Mengasah Diri menjadi Guru Humanis yang Menjernihkan Hati

Jurnalis : Tim Bedah Buku Tzu Chi Secondary School, Fotografer : Dok. Tzu Chi School

Misi Pendidikan Tzu Chi memiliki prinsip membimbing dengan prinsip kebenaran, membina akhlak yang mulia, mendidik perilaku penuh tata krama, mewariskan jalan kebenaran.

Pendidikan adalah suatu upaya menjernihkan hati dan pikiran manusia. Jika dilakukan dengan baik, pendidikan adalah sumber harapan, dan kekuatan untuk menstabilkan masyarakat.”
(Master Cheng Yen)

“Masalah apakah yang dihadapi masyarakat? Penyakit apakah yang dihadapi pendidikan? Mengapa anak-anak tidak bisa belajar dengan sungguh-sungguh? Mengapa mereka tak dapat menunaikan kewajiban dan jalan di jalur yang seharusnya? Mengapa masyarakat kehilangan keselarasan? Penyelesaian semua permasalahan ini harus dimulai dari pendidikan…” Kutipan wejangan Master Cheng Yen di halaman 8 buku Pedoman Guru Humanis ini membawa Fadlan, seorang guru Olahraga Tzu Chi Secondary School, mengenang saat dirinya menjadi mahasiswa di tahun 2015. Di tahun itu, ia menjalankan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Sukanagara, Pandeglang, Banten.

Ditunjuk menjadi ketua desa dalam kegiatan tersebut, Fadlan dan sejumlah rekannya mendampingi sekitar 140 murid di dua sekolah di desa tersebut. D masa itu, Fadlan dan timnya berhadapan dengan kondisi masyarakat yang belum melihat bahwa pendidikan itu penting. Mereka mendapatkan sebagian besar anak-anak tidak tahu apa cita-cita mereka. Hanya sedikit yang memiliki cita-cita, itu pun sebatas mengacu pada apa yang dikerjakan orangtuanya seperti menjadi pedagang di pesisir pantai atau nelayan. Merespon kondisi ini, Fadlan mengenang, “Saya dan teman-teman pun menyusun rencana untuk memberikan materi yang menarik minat anak-anak kepada bidang lain seperti olahraga, seni musik, menggambar, kesehatan dan banyak lainnya.” Mereka berjuang dengan sepenuh hati untuk memperluas wawasan dan memotivasi semangat belajar anak-anak setempat.

Satu setengah bulan kegiatan berjalan, tiba saatnya Fadlan dan tim harus meninggalkan desa tersebut. Sebelum pulang, mereka kembali mengadakan survei cita-cita. “Kami amat bersyukur jawabannya sudah berubah dan sangat beragam,” kenang Fadlan, “ada yang pengen jadi pemain bola, dokter, camat, presiden, dan lain sebagainya.”

Perubahan pola pikir ini sangat membekas di benak Fadlan. Anak-anak desa pun harus melepas para mahasiswa ini dengan berat hati. Tangis haru dan ungkapan terima kasih mendalam dari anak-anak dan warga menyertai purnapengabdian mereka di sana. Perjuangan Fadlan dan kawan-kawannya jelas telah menyentuh lubuk hati terdalam anak-anak ini.

Fadlan (ke-4 dari kiri) berbagi pengalaman saat menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di suatu desa di desa Sukanagara, Pandeglang, Banten.

Lima tahun kemudian (tahun 2020), saat melakukan perjalanan ke daerah Pandeglang, Fadlan menyempatkan diri berkunjung kembali ke desa tersebut. Ia disambut hangat dan merasa amat bahagia dengan apa yang disaksikannya. Ia melihat semangat belajar yang tinggi di desa ini. “Saya senang mendengar dari guru mereka bahwa tingkat kelulusan di desa ini mencapai 100% dengan nilai yang baik. Bahkan ada juga anak yang diterima di Diklat olahraga Banten melalui jalur pemain sepak bola,” kisahnya dengan penuh semangat. Rupanya, apa yang dilakukan Fadlan 5 tahun sebelumnya amat berkesan bagi anak-anak dan juga para orangtuanya. Kini mereka sangat mendukung pendidikan anak-anak. Mereka sudah memahami betapa pentingnya pendidikan, baik demi masa depan generasi muda maupun untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dalam kehidupan bermasyarakat.

Inspirasi dari Kisah Para pendidik
Setiap hari merupakan lembaran baru dalam hidup. Setiap orang dan setiap hal yang ada di dalamnya semuanya adalah kisah-kisah yang menarik.” (Master Cheng Yen)

Kisah di atas dibagikan Fadlan dalam sebuah sesi diskusi buku Pedoman Guru Humanis secara daring pada tanggal 13 April 2021. Diskusi buku daring yang diadakan setiap jam 7 pagi sebelum kelas dimulai ini diinisiasi oleh Kepala Sekolah Secondary School, Caroline Widjanarko, didukung oleh guru koordinator Ren Wen, Chen Pei Wen. Menurut Caroline, menjadi seorang pendidik adalah sebuah kehormatan dan juga sebuah beban. Kehormatan karena seorang pendidik dapat menurunkan nilai-nilai, pandangan dan bimbingan kepada sedemikian banyak anak dan tidak terbatas pada anak yang terlahir di keluarganya saja. Namun, ini juga merupakan sebuah beban karena seorang pendidik bertanggungjawab untuk membimbing dan merawat jiwa dari anak didiknya. Hal ini amat selaras dengan Master Cheng Yen yang pernah berujar bahwa guru adalah orang tua yang melahirkan jiwa kebijkasaan.

Agar beban ini menjadi sebuah tantangan yang positif dan mencerahkan, tentu butuh proses melalui pembelajaran yang konsisten. Pihak sekolah pun berupaya mendukung proses pembelajaran ini dengan berbagai sumber daya yang sudah tersedia dengan baik. “Menjadi seorang pendidik di Tzu Chi School terberkati dengan pandangan dan filosofi Master Cheng Yen terhadap pendidikan yang tertuang dalam buku Pedoman Guru Humanis,” ungkap Caroline dengan penuh syukur.

Buku Pedoman Guru Humanis yang merupakan karya Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi menjadi bahan referensi para guru di Sekolah Tzu Chi dalam mendidik anak muridnya.

“Sebagai seorang guru Tzu Chi School, sudah sepantasnyalah berpegang teguh pada pedoman ini dan menjalankannya dalam praktik mengajar dalam keseharian. Saya bersyukur bahwa tim guru budaya humanis di sekolah telah melakukan bedah buku ini sehingga setiap guru semakin memahami filosofi pendidikan Tzu Chi,” lanjutnya yakin, “dengan menjalankan ini, misi pendidikan Tzu Chi untuk menyucikan hati manusia dan menciptakan masyarakat yang harmonis akan dapat tercapai.”

Berlangsung selama 16 minggu sejak Januari tahun 2021 di Tzu Chi Secondary School, diskusi buku ini diadakan sebagai bagian penyegaran para guru di tengah proses belajar mengajar jarak jauh di masa pandemi ini. Diskusi berlangsung setiap hari bergantian diikuti para guru dari departemen yang berbeda-beda secara berkala. Para guru pengampu PPKn, olahraga, bahasa Indonesia, science, agama, seni rupa, dan desain digital, hingga para konselor sekolah merespon positif kegiatan ini.

Diskusi buku dimulai dengan pemaparan 4 nilai luhur yang terkandung dalam pendidikan. Di halaman pertama buku ini, Master Cheng Yen menekankan betapa pentingnya guru harus berpegang teguh pada nilai-nilai “cinta kasih, welas asih, sukacita, dan keseimbangan batin” dan menjadikannya sebagai filosofi dalam mengajar. Dari sini, diskusi lalu mulai berkembang.
 

Para guru Olahraga dan konselor sekolah menggali 4 nilai luhur pendidikan sebagai filosofi mengajar.

Selanjutnya, para peserta mulai membaca dan mendalami isi buku. Mereka pun dengan antusias saling berbagi kisah dan pengalamannya di dunia pendidikan terkait dengan isi buku yang dibaca. Mereka mencermati dengan seksama butir-butir nilai yang terkandung di dalamnya, lalu mengaitkan dengan apa yang pernah dialami, hingga akhirnya menjadi sebuah pemahaman yang lebih arif dan bermakna. Materi-materi yang digali pun amat beragam. Mulai dari metode pengajaran, model interaksi yang ideal antara murid dan guru, hingga bagaimana menegakkan disiplin dan membangun karakter dengan berbagai metode terampil. Tentunya semua ini dibahas dalam konteks humanisme dalam pendidikan, pendidikan yang memanusiakan manusia. Dari sinilah, para guru mampu memperkaya wawasan dan cara pandang serta mengembangkan benih cinta kasihnya satu sama lain.

Buku Pedoman Guru Humanis ini sendiri berisi kumpulan kutipan wejangan Master Cheng Yen tentang pendidikan, khususnya pendidikan karakter. Buku yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 2012 ini menjadi salah satu sumber inspirasi para pendidik yang berkarya di lingkungan Tzu Chi di Indonesia. Buku ini terdiri dari 10 bab yang membahas beragam aspek dalam lingkungan pendidikan, termasuk pendidikan moral dan cinta kasih, metode belajar mengajar, sampai pada membangun relasi sehat guru, murid, dan orangtua. Para relawan pendidikan Tzu Chi juga kerap menjadikan buku ini sebagai referensi dalam menjalankan kegiatannya di misi pendidikan. Hal ini tentu selaras dengan kebijakan arah pendidikan Indonesia yang digagas Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia saat ini, dimana kemampuan bernalar melalui numerasi dan literasi harus juga disertai dengan penguatan pendidikan karakter.

Memupuk Tunas Muda Menjadi Pohon Besar
Saat membaca isi buku ini, banyak guru yang kembali mengenang peristiwa yang menyentuh hati saat menjalankan profesinya. Dan tidak jarang kisah-kisah yang menyentuh hati ini muncul menyegarkan semangat para guru lainnya sebelum mengajar di pagi hari.

Sarah, seorang pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia adalah salah satunya. Ia berbagi sebuah kisah yang menyentuh di sesi tanggal 12 April 2021 lalu. Bagi Sarah yang mengawali kariernya sebagai guru primary (SD), menjadi guru bukanlah sekadar pekerjaan. “Jadi guru itu is a calling, not only a job,” ujarnya mantap. Sikap inilah yang membuat dirinya menjadi seorang guru yang dikenang muridnya. Suatu ketika saat mengajar kelas 5 SD, Sarah berkesempatan mendampingi seorang murid yang kerap berbuat onar hingga dilabeli biang kerok. Dengan penuh kesabaran dan sepenuh hati, Sarah mencoba berbagai cara untuk membimbing murid ini beberapa tahun lamanya. Meski demikian, anak ini tidak berubah. Sarah pun merasa gagal menjadi seorang guru.

Sarah (tengah atas) bersama tim guru bahasa Indonesia.

Namun, setelah beberapa tahun kemudian, tidak dinyana murid ini kembali berusaha menemui Sarah. Murid ini sungguh berniat mencari ibu guru yang berjasa baginya ini. Dengan upaya yang tekun termasuk dengan menelusuri jejak gurunya melalui email, ia akhirnya mampu menemukan Sarah yang saat itu sedang mengajar di luar negeri. Mendapati jejak gurunya, murid ini pun terbang mengunjungi sekolah tempat Sarah mengajar. Rupanya ia ingin menyampaikan rasa terima kasih secara langsung. “Kalau bukan Miss yang ngasih tahu saya, bukan Miss yang negor saya…, saya tidak akan jadi seperti sekarang,” kenangnya saat menemui Sarah. Tanpa bimbingan dan kesabaran Sarah saat kerap berbuat onar di masa usia sekolah dasar, anak ini merasa tidak akan bisa berubah dan mencapai prestasi yang diraihnya hari ini.

Kisah ini muncul kembali dalam memori Sarah saat membaca paragraf kedua di halaman 256: “Guru bagaikan seorang tukang kebun, murid laksana sebuah pohon… cukup sinar matahari dan air, dirawat dengan sungguh-sungguh, jangan sampai dirusak oleh hama atau penyakit tananam.”

Sarah memaknai pesan Master Cheng Yen ini sebagai pengingat agar terus memperlakukan para murid dengan sepenuh hati dan cinta kasih agar kelak bisa tumbuh menjadi orang yang berprestasi dengan karakter yang baik dan kuat.

“Membaca bab ‘memupuk tunas muda menjadi pohon besar’ ini, saya diingatkan lagi bahwa tugas guru itu sama seperti tukang kebun,…bukan hanya datang untuk melihat-lihat, tapi juga harus memupuk, menyiram, menyiangi ranting-ranting yang sudah tidak diperlukan,” terang Sarah.

Sarah beranalogi. “Selain mendidik dengan kasih dan hati, saya juga percaya kita harus mendidik dengan disiplin. Karena seperti pohon, kalau kita tidak memotong ranting-ranting yang tidak diperlukan, menyiangi rumput-rumput liar, pada akhirnya pohon ini tidak akan tumbuh dengan maksimal. Selain mendidik dengan hati, juga harus menerapkan disiplin,” tegasnya.

Keyakinan ini terbukti dengan murid yang sempat dilabeli “biang kerok” itu bisa menemukan hakikat dirinya yang sejati dan kembali berjalan di jalur yang benar. Semua ini bekat usaha yang tidak kenal lelah. Meski sempat merasa gagal di awal, Sarah merasa amat bahagia mendapati murid tersebut kini sudah jauh menjadi lebih baik. “Apa yang sudah dipupuk, apa yang sudah kita kerjakan, mungkin hasilnya tidak kita lihat sekarang, tapi di tahun-tahun mendatang,” kenangnya dengan penuh sukacita.

