Mengenal Para Pemain My Dream yang Istimewa
Jurnalis : Erli Tan, Metta Wulandari, Fotografer : Anand Yahya, Arimami Suryo A, Basno (He Qi Barat 2)Para pemain dalam China Disabled People’s Art Troupe (CDPPAT) atau My Dream melambaikan tangan ke arah penonton. Mereka bahagia bisa menampilkan seni yang tak terbatas.
Setiap penonton pasti terpukau dengan penampilan China Disabled People’s Art Troupe (CDPPAT) yang membawakan sajian luar biasa pada DAAI Night akhir pekan lalu (20-21/7/19). Para penari maupun pemusik dalam My Dream itu benar-benar meninggalkan kesan yang sangat manis dan indah.
Bagaimana tidak, sebagian dari mereka tidak bisa mendengar namun bisa menyelaraskan gerakan dengan musik dan tempo yang cepat, tanpa cacat. Sebagian lagi tidak bisa melihat, tapi tangannya lincah memainkan alat musik, dan menyanyi dengan sangat merdu. Lagi-lagi tanpa kekurangan.
Tentu itu semua bukanlah capaian yang mudah. Tantangan dan halangan bisa jadi sudah bagaikan sahabat untuk mereka. Kuncinya adalah lebih banyak bersyukur dan tidak mudah menyerah.
Untuk tahu lebih dalam tentang kisah mereka, inilah sebagian kecil inspirasinya untuk Anda:
Liu Yidan: Mengantarkan Cinta Kasih dalam Keheningan Tanpa Suara
“Setiap saya berdiri di paling depan, saya merasa gugup. Tapi begitu ingat di belakang saya ada 19 orang teman (penari) bersama, saya menemukan kekuatan. Selama tarian ini berlangsung, setiap detik kami akan bersatu hati, senapas, karena kami adalah satu bagian. Saya sadar, tanpa mereka, saya tidak bisa menampilkan Bodhisatwa Seribu Tangan dengan baik,” kata Liu Yidan, pemimpin tarian Bodhisatwa Seribu Tangan generasi keempat.
Liu Yidan, penderita tunarungu sejak lahir, yang kini baru berusia 21 tahun ini tampil sebagai Bodhisatwa Guan Yin dengan penuh percaya diri.
Liu Yidan berasal dari Hu Bei, Tiongkok. Saat ini usianya baru menginjak 21 tahun dan ia sudah bergabung dalam China Disabled People’s Art Troupe (CDPPAT) sejak tahun 2013. Dalam lingkungannya, ia terbilang junior. Namun bakatnya menari tidak bisa diremehkan. Menderita tunarungu sejak lahir, sempat membuatnya terpuruk. Tapi dukungan dari keluarga yang sangat besar membuatnya bisa tegak berdiri hingga saat ini.
“Saya memiliki jalinan jodoh yang kuat dengan Bodhisatwa Seribu Tangan, karena saya berasal dari kota yang sama dengan generasi pertama pemimpin tarian ini, Tai Li Hua. Kami juga alumni dari sekolah yang sama, bisa dikatakan saya terus mengikuti langkah beliau hingga saat ini,” kisah pemeran Bodhisawa Guan Yin ini.
Liu Yidan bercerita bahwa perjalanan panjang ini dimulai sejak ia masih bersekolah SLB di Kota Yichang. Banyak ilmu, terutama dalam bidang tari yang ia pelajari. Tak hanya itu, dalam kelasnya juga terpajang foto tarian Bodhisatwa Seribu Tangan disertai kisah inspiratif dari Tai Li Hua. “Hanya saja waktu itu saya tidak pernah berpikir, sekian tahun kemudian, saya bisa begitu beruntung, terpilih menjadi pemimpin tari Bodhisatwa Seribu Tangan generasi keempat, sejak saat itu jalan hidup saya berubah,” ungkapnya.
Liu Yidan merupakan pemimpin tarian Bodhisatwa Seribu Tangan generasi keempat. Bukan hal yang mudah baginya untuk bisa terpilih sebagai pemimpin, namun berkat rasa syukur dan kegigihannya, ia bisa mencapai impian.
