Mengembalikan Senyum Pengungsi dengan Baksos Kesehatan Gigi
Jurnalis : Khusnul Khotimah, Fotografer : Khusnul Khotimah
Tzu Chi Indonesia kembali menyediakan layanan kesehatan bagi para pengungsi yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Hampir seratus pengungsi dari berbagai negara mendapatkan pengobatan gigi.
Efat (6), gadis cilik asal Afghanistan itu turun dari kursi operasi gigi sembari tersenyum setelah drg. Nanne dari Tima Indonesia menambal giginya. Dokter dan relawan Tzu Chi yang mendampinginya pun ikut tersenyum.
“Pintar sekali ya, cantik lagi,” kata drg Nanne.
Hari itu sepulang sekolah, masih dengan seragam pramukanya, Efat diantar ayahnya Habibullah mengikuti pengobatan gigi yang diadakan Tzu Chi Indonesia. Bakti sosial yang digelar pada Rabu, 1 November 2017 ini bertempat di Kantor Church World Service (CWS) di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. CWS merupakan mitra pelaksana dari badan urusan pengungsi PBB, UNHCR yang juga memperjuangkan anak-anak pengungsi untuk bisa bersekolah.
Baksos ini merupakan yang kedua kalinya digelar Tzu Chi Indonesia untuk para pengungsi di Jakarta dan sekitarnya. Tahun lalu layanan kesehatan yang diberikan adalah penyakit umum, sementara kali ini khusus pengobatan gigi. Tim medis Tzu Chi atau TIMA Indonesia juga dibantu sembilan perawat dari Sekolah Angkatan Laut Jakarta. Sementara jumlah relawan Tzu Chi sendiri sekitar 34 relawan. Ada juga dokter Novita yang mantap untuk segera bergabung di TIMA Indonesia.
Tak hanya Efat, ayahnya, Habibullah (50) juga memeriksakan giginya. Ia telah lama merasakan sakit gigi, tapi karena tak memiliki cukup uang, Habibullah urung ke dokter gigi.
“Keluhannya, dia pernah tambal lalu lepas. Tadi tidak bisa ditambal karena giginya sudah mati. Dia bilang tidak mau cabut, jadi saya cuma resepkan obat,” kata Dokter Novita.
Habibullah pun pulang dengan membawa antibiotik dan obat pengurang rasa sakit. Ia juga mengungkapkan rasa terima kasihnya.
Masih
dengan seragam Pramukanya, Efat yang saat ini duduk di bangku sekolah kelas 1 sekolah dasar tengah menjalani tambal gigi. Meski ini adalah pengalaman pertamanya ke
dokter gigi, Efat tidak merasa takut.
Tak hanya Efat, ayahnya Habibullah (kanan) juga turut mendapatkan pengobatan.
Habibullah dan lima anaknya hampir dua tahun berada di Jakarta. Ia meninggalkan Afghanistan karena terjadi perang antara kelompok Taliban dan Al-Qaeda melawan militer Amerika Serikat. Ia sendiri menjadi incaran Taliban dan Al-Qaeda.
“Taliban dan Al-Qaeda berpikir kalau saya bekerja di pemerintahan, jadi mereka ingin membunuh saya. Seorang teman mengatakan pada saya ‘jika kamu ingin pergi ke negara lain saya akan membantumu karena hidupmu sangat tidak aman di sini’. Dia menyarankan untuk pergi ke Indonesia karena pemerintah Indonesia sangat baik, orang-orang Indonesia juga adalah orang-orang yang sangat baik,” ujarnya.
Sesungguhnya Habibullah tidak ingin pergi ke mana-mana. Ia berharap perang segera berhenti. “Jika besok atau lusa perang berhenti, saya akan kembali karena di sana tanah kelahiran saya, rumah saya, kebanggaan saya. Anak-anak saya sering menangis, mereka rindu untuk pulang ke desa kami,” tambahnya.
Mahad asal Somalia membantu pengungsi dari negaranya untuk berkomunikasi dengan dokter Andrew.
Selain membantu kerja tim medis, ada juga relawan yang membantu menjaga anak-anak para pengungsi selama menjalani tindakan dokter.
Menemui Kendala Bahasa
Pengobatan gigi yang dijalani Efat dan ayahnya berlangsung lancar mengingat keduanya mengerti Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Ini berbeda dengan sebagian besar pengungsi lainnya. Karena beda bahasa inilah, dokter terkendala saat menanyakan keluhan atau memberikan saran. Sementara apoteker sedikit kesulitan saat menjelaskan tentang obat.
“Kalau kendala yang pasti bahasa, karena kami beda bahasa. Kalau untuk keluhannya bervariasi, bisa dari cabut, tambal, bersihkan karang. Pasien sangat antusias. Kami sangat senang. Saya harap semoga lebih sering dibuat kerja sama antara UNHCR dengan TIMA. Karena ada juga pasien yang langsung bertanya kapan ada baksos lagi,” ujar Dokter Andrew.
Untung saja kendala ini bisa teratasi dengan adanya beberapa pengungsi yang bisa berbahasa Inggris dan sudah bisa berbahasa Indonesia. Meski jumlahnya dirasa masih kurang, komunikasi dengan pengungsi pun dapat dijembatani. Para penerjemah ini mendamping pengungsi dari negaranya saat berada di kursi operasi dan mengambil obat. Misalnya saja Mahad (24) yang menerjemahkan bagi pengungsi dari negaranya, Somalia.
“Saya senang bisa membantu menerjemahkan. Saya mendampingi pengungsi dari negara saya dan berkomunikasi dengan relawan, juga dokter. Saya menerjemahkan dari bahasa Somalia ke bahasa Inggris. Saya bisa bahasa Inggris saat masih belajar di negara saya,” kata Mahad.
Para dokter
dan perawat mendapatkan banyak pengalaman dari baksos kali ini terutama yang
sebelumnya berkomunikasi hanya dengan bahasa Indonesia atau Inggris. Namun kali
ini menggunakan bantuan penerjemah.
Mahad sangat senang mendapatkan layanan pembersihan karang gigi.
Tak hanya menerjemahkan, Mahad juga menyempatkan untuk memeriksakan giginya. Ia pun mendapatkan layanan kesehatan berupa pembersihan karang gigi. Usai dokter membersihkan karang giginya, ia langsung bertanya di mana cermin berada. Ia berjalan ke arah cermin, memperhatikan giginya, dan langsung menyunggingkan senyumnya yang lebar.
“Demi tuhan saya sangat bahagia. Mereka (dokter, perawat, dan relawan) sangat mengerti masalah yang dialami pengungsi. Mereka sangat aktif, sangat cepat, sangat sempurna. Sangat bersih gigi saya, saya sangat senang,” ungkapnya.
Editor: Metta Wulandari
Artikel Terkait
Mengembalikan Senyum Pengungsi dengan Baksos Kesehatan Gigi
02 November 2017Menjawab Kebutuhan Para Pengungsi
03 November 2017Tak ada rasa ragu dan takut di wajah Ahmad (8) saat dokter dari tim medis Tzu Chi atau TIMA Indonesia hendak mencabut dua giginya. Ahmad yang bisa berbahasa Indonesia ini pun mengikuti instruksi dengan baik.