Mendidik dengan Hati Seorang Guru

Mathilda menceritakan pengalamannya dalam mendidik murid-muridnya dengan sabar dan sepenuh hati. Hasilnya pun berbuah manis, sang murid kini menjadi anak yang berprestasi di tengah keterbatasannya.

Lain lagi kisah yang dibagikan Mathilda, seorang konselor di Tzu Chi Secondary School dalam diskusi pada tanggal 21 April 2021. Saat membuka halaman 8 di buku ini, matanya tertumbuk pada kalimat: “Pendidikan bukanlah semata-mata kegiatan belajar mengajar di kelas. Pendidikan yang terbaik adalah pendidikan batin – dengan kebijaksanaan, membimbing dan membangkitkan pengertahuan yang bajik anak-anak.

Membaca paragraf pertama di halaman ini, Mathilda lantas kembali teringat mengawali profesinya menjadi seorang guru 11 tahun lalu. Saat itu ia ditugaskan menjadi guru kelas seorang murid berkebutuhan khusus di masa awal sekolah dasar selama 3 tahun. Anak ini tidak bisa duduk diam dan sering membuat ruang kelas menjadi berantakan. Akibatnya, hampir tidak ada guru lain yang sanggup menghadapi dan membimbing murid ini. Namun dengan sepenuh hati dan cinta kasih, Mathilda dengan konsisten mendampingi murid ini hingga kemudian murid ini pindah ke sekolah lain. Dalam pengamatannya, Mathilda yakin anak ini memiliki potensi yang belum diasah.

Waktu terus berjalan dan keyakinan Mathilda berwujud nyata. Suatu hari Mathilda diundang sebagai tamu VVIP oleh murid ini ke sebuah pameran seni. Murid ini mengajak Mathilda berkunjung ke galeri yang memamerkan karya seninya di sebuah eksibisi yang juga dihadiri oleh sejumlah desainer ternama. Dalam momen itu sang murid menyampaikan sambutan di atas panggung. “Saya bisa sampai di titik ini karena ada yang bisa mengerti saya,” ujar anak itu merujuk pada Mathilda yang sudah berupaya sepenuh hati memahaminya di masa lalu. Sontak, Mathilda merasa amat bahagia dengan pencapaian anak tersebut hari ini. “Saat ini dia bahkan bisa masuk di sekolah ternama dan terus berprestasi,“ terangnya dengan gembira, “mendidik dengan hati memang perlu latihan, tapi sekali kita sudah bisa menyentuh hatinya, dia akan ingat.”

“Tantangan mendidik dengan hati memang besar sekali, tapi itulah esensi utama dari pendidikan,” tutup Mathilda menekankan kembali apa yang disampaikan Master Cheng Yen di halaman 8 tersebut. Kisah ini menegaskan bagaimana kehangatan hati dan cinta kasih seorang guru bisa meluluhkan hati dan membimbing murid menemukan kembali hakekat dirinya yang sejati. Pendidikan seutuhnya adalah pendidikan yang juga mengutamakan pendidikan batin, bukan hanya pengetahuan dan keterampilan.

Manfaat yang Mencerahkan

Dalam mendidik para murid, para guru di Tzu Chi School juga menggunakan Kata Perenungan Master Cheng Yen sebagai salah satu sumber bahan pelajaran.

Selain kisah-kisah di atas, masih banyak kisah yang dibagikan, termasuk metode belajar yang memanusiakan para peserta didik. Salah satunya adalah Auriga, koordinator guru seni rupa dan desain digital yang sudah bergabung sejak awal Tzu Chi Secondary School beroperasi. Ia sempat berbagi bagaimana tim guru seni rupa mengajak para murid melakukan eksplorasi kondisi masyarakat saat ini dan menuangkannya dalam karya seni. Dengan lugas, para murid bisa mensinergikan kata-kata perenungan Master Cheng Yen dengan topik yang sedang digali. Proses pembelajaran berbasis Kata Perenungan Master Cheng Yen sendiri adalah salah satu inti metode pengajaran yang diterapkan dalam berbagai kegiatan misi pendidikan Tzu Chi di berbagai dunia. Dengan metode ini, para peserta didik mendapat bekal pendidikan karakter dan pendidikan hati yang humanis yang bisa diterapkan dalam keseharian hidup.

Ada pula tim guru PPKN dan Agama yang dikoordinir oleh Lakasianus, kerap dipanggil Lexi, yang juga seorang guru bahasa Indonesia. Mereka dengan lugas membahas soal keteladanan guru dan pembentukan kepribadian yang baik. Nilai-nilai moral dalam buku ini digali lebih lanjut dalam perspektif sejarah, akademis, dan kurikulum. Alhasil, relevansi apa yang disampaikan Master Cheng Yen di dalam buku ini dengan realita kondisi pendidikan masa kini semakin terlihat jelas. Mereka berbagi bagaimana buku ini memberikan manfaat dan semakin membangun keyakinan bahwa nilai moralitas dan kebangsaan yang humanis perlu ditanamakan kepada para murid.

Berbagai manfaat dirasakan para pendidik yang mengikuti kegiatan yang berlangsung rutin hingga Mei 2021 ini. Sejumlah guru berkesempatan menuangkannya dalam form evalusi kegiatan yang telah disediakan. Berikut sejumlah petikan komentar terkait dari para pendidik humanis ini setelah membaca dan mengupas buku ini lebih mendalam.

“Diskusi ini menyenangkan, menambah wawasan dan pemahaman dalam proses menjadi pengajar yang humanis. Lewat diskusi kita saling berbagi pengalaman dan berkesempatan untuk bercermin ke dalam diri lewat kisah sharing teman teman,” ujar Parlindungan, salah seorang pengajar PPKN. Pendapat ini diamini oleh Amalia, seorang Pembina OSIS yang juga mengajar bahasa Indonesia. ”Banyak pengalaman dan ilmu baru yang saya dapat dari teman-teman yang menambah khazanah dalam mengajar yang dapat saya terapkan sesuai dengan pedoman guru humanis,” tambah Lala, panggilan akrab Amalia.
 

Para tim guru PPKN dan agama sama-sama berbagi kisah dan pengalaman dalam mendidik murid-muridnya dalam kegiatan bedah buku.

Di samping menambah wawasan dan memperkaya metode belajar yang humanis, diskusi buku ini juga mempererat hubungan kerja sekaligus menumbuhkan rasa hormat di antara sesama para pendidik. Kesempatan tatap muka yang sedikit tidak menghalangi mereka lebih mengenal dan memahami satu sama lain. “Selain mendapatkan kesempatan untuk mengerti mengenai Ren Wen dan budaya organisasi Tzu Chi ini, kami juga mendapatkan kesempatan untuk mengenal rekan-rekan kami lebih mendalam dan juga mengetahui pengalaman luar biasa yang sudah dialami oleh mereka. Hal ini tentunya membuat kami merasa lebih dekat, lebih kenal satu sama lain dan lebih menghargai rekan-rekan sekerja kami,” tutur Yosehan, Koordinator Konselor Tzu Chi Secondary School yang juga mengampu mata pelajaran psikologi.

“Pengalaman dan pembelajaran yang telah kita lalui dalam hidup, bisa berguna dan menginspirasi orang lain. Diskusi buku ini dapat memanggil kembali pengalaman-pengalaman berharga dalam hidup untuk dibagikan kepada orang lain dan menjadi inspirasi dan motivasi bagi banyak orang,” urai Wahyudi, guru bahasa Indonesia. Hal ini dikuatkan oleh Henky salah seorang guru yang sudah bergabung sejak Tzu Chi Secondary School berdiri dan kini menjadi anggota tim manajemen senior sekolah, “Dengan membaca kembali dan juga berdiskusi maka pemahaman terhadap apa yang menjadi konsep dan metode pendidikan yang diterapkan Tzu Chi menjadi semakin jelas,” kata Henky.

Terima kasih kepada semua guru, para pahlawan pendidikan yang menjadi pilar penting bagi upaya menjernihkan hati manusia, mewujudkan marayarakat yang damai, sejahtera, dan harmonis. Terus berjuang dan berkarya membentuk generasi muda yang cerdas, terampil, dan berkarakter mulai. Gan en.

Editor: Hadi Pranoto

Artikel Terkait

Mengasah Diri menjadi Guru Humanis yang Menjernihkan Hati

Mengasah Diri menjadi Guru Humanis yang Menjernihkan Hati

07 Juni 2021
Agar setiap guru di Tzu Chi School semakin memahami filosofi Pendidikan Tzu Chi maka diadakan kegiatan Bedah Buku yang diikuti oleh setiap guru dan staf pengajar.
Tak perlu khawatir bila kita belum memperoleh kemajuan, yang perlu dikhawatirkan adalah bila kita tidak pernah melangkah untuk meraihnya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -