Menghadapi Kenyataan

Jurnalis : Amelia Devina (He Qi Utara), Fotografer : Adenan (He Qi Utara)
 
foto

Selama 12 tahun aktif di Tzu Chi dan sebagian besar dihabiskan dengan menjadi pendamping di RSCM membuat Acun sering bertemu dengan kejadian yang membuatnya memahami makna hidup.

Seperti biasa, setiap Kamis pukul 19.00-21.00, diadakan bedah buku bersama (du shu hui) He Qi Utara di Jing-Si Books & Café, Pluit, Jakarta Utara. Acara yang dikoordinir oleh Posan Shixiong ini memang banyak peminatnya. Tidak heran, setiap kali diadakan, selalu saja ada inspirasi dan pelajaran yang bisa dibawa pulang oleh para peserta. Semuanya berlandaskan ajaran Dharma Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi.

Kamis itu, 16 Juli 2009, terasa begitu spesial! Baru saja membuka pintu Jing-Si Books & Cafe, kami langsung disambut hangat oleh sang pembicara malam itu, Acun Shixiong. Acun memang sudah dikenal sebagai relawan Tzu Chi yang sangat berdedikasi dan banyak sekali menanam berkah di ladang kebajikan. Kali itu, topik yang ia bawakan adalah “Face the Truth” atau “Menghadapi Kenyataan”. Kenyataan itu, tidak lain adalah kematian atau penderitaan. Setelah bergelut sebagai relawan Tzu Chi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) selama 12 tahun, telah banyak sekali ia jumpai segala macam bentuk penderitaan. Tidak sedikit yang berujung pada ketidakkekalan hidup manusia.

Ketabahan Bocah Kecil
Untuk memulai sharingnya, Acun memutar kisah dua pasien yang pernah dirawatnya: Asep dan Ani. Asep adalah seorang bocah laki-laki yang mengalami penyakit kelainan usus sehingga dari lubang di tengah perutnya terus keluar cairan kotoran yang berasal dari dalam tubuh, sampai-sampai untuk menampung cairan tersebut, diikatkan pula sebuah kantung plastik. Namun, menghadapi segala kesulitan itu, Asep dan sang ayah begitu tabah. Bahkan pada usianya yang masih begitu dini, Asep telah dioperasi sebanyak 7 kali!

foto  foto

Ket : - Kelainan pada usus Asep menimbulkan sebuah lubang di salah satu bagian perut. Dari lubang tersebut
            keluar kotoran sehingga terpaksa ditampung dengan kantong plastik. (kiri)
         - Ketabahan Asep menghadapi kanker pada ususnya terbayar tuntas karena kini ia telah sembuh dan bahkan
            telah bisa menikmati bangku sekolah. (kanan)

Sama seperti Asep, Ani juga telah mengalami begitu banyak cobaan sejak ia masih kecil. Karena berasal dari Singkawang, Kalimantan Barat, Ani perlu datang ke Jakarta untuk menjalani proses operasi. Sebelah kaki Ani mengalami pembengkakan dan pembusukan sehingga bagian dari kaki tersebut berlubang dan dipenuhi oleh belatung. Bau busuk menyengat keluar dari lubang tersebut. Acun begitu terinspirasi melihat seorang gadis kecil seperti Ani begitu tabah saat kakinya sedang dibersihkan oleh perawat. Bahkan, Ani meminta pada Acun untuk membelikannya sebuah gameboy.

Melewati segala proses penyembuhan di Jakarta, Ani menghadapinya dengan begitu tabah. Bahkan, ia segan untuk menangis. Saat ditanya oleh Acun mengapa Ani tidak menangis, ia menjawab, “Untuk apa menangis? Sesudah saya menangis toh masalah yang sama tetap juga harus saya hadapi.” Sebuah jawaban yang sangat bijaksana!

Seusai operasi, Ani pun diperkenankan untuk kembali pulang ke kampung halamannya di Singkawang. Ketika melihat adik-adiknya, Ani menangis sejadi-jadinya karena rasa sayang dan rindu yang tertahan. Ia begitu sayang dan perhatian kepada adik-adiknya. Namun, takdir mempunyai jalannya sendiri. Seorang Ani yang telah begitu memberikan inspirasi telah pergi untuk selamanya seminggu setelah ia pulang ke Singkawang.

