Menerima dengan Hati Seluas Samudera
Jurnalis : Himawan Susanto , Fotografer : Anand Yahya, Roann (He Qi Barat), Stanis * Dengan hati seluas samudera, Dewi Susanti bercerita kepada undangan pemberkahan akhir tahun Tzu Chi mengenai masa lalunya yang sangat membenci sang papa hingga akhirnya ia tersadarkan oleh buku Sanubari Teduh. | Hendaknya kita menyadari, mensyukuri, dan membalas budi orangtua. Sore itu, 18 Januari 2009, aula RSKB Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat seketika sunyi senyap. Para undangan yang terdiri dari relawan Tzu Chi dan masyarakat umum yang hadir dalam pemberkahan akhir tahun Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pun tertegun terdiam. Di antara mereka ada yang terdiam dan merenung. Bahkan tak sedikit yang kemudian menyeka bulir-bulir air mata saat menyimak sharing Dewi Susanti (Chen Mei-fong). Sore itu, Dewi yang kini telah menjadi relawan Tzu Chi mencurahkan isi hatinya. |
Sebuah Kisah di Masa Lalu Sejak kecil Dewi hidup hanya bersama ibundanya. Sang ayah meninggalkannya saat berusia 5 tahun. Hanya ibunda tercinta yang terus bersamanya. Hutang yang menumpuk dan rumah yang belum selesai dibangun adalah warisan yang ditinggalkan untuk mereka saat itu. Agar dapat bertahan hidup, ibundanya berjualan baju batik. Tak lama, sepucuk surat pun datang yang mengabarkan bahwa sang ayah telah menikah lagi. Sang bunda yang membaca surat itu kemudian membakar surat dan barang-barang milik ayahnya. Sang bunda lalu menggadaikan rumah mereka di Riau dan pergi merantau ke Batam. Dewi yang anak tunggal lalu dititipkan ke tantenya. Di sana Dewi diperlakukan seperti pembantu. Dewi pun kemudian akhirnya memilih kembali menempati rumahnya setelah lulus SMP seorang diri. Namun, adik bapaknya yang baru menikah kemudian tinggal bersamanya. Pasangan muda ini juga memperlakukan Dewi dengan buruk. Dewi yang telah berhenti sekolah dan telah bekerja harus memberikan setengah dari uang gajinya yang sebesar Rp 80 ribu per bulan karena diminta pamannya. Uang itu untuk membantu pamannya, jika tidak diberikan mereka, suami-istri tersebut bertengkar. Maklum penghasilan sang paman tidak pernah tetap. Masalah keuangan sering jadi alasan pertengkaran mereka. Semua pengalaman ini membuat Dewi semakin membenci sang ayah, apalagi jika dibilang ia mirip dengan ayahnya. Saat Dewi telah menikah, suatu kali sang ayah datang menemuinya di tahun 2002. Meski saat itu masih dapat mengenalinya, ia pura-pura tak mengenalnya. Ia berkata bahwa ia dibesarkan tanpa kehadiran seorang papa. Sang papa yang mendengar jawaban itu kemudian hanya terdiam dan melangkah pergi. Itu adalah kesempatan satu-satunya sejak ia ditinggalkan sang ayah saat ia berusia 5 tahun. Rasa benci dan dendam yang telah terpelihara sejak lama membuat Dewi tidak bisa menerima nasehat keluarga dan suaminya. Dalam hidup Dewi, seolah tak ada lagi yang layak dipanggil “ayah”. Sebenarnya saat itu ia tidak ingin begitu namun ia berpikir semua itu sudah terlambat. “Yang saya butuhkan adalah kasih sayang. Sudah lebih dari 30 tahun ini saya tidak pernah merasakan pelukan seorang papa terhadap saya. Susahnya seperti apa,” ujar Dewi terisak-isak. Ket : - Kebencian Dewi terhadap sang papa dimulai ketika sang papa meninggalkannya dan ibunya tanpa mau Memutus Belenggu Kebencian “Jika kita menerima karma buruk dari kehidupan lampau kita dengan sukacita, maka beban kita akan menjadi lebih ringan. Meskipun akibat karma buruk yang disebabkan oleh kesalahan lampau kita sangatlah lama, kita dapat mengakhirinya jauh lebih cepat jika kita menanggungnya dengan senang hati.” Dewi tertegun saat membaca kata perenungan dalam bab 10 buku Sanubari Teduh Jilid Kedua itu. Saat ia menyimak buku tersebut, tiba-tiba ia teringat papanya yang sangat ia benci selama 25 tahun ini. “Tiba-tiba ia ingin telepon papanya walau tak memiliki no-nya. Tidak tahu kenapa,” lanjutnya. “Waktu saya baca buku itu, sedikit demi sedikit sudah merasa maafin dia (papa –red). Muncul rasa kangen di hati,” ungkapnya. Jauh sebelum ia membaca buku Sanubari Teduh, sang tante sebenarnya telah menasehati Dewi untuk memaafkan papanya. Namun saat itu ia masih belum bisa memaafkan sang papa. Bahkan ia mengancam tante, saudara, dan seluruh kerabatnya untuk tidak memberitahukan nomor teleponnya. Berkat kesadaran itu ia pun lalu mencari nomor telepon papanya. Saat pertama kali menelepon papanya, ia hanya dapat mengatakan kata “maaf” tanpa ada kata papa di dalamnya. “Kata ‘papa’ masih terasa asing di telinga saya,” ujarnya. Ket : - Kini, Nazarudin dapat bernafas lega. Kebencian Dewi kepadanya yang telah meninggalkannya saat berusia Untuk sharing ini, Dewi awalnya juga tidak berani namun sebagai seorang anak yang berbakti kepada orangtua dan sebagai seorang relawan Tzu Chi, ia menyadari dan berkeinginan hal ini pun dapat dilakukan oleh mereka di luar sana yang hingga kini masih membenci orangtua ataupun orang di sekitar mereka. “Kalau ada kesempatan maafkanlah orang yang dibenci, dan papa saya adalah orang yang sangat saya benci selama ini,” terangnya. “Jangan seperti saya yang membenci papa saya, cepatlah maafkan mereka. Memaafkan orangtua sangat bahagia,” anjurnya kepada para undangan. Dewi juga mengatakan setelah ia dapat memaafkan papanya, rasanya laksana melepaskan batu yang mengganjal di dada. “Tidak cemas lagi dan tidak merasa hidup ini ada kekurangan ataupun tidak sempurna,” ungkapnya penuh kebahagiaan. Sebuah Pertemuan Ayah dan Anak Ket : - Beberapa undangan juga membawa celengan bambu, dan menyerahkan hasil menabung mereka Saat kami mewawancarai Ciu Long dan Dewi, Cui Liong menuturkan bahwa ketika Dewi meneleponnya, rasanya seperti satu hari tak makan tapi rasanya kenyang. “Apalagi bisa ketemu sama dia. Kalau perasaan saya Dewi tak bersalah. Saya yang salah. Ia tak tahu apa-apa saat ia kecil. Saya harus minta maaf kepada anak saya,” ungkapnya penuh penyesalan. “Pokoknya hati ini gembira dan senang banget. Kegembiraan yang sulit dikatakan. Ke depannya saya berharap hubungan kami makin dekat,” lanjut Cui Liong. Saat ini sang mama memang belum mengetahui bahwa Dewi telah bertemu dengan papanya. Meski begitu Dewi akan mempertemukan mereka satu saat nanti walau masing-masing kini telah memiliki keluarga masing-masing. Ia yakin di pertemuan nanti mereka akan bisa saling memaafkan. “(Saat ini) belum berani, harus lihat dulu kondisi dan menunggu saat yang tepat,” tutur Dewi mengakhiri wawancara. | |
Artikel Terkait
Bijak Dalam Menyikapi Hasil Test PCR
09 Juli 2021Dokter Hardy Indradi, Sp. PD, dokter spesialis penyakit dalam di Tzu Chi Hospital dan RS Cinta Kasih Tzu Chi menjelaskan, Covid-19 dianggap sebagai bencana sehingga semua pihak harus bersatu hati mengatasi bencana ini.
Bantuan Korban Kebakaran di Kebonwaru
04 Oktober 2021Ada 12 Kepala Keluarga dan 41 jiwa yang menjadi korban bencana kebakaran di wilayah kelurahan Kebon Waru Kecamatan Batununggal pada 29 September 2021.