Sang guru berkata padanya ”Apakah standar untuk menilai kehidupan kita?” Kita harus menilai diri sendiri bagai menilai perhiasan yang berharga, jangan kita meminta orang lain untuk menilai kehidupan kita. Tiada satu orangpun yang menetapkan nilai kehidupan kita, seperti contoh batu itu. Sesungguhnya nilai kehidupan bergantung pada diri kita sendiri. Kita seharusnya menciptakan nilai bagi diri sendiri.
Di akhir cerita, Master Cheng Yen menguraikan kembali, apa sesungguhnya standar nilai di dunia ini? Itu semua bergantung pada pikiran kita. Saat melihat sesuatu yang disukai, seringkali timbul kemelekatan di dalam batin kita. Mungkin saja kita melekat pada sesuatu yang sesungguhnya tidaklah berharga. Kita mungkin mengabaikan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hakikat kebuddhaan di dalam hati. Mungkin kita sama sekali tidak menyadarinya. Karena itu, standar nilai segala sesuatu bergantung pada diri kita sendiri. Master Cheng Yen berharap setiap orang bisa memperluas dan memperdalam nilai kehidupan masing-masing.
Setelah menonton bersama tayangan Master Cheng Yen Bercerita, Agus Mulyadi Shixiong mengajak seluruh relawan yang hadir untuk memberikan pendapat masing-masing dan kembali membahas materi yang berkaitan dengan kisah/cerita tadi, sambil mengingatkan kembali perihal 4 Sup Tzu Chi dan 10 Sila Tzu Chi yang senantiasa perlu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari bagi insan Tzu Chi.
Freddy Shixiong (rompi) menyampaikan kebahagiaannya bisa bersumbangsih saat ikut kegiatan bersama Tzu Chi.
Freddy Shixiong, salah satu relawan kemudian menyampaikan pendapatnya bahwa terkadang nilai kehidupan kita tergantung juga kita berada dimana. Begitu pula dengan Dewi Margaretha Shijie mengatakan bahwa semua manusia diciptakan sama-sama berkualitas, dan yang paling penting adalah attitude, dimana kita perlu memiliki sikap yang baik agar dapat merasa satu frekuensi dengan tempat/lingkungan yang baik juga.
Agus Mulyadi Shixiong menekankan bahwa sebuah batu mulia pun perlu sering-sering digosok untuk bisa menjadi batu yang sangat cantik. ”Seperti kata Master Cheng Yen, sekalipun diri kita hanya bagaikan sebuah baut kecil juga harus memperhatikan apakah sudah terpasang dengan baik dan kencang agar dapat berfungsi secara optimal,” jelas Agus.
Saat mengulas kembali apa yang sudah disampaikan oleh Master, Agus Mulyadi Shixiong mengingatkan bahwa sebagai relawan kita harus senantiasa mempraktikkan 4 (empat) Sup Tzu Chi, serta menguraikan ada 10 (sepuluh) kekotoran bathin (Kilesa) yang perlu dikikis, yaitu: Lobha, Dosa, Moha, Mana, Vicikiccha, Dithi, Thina, Uddhaca, Ahirika, Anottapa.
Lie Sioe Ing Shijie menyampaikan pesan cinta kasih dan mengingatkan untuk tidak merasa risau saat berkegiatan/bersumbangsih.
Penyampaian materi diakhiri oleh Agus Mulyadi Shixiong dan seluruh relawan yang hadir juga membacakan 10 Sila Tzu Chi yang benar-benar harus dipraktikkan oleh seluruh Insan Tzu Chi. Lie Ay Ling Shijie kemudian merangkum bahwa harus ada keselarasan antara pikiran, ucapan, dan perbuatan, dimana kita harus bisa mengikis batu-batu kerikil yang ada di dalam batin kita.
Sebagai pesan cinta kasih sekaligus penutup diskusi pada kegiatan Bedah Buku kali ini, Lie Sioe Ing Shijie berpesan agar jangan ada kerisauan saat berkegiatan/bersumbangsih. ”Seperti halnya batu yang harus sering digosok, demikian pula noda batin yang ada di dalam diri kita perlu dikikis secara terus-menerus. Dengan tekad dan semangat untuk bersumbangsih pada seluruh kegiatan/misi Tzu Chi, kita telah meningkatkan nilai kehidupan diri kita karena Tzu Chi adalah Universitas Kehidupan,” kata Lie Sioe Ing Shijie.
Kegiatan bedah buku Xie Li Bogor ditutup oleh Lie Ay Ling Shijie dengan mengajak semua relawan untuk berdoa bersama dalam lagu Cinta dan Damai serta memberi penghormatan kepada Buddha dan Master Cheng Yen.
Editor: Arimami Suryo A.
Artikel Terkait
Membina Kebijaksanaan Melalui Bedah Buku
14 Oktober 2011 Master Cheng Yen sering mengimbau agar murid-muridnya tidak hanya membina berkah (berdana materi, waktu, pikiran dan tenaga), tapi juga harus membina kebijaksanaan (Fu Hui Shuang Xiu). Dengan membina keduanya maka itu adalah tindakan yang tepat dan bijaksana.Bahagia Membawa Berkah
07 Desember 2018Pada kelas bedah buku kali ini, para peserta
berkesempatan untuk mendengarkan sharing
dari para relawan yang baru saja pulang dari kegiatan pelantikan di kampung
halaman batin, Taiwan.
Bedah Buku: Mengikis Noda Batin
08 Desember 2011Begitu banyaknya kekotoran noda batin manusia sehingga kita perlu melakukan pertobatan. Maksud dari bertobat ini bukanlah pergi ke tempat ibadah dengan cara membaca naskah “Pertobatan”, namun esensi terpenting dari Pertobatan Air Samadhi adalah menyampaikan rasa bersalah secara “terbuka” untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.