Bukan hal yang mudah untuk membawakan sajian utama dari CDPPAT. Pemimpin tarian Bodhisatwa Seribu Tangan mengemban tugas terpenting, “Tentu pada awalnya merasa tertekan dan sangat khawatir,” aku Liu Yidan. “Ketua tim Tai Li Hua juga sering mampir ke tempat latihan untuk mengajari saya. Pada setiap kesempatan, saya merasa tarian ini bukan hal yang bisa dipelajari dalam waktu singkat, perlu latihan keras dalam jangka waktu yang panjang,” lanjutnya. Tapi kembali lagi, keyakinan dan kerja keras membuat mereka berhasil mengatasi berbagai tantangan. Terlebih, makna yang sangat dalam tersirat dalam tarian tarian Bodhisatwa Seribu Tangan.
Tarian Bodhisatwa Seribu Tangan bercerita tentang Bodhisatwa Guan Yin, atau yang di Indonesia lebih dikenal dengan nama Dewi Kwan In. Dewi Kwan In diceritakan memiliki seribu tangan yang menandakan kemampuannya bisa membantu orang-orang yang membutuhkan. Setiap tangannya dilengkapi dengan mata yang membuatnya mampu melihat berbagai belahan dunia.
Liu Yidan yakin bahwa dirinya juga sama dengan orang lain, sama-sama memiliki cinta kasih. “Sehingga apabila ada cinta kasih dalam hati, hati akan mudah tersentuh, dengan begitu Anda akan memiliki seribu tangan dan mengulurkannya untuk orang lain, untuk membantu orang yang membutuhkan,” ujar Liu Yidan melalui bahasa isyarat tangan.
Walau tak jarang merasa gugup, tapi Liu Yidan selalu bisa mengatasinya karena tim yang kompak dan solid saling memberikan kekuatan satu sama lain.
Liu Yidan dapat memahami bahwa beban hidup yang dirasakan orang lain berbeda-beda. Namun cara yang dapat membuat hidup terasa lebih indah adalah bersyukur. “Mungkin sekarang tekanan kehidupan lebih besar, harus menghadapi banyak beban dan tekanan batin. Tuhan pernah menutup pintu hati saya, tapi membukanya sekali lagi untuk membuat saya dapat mencintai kehidupan dan membuat saya memiliki harapan yang sangat besar untuk ke depannya. Saya harap semoga semua orang dapat memiliki rasa syukur dan jangan terus bersedih agar bisa melihat dunia yang lebih indah. Semoga dunia juga dapat menjadi lebih indah,” tambahnya.
Tak ketinggalan ia mengungkapkan rasa bahagianya bisa kembali berkunjung ke Indonesia dan bisa tampil di tiga kota: Jakarta, Medan, dan Surabaya. “Semoga melalui pertunjukan kami, para penonton bisa memasuki dunia kami yang tidak sempurna namun sangat indah,” harapnya.
Zhu Li: Mimpi Melestarikan Budaya Seni Tiongkok
Erhu merupakan alat musik tradisional Tiongkok yang populer selain Guzheng. Erhu adalah alat musik gesek bertali senar dua yang mengeluarkan suara berkesan sendu oriental. Salah satu pemain My Dream dari China Disabled People’s Performing Art Troupe (CDPPAT) yang keahliannya memainkan Erhu adalah Zhu Li.
Lahir di Shanghai, China tahun 1987, Zhu Li menderita katarak bawaan dari ibunya sehingga membuatnya menjadi penyandang tunanetra. Di masa kecilnya ia pernah merasakan masa sulit bersama keluarga sampai ia juga harus berjualan koran untuk menghidupi sekeluarga.
Pertama kali ia mengenal Erhu yaitu saat pelajaran musik di sekolah. Awalnya ia tidak menyukai Erhu karena merasa suara alat musik itu berisik dan tidak bagus. Hingga suatu saat ia mendengar indahnya permainan musik dari komposer dan pemain Erhu terkenal China, Ma Xiaohui, barulah ia tertarik dan mulai serius mendalami permainan Erhu.
Erhu pertamanya ia dapat dari ibunya
sebagai hadiah ulang tahunnya. Sejak memiliki Erhu sendiri, ia pun mulai tampil bersama kelompok musik di
sekolahnya. Hingga akhirnya pada tahun 2006, Zhu Li mulai bergabung menjadi
bagian dari My Dream di CDPPAT.
Zhu Li (depan - kiri) bersama timnya memainkan erhu dengan piawai. Ia menderita katarak bawaan dari ibunya sehingga membuatnya menjadi penyandang tunanetra.
