Mengenal Warga Bantar Gebang
Jurnalis : Apriyanto, Fotografer : Apriyanto Murid-murid Sekolah Dasar Yayasan Dinamika Indonesia sangat antusias mempelajari seni melipat kertas. Selain mengajarkan seni lipat kertas, relawan Tzu Chi juga berpesan kepada mereka agar selalu menjaga kebersihan lingkungan sekitar. |
| ||
Ayu yang tinggal tak seberapa jauh dari lokasi sekolah memiliki harapan menjadi orang sukses jikalau dewasa nanti. Ayahnya yang bernama Saman setiap hari bekerja sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Sejak pukul 5 pagi Saman sudah pergi mengais rezeki di antara sampah yang menggunung. Bila rezeki sedang berpihak padanya, dalam satu minggu Saman bisa memperoleh penghasilan lebih dari Rp 100.000. Tidak hanya kaleng dan plastik daur ulang saja yang Saman ambil, terkadang bila mendapatkan mainan ia membawanya pulang untuk diberikan kepada putri bungsunya, Ayu. Momen inilah yang sering ditunggu-tunggu Ayu – sebuah mainan dari kerja keras ayahnya selama seharian. “Bapak biasa pulang bawa botol, plastik, kaleng. Tapi kadang suka bawa mainan, saya paling suka kalau bapak bawa mainan,” kata Ayu. Saman yang berasal dari Cilincing, Jakarta Utara ini sebelumnya pernah bekerja sebagai buruh pabrik sabun di kawasan industri Cilincing. Namun setelah ia menikah dengan Umayah dan berhenti sebagai karyawan kontrak, salah seorang temannya mengajak Saman untuk mengais rezeki di Bantar Gebang sebagai pengumpul sampah daur ulang. Maka sejak saat itulah, Saman pindah ke Bantar Gebang dan selalu mengawali harinya dengan kerja keras. Tak terasa, ternyata sudah lebih dari 17 tahun Saman tinggal di TPST Bantargebang dan profesi ini pun telah diikuti oleh putra sulungnya Leman. Maka tak berlebihan jika Ayu ingin tetap bersekolah dan akhirnya sukses agar ia tak mengikuti jejak ayahnya yang bekerja penuh kerja keras dan persaingan.
Keterangan :
Pengobatan Umum untuk Murid
Keterangan :
Tidak hanya para murid yang merasakan kebahagiaan. Warsih salah satu orang tua murid yang menjemput putrinya juga merasakan perasaan yang sama. Betapa tidak, Muhamad Saputra, putra bungsunya yang baru berusia 2 tahun yang sedang mengidap batuk dan pilek turut mendapatkan pengobatan hari itu. Ketidaksanggupan Warsih membiayai pengobatan Muhammad Saputra adalah gambaran perjalanan hidupnya yang berada dalam kondisi sulit. Karena keterbatasan kemampuan dan pendidikan, Samin sang suami yang penduduk asli Bantar Gebang hanya mampu bekerja sebagai seorang pengumpul sampah daur ulang. Sementara Warsih bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh 2 orang anak. Maka setelah putra bungsunya mendapatkan pengobatan perasaan Warsih pun menjadi lega. Menurut Warsih, bantuan pengobatan yang sering diadakan di TPST Bantar Gebang kebanyakan berasal dari berbagai instansi, salah satunya adalah Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Karena itu kunjungan dan bakti sosial kesehatan hari itu sesungguhnya bukan sekadar menunjukkan kepedulian, tetapi juga menghibur, dan lebih dalam lagi adalah mengenal kehidupan warga di sekitar TPST Bantargebang. ”Dengan mengenal kondisi sebenarnya kita jadi lebih tahu keadaan mereka dan kita mulai membantu mereka dengan turut mengajar membaca bagi murid-murid,” jelas Theresia, relawan Tzu Chi dari Bekasi. | |||