Menemukan Makna Hidup (Bag. 1)
Jurnalis : Hadi Pranoto , Fotografer : Hadi Pranoto Setelah melalui pergulatan batin yang panjang, akhirnya pada tanggal 7 Desember 2010, Nelly Kosasih dilantik menjadi komite sekaligus rong dong oleh Master Cheng Yen di Hualien, Taiwan. |
| ||
Saya adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Sebagai anak pertama, karakter saya cenderung keras, mandiri, dan tidak suka didikte orang lain. Setelah sempat menjadi guru, tahun 1987 saya mencoba belajar mendesain baju anak. Saya memang sangat suka sekali menggambar dan juga menyukai dunia anak-anak. Selesai kursus desain, saya bekerja di beberapa perusahaan sampai akhirnya di tahun 1995 saya memutuskan membuka toko baju anak-anak di Pasar Tanah Abang sekaligus juga memasok ke toko-toko lainnya. Usaha ini saya jalankan bersama mama dan adik saya. Keuntungannya pun cukup lumayan, banyak pelanggan yang mengambil baju dari toko kami. Tahun 1998 ada lagi sebuah kejadian (kerusuhan akibat dampak krisis moneter dan kepemimpinan–red) yang makin menguatkan tekad saya untuk meninggalkan negeri ini, bekerja, dan tinggal di luar negeri. Hati saya sungguh tak tenang dan nyaman lagi tinggal di Indonesia. Dari uang tabungan hasil berdagang itu kemudian saya melanjutkan pendidikan tentang industri tekstil dan merchandise di Australia. Saya berpikir siapa tahu saya dapat kerjaan dan stay di sana. Tetapi karena adik saya akan menikah, dan juga adik-adik membujuk untuk pulang, akhirnya saya menuruti keinginan orang tua untuk kembali ke tanah air. Kurang setahun saya belajar dan tinggal di negeri Kangguru. Sewaktu di Australia, saya diam-diam telah dibaptis dan menganut agama Kristen, padahal dari garis orang tua dan keluarga saya adalah penganut ajaran Buddhis tradisional. Mendengar saya sudah dibaptis mama saya nggak suka. Mama yang masih berpikiran kolot merasa saya akan kesulitan beradaptasi dengan keluarga besar kami. Sebenarnya mengapa saya memilih menjadi pemeluk agama Kristen adalah karena rasa pencarian saya tentang makna hidup ini? Dari sini saya kemudian mulai masuk ke kehidupan di gereja. Apalagi ada teman yang mengajak saya ke sana.
Keterangan :
Awalnya mama dan keluarga tidak tahu, tetapi sejak kepulangan saya dari Australia mama akhinya tahu kalau saya sudah dibaptis menjadi umat Kristiani. Dari sinilah akhirnya muncul konflik karena mama saya nggak suka jika saya ke gereja. Apalagi sifat saya juga keras, sehingga setiap kali berbicara tentang gereja akhirnya selalu berujung dengan perselisihan. Tidak ingin berlarut-larut dalam konflik keluarga akhirnya saya memutuskan untuk pergi dan bekerja di Bali. Jiwa muda saya yang penuh keinginan mendorong saya untuk hidup mandiri, memiliki uang banyak, punya karir yang bagus dan tidak ingin diatur orang tua lagi. Di Bali saya memperoleh apa yang saya idam-idamkan. Pekerjaan bagus di perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang bergerak di bidang merchandise dengan gaji yang cukup tinggi saat itu. Apalagi bos juga memberi kepercayaan besar pada saya. Tetapi lagi-lagi saya dipanggil pulang sama orang tua, dengan alasan kali ini adik akan ekspansi usahanya. Tetapi setelah saya kembali, rencana itu ternyata tak kunjung terealisasi. Saya yang sudah terlanjur memutuskan berhenti dari kerja di Bali akhirnya menjadi stres di Jakarta. Akhirnya saya coba usaha sambil bantu usaha adik. Nah, di saat itulah (tahun 2001) saya mulai mengenal Tzu Chi. Yang mengenalkan adalah mama saya sendiri. Beliau mengenal Tzu Chi dari temannya di wihara, dan mama sering mengikuti kegiatan sosial Tzu Chi di panti jompo, mulai dari menghibur oma-opa, menggunting rambut dan kuku sampai baksos kesehatan. Dari situ mama saya yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan untuk melakukan itu akhirnya jadi sering bersumbangsih dan berbuat kebajikan di Tzu Chi. Mama pernah mengajak saya untuk ikut kegiatan Tzu Chi, tetapi saya tolak. Alasan saya menolak adalah karena perbedaan agama. Tzu Chi saya lihat berlandaskan ajaran Buddha sedangkan saya Kristiani. Saya pikir ngapain juga ikut aktif di Yayasan Buddha. Tetapi mama tidak menyerah, beliau berusaha mengajak saya, dan saya pun tetap menolak. Alasan lain saya menolak adalah karena mama juga selalu nggak mau dengar kalau saya bercerita tentang gereja. Tetapi suatu ketika, karena ada salah seorang relawan yang berhalangan hadir dan mama benar-benar membutuhkan bantuan akhirnya saya pun mengalah. Mereka (Tzu Chi-red) kekurangan relawan, kebetulan saya juga pernah belajar memotong rambut jadi ya saya putuskan untuk ikut pergi membantu.
Keterangan :
Nah, saat di panti jompo itulah saya untuk pertama kalinya melihat kehidupan opa-oma di panti. Saya baru bisa merasakan bagaimana orang tua yang merasa “tersisihkan”. Saya melihat mereka sebenarnya sangat membutuhkan perhatian dari anak-anak dan keluarganya. Selain menggunting rambut saya juga berbicara dan mendengarkan keluh-kesah mereka. Nah di situ saya baru ingat, saya kan seorang anak juga, seharusnya hubungan saya bisa lebih harmonis dengan mama saya. Pengalaman ini juga memberikan kebahagiaan bagi saya, dimana saya baru melihat bentuk kehidupan baru di luar lingkup saya. Saya merasa senang sekali, sampai-sampai sewaktu pulang kejadian tadi masih terekam jelas di ingatan saya. Sejak itu akhirnya saya selalu siap jika mama mengajak saya untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi. Tahun 2001 saya mulai resmi bergabung di Tzu Chi. Hampir semua kegiatan Tzu Chi saya ikuti, mulai dari kunjungan ke panti jompo, bantuan banjir sampai baksos kesehatan. Dari situ saya bisa merasakan kepedulian kepada orang lain dan bisa turut merasakan penderitaan orang. Bahkan meski cuma menghibur dengan kata-kata saja, tetapi ternyata kadang hal itu bisa memberi kebahagiaan bagi orang lain. Master Cheng Yen mengatakan ada dua hal yang tidak bisa ditunda di dunia ini, berbakti kepada orang tua dan berbuat kebajikan. Dari situ saya lebih mengerti makna hidup ini. Tahun 2005-2006 saya agak sedikit vakum karena sedang merintis usaha. Tetapi meskipun begitu saya terkadang masih menyempatkan diri untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi, karena memang selalu ada kerinduan untuk melakukan Tzu Chi. Puncaknya adalah tahun 2007 di mana saya bergabung di DAAI Mama dan kemudian ditunjuk menjadi fungsionaris training di komunitas. Meski awalnya sempat ada pergulatan batin untuk mengikuti kegiatan Tzu Chi, akhirnya setelah mengenal Tzu Chi lebih dalam keraguan itu pun pupus sudah. Tzu Chi tidak membeda-bedakan agama. Tzu Chi sangat universal, maka saya bertekad ketika selesai dilantik menjadi anggota komite saya ingin dapat menerima semua seutuhnya. Tahun 2008 saya di komunitas He Qi Barat membentuk Sekolah Budi Pekerti (Xiao Ta Yang). Di tahun itu pula saya bertekad untuk menjadi rong dong (anggota komite kehormatan yang menyumbangkan uang sejumlah 1 juta dollar NT) dulu sebelum menjadi komite. Bersambung ke Bagian 2. | |||
Artikel Terkait
Santap Siang untuk Para Pencari Suaka
03 September 2024Relawan Tzu Chi Sinar Mas yang berasal dari lintas pilar usaha Sinar Mas bergotong royong menyiapkan santap makan siang untuk pengungsi yang tinggal di Wisma Duta, Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat pada Sabtu (24/8/24).