Kini, setelah 13 tahun bergabung di My Dream, Zhu Li sudah berkeliling dan tampil di 70 lebih negara. “Jumlah performance mungkin sudah hitungan ribu, karena tiap bulan itu minimal tampil sepuluh kali,” tutur Zhu Li. Bisa hadir dan tampil di berbagai negara adalah kebanggaan dirinya, karena melalui perbedaan, ia menemukan kebahagiaan. Misalnya saat tampil di Senegal, ia mendapatkan kesan yang mendalam.
“Di sana semuanya orang kulit hitam, budaya dan bahasa sama sekali berbeda dengan kami. Tapi sambutan mereka luar biasa, sangat antusias. Saat tampil, kami mendapat tepuk tangan yang sangat meriah. Di panggung, kami dapat merasakan kegembiraan mereka. Bagi kami sebagai pemain, ini adalah sebuah pencapaian terbesar,” ucapnya gembira.
Awal bergabung di CDPPAT, Zhu Li hanya memainkan Erhu, namun suatu saat bakat menyanyinya mendapat apresiasi dari banyak orang. Sejak itu selain Erhu ia juga membawakan nyanyian. “Tapi yang paling saya suka tentu memainkan Erhu, karena melalui Erhu saya dapat memperkenalkan budaya seni asli Tiongkok. Karena saya pikir, kami memiliki kesempatan keliling ke berbagai negara di dunia, sehingga sudah sepantasnya kami memperkenalkan lagu-lagu dan alat musik asli kami,” tukasnya. Selain itu, ia juga senang karena dapat saling bertukar seni budaya yang berbeda dengan berbagai suku bangsa yang ia temui di berbagai negara.
Awal bergabung di CDPPAT, Zhu Li hanya memainkan Erhu, namun suatu saat bakat menyanyinya mendapat apresiasi dari banyak orang. Sejak itu selain Erhu ia juga membawakan nyanyian.
Meski tidak dapat melihat, ia selalu tampil maksimal. Dan baginya, tampil di panggung adalah bagian dari berbagi dengan pendengar. “Saya tidak dapat melihat mereka dengan jelas, pria atau wanita, tua atau muda, penontonnya banyak atau sedikit. Tapi saat mendengar tepuk tangan mereka, saya dapat merasakan bahwa saya dan mereka adalah satu kesatuan. Artinya mereka dapat menikmati musik yang saya bawakan, mereka juga dapat memahami ungkapan saya. Walau berbeda bahasa dan budaya, tapi melalui seni musik ini maka tidak ada pembatas yang memisahkan kami,” ungkapnya.
Pada penampilan My Dream kali ini, Zhu Li memainkan Erhu lagu Aiyo Mama, menyanyikan lagu DAAI Mencerahkan Dunia dan We Are The World. Melalui penampilannya, ada pesan yang ingin disampaikan Zhu Li, “Walaupun sebutan kami adalah China Disabled People’s Performing Art Troupe, namun karya-karya seni kami tidaklah memiliki cacat. Kami menggunakan musik yang paling sempurna dan indah untuk membawa pesan ke penonton bahwa Anda harus yakin tidak ada kecacatan yang dapat menghalangi kehidupan Anda ataupun merintangi Anda untuk merasakan kebahagiaan.”
Editor: Hadi Pranoto
Artikel Terkait
My Dream, Tontonan Wajib Akhir Pekan Ini
18 Juli 2019Anda yang belum pernah berkesempatan menonton pertunjukan kelas dunia dari China Disabled People's Performing Art Troupe (CDPPAT) atau yang dikenal dengan My Dream, inilah saatnya. DAAI TV Indonesia di ulang tahunnya yang ke-12, kembali mengundang My Dream, di mana mereka akan tampil di tiga kota, yakni Jakarta, Surabaya, dan Medan.
My Dream: Gema Musik dan Tarian Kebangkitan
02 Agustus 2017My Dream di Surabaya: Teladan dan Inspirasi yang Berharga
15 Agustus 2019Kedatangan My Dream untuk yang kedua kalinya di Kota Surabaya di penghujung Juli 2019 lalu masih menyisahkan cerita manis. Panasnya kota Surabaya siang itu tidak melelehkan semangat para relawan untuk menyambut kedatangan tim My Dream dari Jakarta, Rabu, 24 Juli 2019 ini. Vivian Fan, Ketua Tzu Chi Surabaya beserta beberapa relawan lainnya pun menanti kedatangan tim My Dream di bandara internasional Juanda.