Menciptakan Karma Baik

Jurnalis : Lina Karni Lukman (He Qi Utara), Fotografer : Erli Tan; Stephen Ang (He Qi Utara)

fotoKegiatan bedah buku He Qi Utara memulai pembahasan buku baru, “Dharma Master Cheng Yen Bercerita” pada hari Kamis 22 Maret 2012 di Jing Si Books & Café Pluit.

Para peserta yang datang untuk mendalami Dharma dalam kegiatan Bedah Buku He Qi Utara pada hari Kamis, 22 Maret 2012 di Jing Si Books & Café Pluit ini terlihat sangat antusias. Walaupun pada hari itu jalan yang menuju kawasan Pluit sangat padat dan macet sekali, tetapi tidak menyurutkan semangat 25 peserta untuk menghadiri bedah buku.

 

 

 

Posan Shixiong selaku koordinator kegiatan Bedah Buku memulai acara dengan memberikan penghormatan sebanyak tiga kali kepada Master Cheng Yen. Lalu untuk membuat suasana lebih akrab, peserta yang hadir diajak untuk saling berkenalan satu sama lain. Sebelumnya kita telah menyelesaikan bedah buku 20 Kesulitan dalam Kehidupan dan mendapatkan respon yang menarik dari banyak peserta maupun yang telah membaca bukunya. Sekarang ini Bedah Buku He Qi Utara memulai pembahasan buku baru “Dharma Master Cheng Yen Bercerita” yang terdiri dari tiga bagian besar yaitu Buddha dan Para Muridnya, Menyelamatkan Semua Makhluk dalam Lima Kekeruhan, Karma Baik dan Karma Buruk.

Pada kesempatan malam ini pembicara yang akan memberikan sharing perdana Dharma Master Cheng Yen Bercerita adalah, Kumuda Yap Shixiong dengan membahas cerita dari bagian satu bab satu ‘’Maudgalyayana Menyelamatkan Ibunya’’. Mengawali sharingnya Kumuda Shixiong menyampaikan bahwa cerita ini mempunyai enam poin penting, yaitu:  Siapakah Maudgalyayana?, karma yang diperbuat ibunya, alam-alam rendah, kekuatan karma sebagai penentu, lalu kebajikan kolektif mampu membantu, dan kisah yang menjadi dasar bagi tradisi Cou Tu (Ulambana).

Biksu Maudgalyayana adalah murid utama dari 10 orang murid utama Sang Buddha dan mempunyai keunggulan (Kekuatan Gaib). Walaupun mempunyai kekuatan yang sangatlah luar biasa tetapi beliau tidak bisa menolong ibunya. Karena ibunda beliau hidup di masa kegelapan tanpa tahu mana yang benar dan salah, ia juga suka makan ikan yang segar atau masakan daging yang segar, yang mana pengertian dari segar itu adalah memotong hewan yang masih hidup, dan itu menjadi karma buruk yang sangat berat yang dilakukan oleh ibundanya. Dan ia pun diliputi oleh hati yang penuh rasa iri, kesombongan, dan kebodohan batin. Karena itu ibundanya terjatuh ke alam rendah (alam Peta/alam setan kelaparan). Semua mahluk memiliki, lahir, terlindung, dan berhubungan dengan karmanya sendiri. Jadi apapun karma yang diperbuatnya, baik atau buruk itulah yang diwarisinya.

foto   foto

Keterangan :

  • Kumuda Yap Shixiong membahas cerita dari bagian satu bab satu ‘’Maudgalyayana Menyelamatkan Ibunya’’ (kiri).
  • Peserta yang datang terlihat sangat antusias mengikuti setiap kegiatan bedah buku untuk mendalami Dharma Master Cheng Yen (kanan).

Memiliki keyakinan dan jalinan jodoh pada Triratna dan seorang guru suci adalah suatu berkah tak ternilai, juga berada dalam komunitas yang berjalan di jalan Dharma merupakan saat untuk mengumpulkan jasa kebajikan adalah merupakan kebajikan kolektif yang mampu membantu. Bhiksu Maudgalyayana kemudian mempersiapkan sejumlah besar makanan vegetarian dengan ketulusan hatinya yang paling dalam kepada para Biksu dan memohon agar mendoakan ibunya. Setelah semua selesai makan, para Biksu mulai melafalkan sutra untuk mendoakan ibunda Biksu Maudgalyayana. Pada malam hari ketika bermeditasi beliau melihat ada seorang Dewi yang terbang melayang mendekati dirinya ternyata Dewi itu adalah ibundanya sendiri yang telah terbebas dari alam setan kelaparan dan terlahir kembali ke alam surga. Maka dari kisah inilah bermula tradisi Cou Tu (Ulambana).

Di Zaman sekarang ini kita masih menjumpai orang yang seperti ibunda Biksu Maudgalyayana, banyak yang hanya demi memenuhi selera makannya membunuh mahkluk hidup lain, jadi kalau diantara keluarga kita ada yang mempunyai profesi sebagai penjagal (pemotong) hewan dan atau penjual daging, kita bisa menyarankan mereka untuk segera beralih profesi saja.  Alam peta (alam setan kelaparan) juga ada di dunia ini yaitu di negara-negara yang mengalami krisis pangan dan air.

Dalam masyarakat Tionghoa ada adat istiadat yang disebut dengan Ceng Beng (ziarah makam dan sembahyang kepada orangtua dan sanak keluarga/leluhur), saat sembahyang kita memberikan uang kepada para leluhur dengan membakar uang-uangan kertas agar para leluhur kita disana tidak berkekurangan, tetapi apakah benar begitu adanya? Itu hanyalah sebuah tradisi dan karena kita yang sudah berjalan di jalan Tzu Chi dan menjadi murid Master Cheng Yen juga belajar akan Dharma Buddha, bisa lebih menghargai berkah yang kita miliki dan melimpahkannya kepada para leluhur.

Kita semua mempunyai jalinan jodoh dengan Master Cheng Yen, karena jalan yang ditempuh oleh Master adalah Jalan Bodhisatwa.


Artikel Terkait

Bedah Buku dengan Tema Wu Liang Yi Jing

Bedah Buku dengan Tema Wu Liang Yi Jing

24 Juli 2018
Puluhan relawan Tzu Chi di Tangerang mengadakan acara Bedah Buku untuk yang pertama kalinya dengan Tema Wu Liang Yi Jing di Perumahan Taman Golf II, Modern Land, Tangerang, Kamis 12 Juli 2018.
Yuk!  Belajar Membungkus Kue Cang

Yuk! Belajar Membungkus Kue Cang

14 Juni 2016
Relawan Tzu Chi Medan menggelar festival belajar membungkus Kue Cang. Kegiatan ini digelar untuk memeriahkan Perayaan Duan Wu Jie.
Bazar Vegetarian: Melestarikan Lingkungan dengan Vegetarian

Bazar Vegetarian: Melestarikan Lingkungan dengan Vegetarian

09 Juli 2013 Berminggu-minggu lamanya para relawan mempersiapkan kepeluan untuk bazaar kali ini. Namun, tidak pernah sekali pun terdengar keluhan. Justru semangat itu sendiri terus dijaga hingga acara pun berakhir.
Orang yang berjiwa besar akan merasakan luasnya dunia dan ia dapat diterima oleh siapa saja!
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -