Mengajak Adik-adik Menjaga Lingkungan

Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto
 
foto

* Tuti Masrihani S.Pd, MM, selaku wakil manajemen mutu bersama-sama siswa-siswinya sedang memperagakan gerakan isyarat tangan Tzu Chi.

“Saya sangat tertarik dan berterima kasih. Sebenarnya kami ingin melestarikan lingkungan, ingin memberikan sesuatu untuk pelestarian lingkungan tetapi mayoritas dari kami belum begitu paham apa itu dan bagaimana sesuatu itu bisa membuat lingkungan menjadi rusak atau menjadi terancam,” kata Kepala SMK Negeri 6 Jakarta, Dra. Latifah dalam sambutannya saat acara sosialisasi pelestarian lingkungan oleh relawan Tzu Chi.

”Karena itu, pada kesempatan ini kami mohon (anak-anak) dapat mendengarkan dengan baik, cermat, dan tidak mengobrol. Karena pengetahuan yang akan disampaikan dari Yayasan Buddha Tzu Chi sangat bermanfaat untuk kehidupan kita sekarang dan masa yang akan datang. Kami atas nama SMKN 6, dan semua guru di sini mengucapkan terima kasih atas kedatangan relawan Tzu Chi. Mudah-mudahan kerjasamanya tidak hanya sampai di sini,” sambung Latifah.

Mencintai Bumi
Senin, 23 Maret 2009, pukul 6 pagi kami bertiga: Suriadi, Suhanda, dan saya bertolak dari ITC Mangga Dua menuju Jl. Prof Joko Sutomo SH. No 2A Jakarta Selatan. Tempat yang kami tuju adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 6, Jakarta. Karena hari masih pagi, maka jalan protokol Sudirman - Thamrin terasa lenggang, terlebih jalan yang kami lalui adalah jalur khusus untuk mobil berpenumpang tiga orang (3 in 1) atau lebih.

Tepat pukul 06.45 WIB, kami tiba di lokasi. Seorang lelaki berperawakan sedang, berusia paruh baya, dan mengenakan pakaian dinas satpam segera membukakan pintu gerbang ketika moncong mobil yang kami tumpangi berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah. Setelah kami keluar dari mobil, dengan senyum ia menyapa ramah, “Selamat pagi, lagi upacara, jadi ditunggu dulu ya.”

Lima belas menit kemudian, sebuah mobil minibus berwarna silver masuk diikuti oleh mobil box. Disusul kemudian sedan putih, dan mobil pick up yang memuat 6 kardus besar bertuliskan Big Earth Project. Setiap kardusnya berisi 6 buah tempat sampah plastik yang rencananya akan diberikan ke sekolah SMK Negeri 6 sebagai program peduli pelestarian lingkungan.

SMK Negeri 6 memiliki gedung sekolah yang cukup besar. Bangunannya berlantai dua, melingkar berbentuk huruf ”U” yang di tengah-tengahnya terdapat sebuah lapangan basket berlantai semen. Di depan lapangan basket terdapat sebuah bangunan yang terpisah dari gedung sekolah. Ruangannya cukup besar kurang lebih 12 m x 17 m, yang populer disebut sebagai aula atau ruang serba guna. Begitu masuk ke dalam aula, udara terasa sejuk oleh hembusan angin dari 8 buah Air Conditioner (AC) yang terpasang di sudut-sudut ruangan. Beberapa relawan Tzu Chi terlihat sibuk mengeset sound system, menyapu, merapikan bangku-bangku, dan beberapa lagi menata brosur di atas meja yang terletak di depan pintu masuk aula. Menjelang pukul 8, siswa-siswi kelas 3 SMK Negeri 6 dari empat jurusan yang ada, yaitu Akuntanasi, Administrasi Perkantoran, Pemasaran, dan Multimedia mulai memasuki aula. Sedikit demi sedikit, akhirnya aula yang lenggang kini telah dipadati oleh lebih dari 300 siswa-siswi.

foto  foto

Ket : - Yen Ling, relawan Tzu Chi berperan sebagai monster bencana dalam sebuah games di acara sosialisasi.
           Untuk memudahkan siswa-siswi memahami pelestarian lingkungan, relawan mengadakan games yang
           menarik. (kiri)
         - Mei Rong shijie saat menjelaskan makna dari games yang dimainkan. Lewat permainan ini siswa dan siswi
           dapat memahami dampak dari perusakan lingkungan dan tergerak untuk turut melestarikan alam. (kanan)

Jam delapan lewat sepuluh menit acara dimulai, dibuka oleh Winarso. Ia mengawali dengan menjelaskan apa itu Tzu Chi, falsafah, misi, dan kegiatan-kegiatan Tzu Chi. Siswa-siswi spontan memberikan tepuk tangan ketika ditampilkan slide pembangunan perumahan yang diperuntukkan bagi warga Aceh yang tertimpa musibah tsunami. Acara kemudian dilanjutkan dengan menayangkan lagu berjudul “Kali Angke yang Kekal”. Liriknya yang sederhana, namun menyentuh bagi yang mendengarnya. Nada dan iramanya yang seimbang menghasilkan melodi yang merdu hingga membuat perhatian siswa-siswi terfokus ke layar monitor—tak ada lagi suara siswa yang mengobrol. Tepuk tangan kembali memeriahkan ruang aula. Senyum dan tawa terpancar dari wajah siswa-siswi setelah menyaksikan tayangan itu. Meksipun berdurasi tidak lebih dari lima menit, rupanya tayangan ini cukup menggugah hati para peserta.

Untuk mengurangi kejenuhan, maka ditengah-tengah acara diadakan games. Games yang bertemakan pelestarian lingkungan ini dibawakan oleh Mei Rong shijie dan Yen Ling shijie (panggilan relawan wanita). Sebelum permainan dimulai, terlebih dahulu Mei Rong menjelaskan arti dari panggilan shijie, shixiong, shigu, dan shibo. Kemudian Mei Rong meminta 35 siswa-siswi untuk maju ke depan sebagai peserta dalam permainan. Ketiga puluh lima anak ini dibagi menjadi lima kelompok yang masing-masing kelompoknya terdiri dari tujuh orang. Setiap kelompok masuk ke dalam sebuah lingkaran yang terbuat dari tali rafia—diibaratkan sebagai sebuah pulau dan diberi nama Pulau mawar, Kelapa, Pinang, Lontar, dan Manggis. Mei Rong kembali menjelaskan bahwa Yen Ling shijie berperan sebagai monster bencana, dia akan menghancurkan pulau-pulau yang ada.

Permainan dimulai dengan serangan monster bencana pada salah satu pulau. Ilustrasinya, setiap pulau yang terserang monster bencana akan menghilang dan para penghuninya pindah ke pulau-pulau lainnya yang terdekat. Masalah muncul ketika yang tersisa hanya satu pulau, di dalam lingkaran yang kecil berisi 35 orang. Dari sini Mei Rong menjelaskan makna dari permainan ini. Pencemaran lingkungan dapat merusak keberadaan alam. Timbal balik dilakukan kepada para siswa-siswa, Mei Rong menanyakan kepada siswa-siswi bagaimana cara melestarikan lingkungan. Setiap jawaban yang tepat akan muncul lignkaran tali rafia yang diibaratkan sebagai munculnya gugusan pulau baru, dan seterusnya, hingga kembali terbentuk lima pulau. Meski permainan ini sederhana namun terasa sangat memberikan pesan yang bermakna, bahwa kita harus menjaga keseimbangan lingkungan atau bahaya akan mengancam di kemudian hari.

Sesi selanjutnya diisi oleh Dewita Hadi shijie yang menjelaskan dampak negatif sampah terhadap bumi. Menurutnya, sampah dapat menyebabkan berbagai penyakit bahkan bencana alam. Dewita mengilustrasikan bahwa sampah kota Jakarta dalam setahun bisa mencapai 10.000.000 m3, yang diibaratkan dapat membangun 185 kali Candi Borobudur. Makna dari sesi ini adalah sesuatu yang dianggap sepele dapat menjadi masalah global hidup manusia.

foto  foto

Ket : - Dewita Hadi, relawan Tzu Chi saat mempresentasikan efek buruk dari sampah yang dihasilkan oleh
           manusia kepada para siswa-siswi SMK Negeri 6 Jakarta. (kiri)
         - Suriadi, dalam presentasinya mengimbau kepada siswa-siswi untuk peduli terhadap lingkungan dan
           kegiatan ini harus dimulai dari diri sendiri. (kanan)

Jarum jam dinding menunjukkan arah angka sembilan dan sesi selanjutnya diisi oleh Suriadi shixiong (panggilan relawan laki-laki). Ia membawakan materi bagaimana melestarikan lingkungan. Tips yang dianjurkan tidaklah sulit, yaitu mulai dari diri sendiri untuk giat memilah sampah rumah tangga, tidak menggunakan barang-barang sekali pakai, seperti sumpit bambu, kotak styrofoam, dan kantong plastik. Suriadi juga mengajak para siswa-siswi menghemat penggunaan energi listrik dengan tidak menggunakan lift untuk naik ke lantai yang terjangkau dan menghemat penggunaan bahan bakar fosil dengan cara menggunakan angkutan umum atau bersepeda. Pada sesi ini, siswa-siswi terlihat sangat terhibur oleh gaya penyampaian Suriadi yang sedikit menggelitik.

Menjelang penghujung acara, sebagai simbolis, relawan Tzu Chi, Tjoeng Hing Kok menyerahkan sebuah tempat sampah berwarna hijau kepada Latifah selaku Kepala Sekolah SMK Negeri 6. Pada sosialisasi ini, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia menyerahkan empat puluh dua buah tempat sampah yang nantinya akan ditaruh di setiap kelas.

Setelah selesai, acara ditutup dengan menyaksikan peragaan isyarat tangan yang dibawakan oleh siswa-siswi SMK Negeri 6. Gerakannya pas seirama dengan lagu yang mengiringi, membuat para relawan merasa kagum terhadap siswa-siswi yang memperagakan isyarat tangan. Tepuk tangan dan acungan jempol diberikan kepada siswa-siswi. Senyuman mendalam pun terpancar dari raut wajah siswa-siswi, seolah muncul kebanggaan dari benak mereka.

Sebaliknya, seorang siswi bernama Fani Meryana dari kelas 3 Akuntansi 1 mengatakan, “Acara seperti ini bagus sekali, kalau bisa sering-sering diadakan. Karena dengan training, kita bisa lihat dan mempraktikkan.” Ia mengaku setelah mengikuti acara sosialisasi ini, dirinya akan melakukan perubahan gaya hidup yang mengarah ke pelestarian lingkungan. Salah satunya dengan tidak menggunakan plastik dan styrofoam. “Sekarang setelah ikut sosialisasi ini, saya biasanya beli minum di kantin pakai plastik, nanti akan berubah pakai gelas. Dan kalau makan biasanya pakai styrofoam, tadi sudah pakai piring,” akunya.

Perubahan pola pikir juga terjadi pada Diana Wahdana. Menurutnya, setelah mengikuti sosialisasi ini, ia akan melakukan pelestarian lingkungan dengan cara lebih menghemat listrik, air, dan barang-barang sekali pakai.

foto  foto

Ket : - Penyerahan tempat sampah secara simbolis oleh Tjoeng Hik Kok kepada Dra. Latifah, Kepala SMK Negeri 6
           Jakarta. (kiri)
         - Lagu "Satu Keluarga" dibawakan oleh relawan Tzu Chi dengan peragaan isyarat tangan. (kanan)

Harapan ke Depan
Tjoeng Hing Kok, relawan Tzu Chi dari He Qi Selatan ini mengharapkan, selepas acara ini siswa-siswi dapat menyebarkan informasi ini kepada saudara, orangtua, dan lingkungannya untuk dapat melakukan hal yang sama dalam melestarikan lingkungan. Menurutnya, kegiatan sosialisasi ini bertujuan untuk mengubah kebiasaan buruk siswa dan menyadarinya. “Kami mau kebiasaan buruknya berubah. Salah satunya supaya tidak banyak memakai barang-barang plastik, barang apa pun yang dibuang sembarangan, dan sewaktu hujan mengakibatkan banjir. Itu salah satu faktornya, agar mereka sadar bahwa itu adalah perbuatan yang buruk,” harapnya.

Menurut Tjoeng Hing Kok, Kepala Sekolah dan para guru di SMK Negeri 6 Jakarta sangat antusias menerima kedatangan Tzu Chi, dan berharap agar Tzu Chi bisa memberikan kegiatan lain yang bermanfaat bagi murid-muridnya. Menurutnya, ia akan terus membina hubungan dengan sekolah ini, dan ini diawali dengan pemantauan untuk melihat keberhasilan dari program sosialisasi ini. “Kedepannya, kami para relawan akan datang untuk memonitor bagaimana perkembangannya. Apakah mereka sudah mengikuti nasihat yang diberikan atau apakah pemisahan sampah sudah dilakukan. Lalu, mungkin kami juga akan melakukan kegiatan lainya,” terang Tjoeng Hing Kok. Setelah sampah terpilah, Tjoeng Hing Kok juga mengatakan, “Sampah tidak mesti disumbangkan ke Tzu Chi. Mereka bisa saja sumbangkan ke para pengepul barang bekas, karena tujuannya adalah bukan mendapatkan uangnya, tetapi tujuannya adalah mereka berbuat ini untuk menjadi kebiasaan, kebiasaan di sekolah dan setelah pulang menjadi kebiasaan di rumah,” harapnya.

 

Artikel Terkait

Cinta Kasih Melalui Semangkuk Bubur

Cinta Kasih Melalui Semangkuk Bubur

29 Oktober 2009 Oma-opa di Panti Wreda Nazaret tersenyum menyambut kunjungan relawan Tzu Chi tanggal 1 Oktober 2009. Di ruangan itu, kami mengadakan berbagai acara. Salah satu acara yang disukai para lansia adalah bernyanyi bersama.
Olah Rasa dan Ajang Silaturahmi antar-Karyawan DAAI TV

Olah Rasa dan Ajang Silaturahmi antar-Karyawan DAAI TV

10 Maret 2018

Menjalin Jodoh, Menggenggam Kesempatan, itulah tema dari Kamp Humanis DAAI TV 2018 yang digelar pada 9-11 Maret 2018 di Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Kamp humanis DAAI TV ini bertujuan menajamkan kembali visi misi DAAI TV bagi para karyawan dan sekaligus sebagai ajang silaturahmi antarkaryawan.

Suara Kasih: Berbagi Melalui Celengan Beras

Suara Kasih: Berbagi Melalui Celengan Beras

27 Juni 2012 Salah seorang dari mereka berkata bahwa dia bisa makan lebih sedikit saat makan. Dia berkata pada istrinya, “Keluarga kita terdiri atas 4 orang, setiap kali akan memasak, kita bisa menyisihkan segenggam beras.” Setelah beras dimasukkan ke dalam panci, dia akan mengambil satu genggam dari panci dan menaruhnya kembali di sebuah guci plastik.
Dengan kasih sayang kita menghibur batin manusia yang terluka, dengan kasih sayang pula kita memulihkan luka yang dialami bumi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -