Christine, narasumber utama sosialisasi kelas Budi Pekerti, memberikan pemaparan mengenai pentingnya peran orang tua dalam membentuk karakter anak sejak dini.
Yayasan Buddha Tzu Chi melalui relawan pendidikan komunitas He Qi Pluit dan He Qi Angke mengadakan sosialisasi kelas budi pekerti di Galeri DAAI, Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta, 13 April 2025. Kegiatan ini bertujuan memperkenalkan dua program pembinaan karakter, sekaligus mengajak orang tua lebih terlibat dalam proses tumbuh kembang anak.
Acara dimulai pukul 08.30 WIB dan dihadiri puluhan orang tua yang membawa anak-anak mereka. Dalam sesi utama, pembicara Christine memperkenalkan dua program utama: Qin Zi Ban (QZB) untuk anak usia 6–11 tahun, dan Tzu Shao Ban (TSB) untuk remaja.
“Tujuan kami bukan hanya mencetak anak yang pintar, tapi yang memiliki kebijaksanaan dan karakter yang kuat,” kata Christine di hadapan para peserta. Ia menekankan bahwa pendidikan karakter tidak hanya menjadi tanggung jawab sekolah atau komunitas, melainkan juga harus melibatkan keluarga secara aktif.
Lewat isyarat tangan “Satu Keluarga”, relawan mengajarkan makna bahwa dalam cinta kasih dan kebersamaan, kita semua adalah satu keluarga yang saling menguatkan.
Saat ini, QZB telah memiliki 40 peserta, termasuk 11 anak baru. Sementara TSB diikuti oleh 28 murid, dengan dua peserta baru bergabung tahun ini. Program ini dirancang bukan hanya untuk mendidik anak secara kognitif, melainkan juga menyentuh aspek moral dan emosional melalui kegiatan seperti menulis jurnal perenungan, diskusi kelompok, hingga latihan presentasi.
Christine menambahkan bahwa kehadiran orang tua dalam setiap sesi kelas bukan sekadar formalitas. “Anak-anak belajar dari apa yang mereka lihat. Maka, orang tua harus menjadi teladan, bukan hanya penonton. Itu sebabnya pendampingan oleh orang tua atau wali diwajibkan dalam setiap kelas,” jelasnya.
Selain sesi kelas, orang tua juga diajak berpartisipasi aktif dalam kegiatan komunitas seperti kunjungan kasih, pelestarian lingkungan, hingga bedah buku. Christine menyebut hal ini sebagai bagian dari upaya menjadikan nilai kebajikan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. “Cinta kasih itu tidak hanya diajarkan lewat kata-kata, tapi juga lewat tindakan,” ujarnya.
Di balik meja pelayanan, relawan sigap dan ramah membantu orang tua memilih seragam dan perlengkapan, menyiapkan langkah awal yang penuh makna bagi si kecil.
Salah satu peserta sosialisasi, Lina, ibu dari Jayden Lawrence Sadeli (7 tahun), mengaku tertarik mendaftarkan anaknya ke program QZB karena nilai-nilai yang diajarkan lebih menyeluruh dibandingkan kelas agama yang selama ini diikuti anaknya. “Saya ingin anak saya jadi pribadi yang berakhlak baik dan bertanggung jawab. Bukan hanya pintar, tapi juga punya empati dan integritas,” tuturnya.
Menurut Lina, peran orang tua tidak berhenti pada mengantar anak ke kelas. Ia juga siap mendampingi Jayden dalam proses belajar di rumah. “Saya bersedia berdiskusi tentang materi atau tugas yang diberikan. Kadang dari situ muncul hal-hal baru yang membuka wawasan saya sendiri sebagai orang tua,” tambahnya.
Dalam balutan kasih ibu, Lina mengukur tinggi badan putranya, Jayden Lawrence Sadeli. Sebuah langkah kecil yang menandai awal perjalanan panjang menanam budi pekerti.
Kisah lain datang dari Cen San Tjiu, ayah dari Kerensa Gracia (14 tahun), calon peserta TSB. Ia berharap melalui program ini, anaknya yang cenderung pendiam dapat belajar membuka diri dan membangun empati. “Kerensa itu anaknya tertutup. Saya berharap lewat kelas ini, dia bisa belajar mendengar dengan hati dan jadi pribadi yang lebih peduli,” ujarnya.
Cen yang aktif sebagai relawan pelestarian lingkungan juga mengajak anaknya untuk terlibat langsung dalam kegiatan komunitas. Ia melihat proses belajar karakter sebagai sesuatu yang harus dijalani bersama. “Bukan hanya mendidik, tapi berjalan bersama. Itu bentuk kasih sayang yang nyata,” katanya.
Program kelas budi pekerti akan memulai tahun ajaran barunya pada Juli 2025 dan diselenggarakan di berbagai wilayah seperti Jakarta Timur, Barat, Pusat, serta Tangerang. Biaya partisipasi mencakup perlengkapan belajar, konsumsi, dan kegiatan penutup berupa camp bersama anak dan orang tua.
Cen San Tjiu dan putrinya, Kerensa Gracia, menerima penjelasan langsung dari Christine mengenai ketentuan dan alur pendaftaran Kelas Budi Pekerti.
Menutup sesi, Christine menyampaikan pesan yang membekas bagi banyak orang tua yang hadir. “Anak-anak mungkin akan lupa isi presentasi hari ini. Tapi mereka tidak akan pernah lupa bagaimana cinta kasih itu ditanamkan lewat sikap kita sehari-hari.”
Melalui program ini, Tzu Chi berharap bisa mencetak generasi yang tak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara emosional dan moral—dengan peran aktif orang tua sebagai bagian utama dari proses itu.
Editor: Metta Wulandari