Menemukan Sukacita Dhamma
Jurnalis : Rosy Velly Salim (He Qi Pusat), Fotografer : Rosy Velly Salim (He Qi Pusat)Sebanyak 11 relawan bersukacita mendengarkan sharing Dharma pada Sabtu, 27 Agustus 2016.
Kegiatan bedah buku relawan komunitas He Qi Pusat, Xie Li Sunter kembali diadakan pada Sabtu, 27 Agustus 2016. Ada sebanyak 11 orang relawan yang terdiri dari 2 orang relawan komite, 8 orang relawan biru putih, dan 1 orang relawan abu putih yang menghadiri bedah buku. Kesempatan tersebut digunakan relawan untuk mengetahui lebih dalam tentang buku berjudul Batin yang Damai karya Master Cheng Yen. Secara bergiliran satu per satu relawan membacakan isi buku pada halaman 266 hingga 279 yang berjudul Membangkitkan Kebijaksanaan dengan Sukacita dan Keseimbangan Batin.
“Sukacita berarti merasa bahagia setiap saat. Untuk meningkatkan budaya pengetahuan, kita harus memiliki cinta kasih, memanfaatkan kedua tangan untuk menciptakan budaya hidup yang bersih,” tutur salah satu relawan membacakan isi sus bab di halaman 273. Kalimat tersebut kemudian dibahas bersama. Menurut Lie Anne Tanjaya, hal-hal kecil dapat dengan mudah dilakukan untuk membentuk budaya hidup bersih. “Contohnya dengan membawa tempat makan sendiri dan tas tangan pada saat ke supermarket, itu juga langkah kecil dari pola hidup hijau,” katanya. Melalui sharing, relawan dapat berbagi wawasan Dharma maupun pengalaman. Mereka juga bisa mengajukan pertanyaan untuk memperjelas makna ajaran Master Cheng Yen.
Melanjutkan sharing, Wen Lie, relawan senior Tzu Chi Australia yang berkesempatan hadir mengemukakan bahwa Master Cheng Yen sungguh mulia. “Dalam buku tertulis, di saat Master merasa lelah sampai kejang jantungnya kambuh saat bicara di atas mimbar, Master mengingatkan dirinya, ‘Apa artinya diri sendiri’ semua mahkluk membutuhkan perhatian kita. Master Cheng Yen datang ke dunia membawa misi Buddha untuk menyebarkan ajaran Buddha kepada semua manusia. Master menahan rasa sakit dan lebih lantang menyampaikan ceramah. Mengadu kesakitan berarti mengeluarkan suara, berbicara juga mengeluarkan suara, sama-sama harus bersuara, mengapa kita tidak menyampaikan lebih banyak pesan yang bermanfaat bagi orang lain. Cemberut dan tersenyum adalah sebuah ekspresi, sama-sama ekspresi, mengapa kita tidak tersenyum saja,” tuturnya.
Sukacita dalam Dharma semakin dirasakan karena relawan berkesempatan mendengarkan sharing dari Wen Lie (tengah), relawan senior Tzu Chi Australia.
Melalui sesi sharing pula, Chia Wen Yu dan Wen Lie mengimbau agar insan Tzu Chi di Indonesia lebih menggalakkan dan menyosialisasikan save water pada kegiatan pelestarian lingkungan di komunitas melalui kegiatan seperti menampung air hujan, menutup kran setelah digunakan dan tidak dibiarkan terkucur, serta memakai air secukupnya.
Wen Lie juga berbagi wawasan Dharma mengenai pandangan tentang “Aku”, akibat pandangan keakuan ini, maka saat kita bersentuhan dengan rupa timbullah perasaan dan persepsi. Ia mengajak para relawan yang hadir untuk bersama memahami dan menjaga kondisi batin, serta pikiran agar tidak terpengaruh dan bergejolak akibat bersentuhan dengan objek luar. Ia juga menjabarkan 12 pintu masuk yaitu fungsi pikiran bekerja saat 6 indera bersentuhan dengan 6 objek.
Wen Lie menambahkan, “Kehidupan ini adalah serba berubah, tidak kekal. Jangan melekat pada Ego Si “Aku”. Maka jika mengalami masalah dengan orang, difitnah, dijelekkan, jangan terlalu menyimpan di hati. Lakukanlah introspeksi diri dan lindungi jiwa dari noda-noda batin, dengan senantiasa di lingkungan Tzu Chi, tetap menjaga ucapan dengan berbicara Dharma, menjaga sikap berada pada jalur kebenaran. Menjaga sila, memahami hukum sebab akibat perlu kita bersama praktikkan.” Ia juga menyampaikan mengenai pentingnya bervegetaris dengan meminjam kutipan dari salah satu penceramah yang dikenalnya, “Saya hanya menahan diri untuk tidak membuat kecelakaan pada dunia.” Di akhir bedah buku pada Sabtu, 27 Agustus 2016, para relawan bersama-sama menyanyikan dan melakukan isyarat tangan Satu Keluarga dengan penuh kehangatan dalam keluarga besar Tzu Chi.