Bagi Acun, sosok tegar Asep dan senyum penuh ketabahan milik Ani akan selalu menjadi kenangan yang terindah. Mereka berdua telah begitu menginspirasi dan memotivasi Acun untuk setia dalam semangat pelayanannya.

foto  foto

Ket : - Walaupun masih kecil, bukan berarti Ani cengeng dan gampang menangis. Bahkan ketika ia menghadapi
           tumor ganas di kakinya, ia tidak pernah menangis. Ketabahan ini yang membuat relawan sangat
           menyayanginya. (kiri)
         - Relawan Tzu Chi mengajak Ani sejenak menghibur diri ke tempat wisata di sela-sela proses
           pengobatannya. Namun kanker ganas di tubuhnya ternyata lebih kuat sehingga nyawanya tak tertolong.
           (kanan)

Dua orang anak kecil telah begitu tabah dalam menghadapi kenyataan. Bagaimana dengan kita? Saat peserta bedah buku ditanya, jawaban yang didapat hampir seragam. Ada yang menjawab, “Pasti sedih”, “Menangis”, “Kecewa”, bahkan “Stres”. Tentu saja, itu semua adalah jawaban-jawaban yang sangat lumrah. Dengan bercermin pada kisah hidup Asep dan Ani, kita semua telah belajar bagaimana menghadapi kenyataan pahit dengan tegas dan tegar; tidak cengeng dan terus maju tanpa peduli rasa sakit.

Kami Tersentuh!
Acun juga berbagai sebuah kisah yang baginya selalu “mujarab” untuk ia bagikan kepada para pasien dan keluarganya. Kisah tersebut berjudul Sebutir Biji Lada yang terdapat di dalam buku Lingkaran Keindahan. “Kisah tersebut mengajarkan kepada kita bahwa kita tidak punya kendali atas panjang hidup kita. Sementara hidup masih ada, hargailah hidup. Ketika kita tidak mampu lagi mempertahankan hidup, lepaskanlah, karena itu adalah jalan alami kehidupan. Oleh karena itu, kita mesti saling menyayangi dan menghargai waktu kita bersama-sama. Kita mesti mengasihi semua makhluk hidup dalam upaya menuju ke sebuah kehidupan manusia yang berbahagia.” (Lingkaran Keindahan, hlm. 192)

Menurut Acun, sampai Juli 2009 saja sudah ada 500 pasien yang dibantu oleh Tzu Chi untuk dirawat di RSCM. Padahal, relawan yang bertugas di rumah sakit tersebut hanya ada 3 orang. Dalam kesempatan itu, Acun juga mengundang para peserta bedah buku untuk terpanggil ikut menjadi relawan di RSCM. Dengan begitu banyaknya pasien dan kurangnya relawan, tentu perhatian dan dukungan kemanusiaan yang menjadi ciri khas bantuan Tzu Chi menjadi sesuatu yang sangat didambakan oleh para pasien. Melihat Acun yang telah bertugas di RSCM selama 12 tahun, muncul rasa kagum dan haru kepadanya. Tidak heran, sinar kebijaksanaan dan welas asih muncul dari raut wajahnya. Setiap kata yang terucap menyiratkan kerendahan hati dan pengertian akan rasa syukur terhadap kehidupan manusia.

Malam itu, Acun memang hanya satu jam menemani kami. Karena tempat tinggalnya yang sangat jauh dari Pluit –di Tangerang, Acun harus meninggalkan Jing-Si lebih awal. Walaupun demikian, seusai rekaman yang diputar dan sharing yang didengar, mata kami semua baik laki-laki maupun perempuan, berkaca-kaca. Terharu. Ya, batin kami tentunya telah sama-sama tersentuh! Kami telah belajar sesuatu!

 

Artikel Terkait

Gempa Palu: Mengapa Harus Datang Langsung ke Palu?

Gempa Palu: Mengapa Harus Datang Langsung ke Palu?

25 Oktober 2018
Para relawan Tzu Chi ini punya alasan kuat mengapa mereka merasa harus datang langsung ke Palu, Sulawesi Tengah untuk membantu para korban gempa. Apa saja yang mereka rasakan selama di sana? Simak kisah-kisah mereka berikut ini. 
Pendidikan yang Menciptakan Keindahan

Pendidikan yang Menciptakan Keindahan

16 Mei 2011
Master Cheng Yen mengatakan bahwa tujuan pendidikan di Tzu Chi adalah menciptakan masyarakat yang harmonis. Keharmonisan datang dari tata krama yang baik. Selain menanamkan tata krama yang baik, kita juga harus mengembangkan kebijaksanaan mereka.
Kasih Seorang Ibu

Kasih Seorang Ibu

10 Januari 2017
Pada gathering pembagian bantuan pada awal tahun 2017, relawan Tzu Chi menggunakan kesempatan ini untuk mengingatkan para Gan En Hu atas hal yang tidak dapat ditunda dalam kehidupan ini—bakti terhadap orang tua. Kegiatan diadakan pada tanggal 8 Januari 2017.
Dengan kasih sayang kita menghibur batin manusia yang terluka, dengan kasih sayang pula kita memulihkan luka yang dialami bumi.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -