Mengasah Empati dan Budaya Humanis

Jurnalis : Yuliati, Fotografer : Yuliati, Willy, Ong Tjandra (He Qi Barat)

Para tim medis Tzu Chi dengan antusias mengikuti setiap sesi dalam kamp TIMA selama dua hari, tanggal 29-30 November 2014.

Dalam misi kesehatan Tzu Chi, tim medis memiliki peran utama dalam menyelamatkan jiwa mereka yang sedang sakit. Namun seorang dokter ataupun tim medis tidak hanya sekedar datang dan mengobati para pasien saja, melainkan melayani dengan hati. Agar bisa memiliki jiwa demikian, Tzu Chi International Medical Assosiation (TIMA) Indonesia mengadakan kamp bagi para anggota TIMA baru. Ini dilakukan untuk memberikan bekal pengetahuan tentang budaya humanis Tzu Chi yang harus diterapkan ketika terjun ke lapangan nantinya. “Banyak dokter dan anggota TIMA yang ikut kegiatan baksos hanya datang mengobati seperti di baksos-baksos tempat lain, tapi di TIMA baksos sebagai sarana untuk tempat berlatih dan mengasah empati kita supaya jangan menjadi tumpul,” tutur drg. Linda Verniati, Sp.OT, koordinator kamp.

Pada kesempatan kamp ini, TIMA mengusung tema “Menyadari Berkah, Menghargai Berkah, dan Menciptakan Berkah”. Dengan tema ini, setiap tim medis diharapkan bisa mensyukuri berkah yang telah dimiliki dan menciptakan berkah lebih banyak lagi dalam bersumbangsih dan membantu sesama yang membutuhkan.

Kamp pertama yang diadakan sejak tanggal 29-30 November 2014 ini diikuti  oleh tim medis Tzu Chi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya: Jakarta, Tangerang, Bandung, Palembang, Pekanbaru, Batam, dan Biak. Sebanyak kurang lebih 60 peserta bersama-sama belajar dan memahami Tzu Chi dengan misi kesehatannya dan melayani orang lain dengan menerapkan budaya humanis Tzu Chi.

Menciptakan Berkah di Ladang Subur

Salah satu tim medis Tzu Chi yang memberikan sharing tentang bagaimana menciptakan berkah bagi orang lain, dr. Wang Suryani, Sp.KK menyampaikan pengalamannya selama di barisan estafet TIMA Indonesia. Dokter Kimmy, sapaan akrabnya mengaku setiap orang bisa menciptakan berkah dengan cara mudah yaitu mensyukuri apa yang dirasakan. “Sebagai dokter, kita membantu orang yang membutuhkan. Ini adalah berkah. Bahkan dengan hal sederhana seperti berbicara dan menenangkan orang yang sedih itu sudah merupakan berkah yang luar biasa,” ungkapnya.

Kurang lebih 60 tim medis Tzu Chi yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia, diantaranya: Jakarta, Tangerang, Bandung, Palembang, Pekanbaru, Batam, dan Biak mengikuti kamp ini.

Usai memberikan sharing kepada peserta kamp, Prof. Dr. Fong Poh Him penuh sukacita menerima bunga dari TIMA Indonesia sebagi ungkapan syukur.

Ia menambahkan bahwa bersyukur tidak hanya ditujukan pada materi saja, melainkan dengan bisa meluangkan waktu untuk datang membantu mereka yang sedang menderita juga merupakan wujud syukur. Hal ini yang bisa dilakukan untuk menciptakan berkah. “Saya berharap dokter juga perawat ingat niat kita untuk menciptakan berkah. Kita sudah memiliki ladang yang terbaik, kita tinggal menanam. Harus terus disiram, jangan mudah putus asa,” ucap spesialis kulit dan kelamin ini.

Lain halnya dengan dokter spesialis bedah asal Singapura, Prof. Dr. Fong Poh Him. Salah satu tim medis Tzu Chi Singapura ini terus bersumbangsih bersama TIMA Indonesia dalam melayani masyarakat. Dr. Fong sering mengikuti kegiatan baksos yang diadakan oleh TIMA Indonesia di berbagai wilayah. Ia mengaku Indonesia merupakan rumah kedua baginya. “TIMA Indonesia telah menjadi tim misi kesehatan pertama saya. Meski saya kadang tidak mengerti bahasa yang digunakan, namun Indonesia selalu menjadi rumah kedua saya. Saya selalu bergabung dengan TIMA Indonesia setiap saya ada waktu,” tuturnya.

 Dr. Fong pun melihat kiprah TIMA Indonesia dalam membantu yang membutuhkan semakin berkembang dan bertambah besar. “Tidak hanya dalam jumlah orang yang bergabung dalam barisan atau besarnya suatu misi, tetapi juga kualitas dari orang-orangnya, sehingga kita dapat melihat bagaimana mereka berbagi perasaan mereka dan mereka benar-benar bersungguh-sungguh,” ungkapnya. Ia berharap dengan akan dibangunnya rumah sakit Tzu Chi nantinya, TIMA Indonesia akan berkembang dari berbagai segi.

Menyadari Berkah, Melayani Dengan Hati

Kamp yang berlangsung selama dua hari ini telah memberikan banyak pengetahuan baru untuk para peserta, tak terkecuali dr. Elvira Cesarena. Dokter umum asal Biak, Papua ini dengan antusias mengikuti setiap sesi kamp TIMA. Ia mengaku banyak mendapat kebaikan dan pengalaman baru untuk dirinya sendiri dan belajar banyak dari orang lain. Salah satu hal yang ia rasakan adalah merasa mendapat ketenangan batin karena banyak masukan, intropeksi diri. “Terus kita bisa menyadari berkah yang kita peroleh,” ungkapnya. “Meskipun tadinya ada kesulitan untuk mengurus ijin keluar kota, tapi karena bantuan ketua Tzu Chi Biak akhirnya mendapatkan ijin meskipun sudah mendekati hari H,” aku dokter 28 tahun ini.

Dokter Elvira mengenal Tzu Chi dua tahun lalu dengan melihat kegiatan-kegiatan baksos bagi beras yang diadakan di pulau melalui stasiun TV di Papua. Hingga pada awal tahun 2014, di kala ada baksos kesehatan  yang diadakan oleh Tzu Chi, ia mengumpulkan pasien-pasien di wilayah tugasnya agar mengikuti baksos ini. “Saya keliling dan ajak warga untuk ikut screening dan saya dampingi mereka. Ketua Tzu Chi Biak, Susanto Pirono dan Yenny Shijie ngobrol dengan saya dan pada baksos saya diajak untuk ikut tim medis. Dari situ saya gabung di Tzu Chi,” ucap wanita kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur ini.

Dokter Elvira (berjilbab) bersama peserta lain mendengarkan penjelasan dari dr. Kimmy tentang sejarah perjalanan Tzu Chi di Exibition hall Tzu Chi.

Masing-masing peserta menulis kesan-kesan pada lembaran kertas yang diberikan usai kamp TIMA.

Jodoh baik yang telah terjalin membuatnya ingin terus bersama Tzu Chi dalam bersumbangsih kepada sesama. Untuk menuju Biak, ia pun harus menempuh perjalanan darat selama 4 jam dari tempat tugasnya di daerah pedalaman, Supiori. Namun ini bukan menjadi halangan baginya untuk bersumbangsih, maka dr. Elvira pun menjadi relawan medis Tzu Chi pada saat baksos kesehatan di bagian ruang operasi. “Begitu pulang dari baksos, saya merasa berenergi. Bahkan saya tulis di status bbm (Blackberry Messanger) bahwa saya mendapatkan energi dengan menolong orang lain. Besokannya saya bersemangat datang ke acara baksos tersebut. saya merasa ketika bersumbangsih sehari penuh tidak merasa kecapekan tapi dapat energi baru,” ungkapnya.

Lokasinya bertugas yang jauh dari keramaian kota lantas tidak membuat dr. Elvira merasa jenuh dan putus asa, justru ia bersemangat dalam memulihkan jiwa para warga. Ia mengatakan pentingnya menyadari dan menghargai berkah yang telah diperoleh, sehingga kerisauan pun menjauh dari dirinya. “Saya menyadari di sana saya lebih dibutuhkan dibanding jika bertugas di kota dan ini berkah bagi saya. Dengan mengikuti kegiatan kamp ini, batin yang risau menjadi tenang karena kita bersyukur,” akunya.

Menurutnya, melalui kegiatan-kegiatan kamp seperti ini bisa mendidik para tim medis dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter. “Tzu Chi bagi komunitas medis sangat penting karena dari sekian komunitas medis yang ada, tidak semua tim medis yang memiliki empati untuk sesama. Saya menyadari kalau kita tidak mendidik komunitas medis untuk memiliki empati dan budaya humanis, maka tidak akan bisa melayani dengan hati,” katanya. Ia pun bisa merasakan bahwa kegiatan baksos kesehatan yang diadakan oleh Tzu Chi juga menanamkan nilai-nilai bersyukur karena bisa memberi kepada orang lain. “Ini yang saya sukai, ketika memberi tidak merasa tangan kita di atas, tetapi kita setara dan bersyukur bisa memberi,” tukasnya. Dokter Elvira mengaku setelah mengenal Tzu Chi, ia bisa lebih pendekatan dengan masyarakat, bahkan dari rumah ke rumah ia lakukan dan memberikan edukasi satu persatu pentingnya hidup sehat. Hal ini yang membuat keterikatan batinnya lebih kuat dengan warga di sekelilingnya.


Artikel Terkait

Kerisauan dalam kehidupan manusia disebabkan dan bersumber pada tiga racun dunia, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -