Menghormati Langit, Menyayangi Bumi

Jurnalis : Sutar Soemithra, Fotografer : Sutar Soemithra
 

fotoHari memasukkan uang pecahan ribuan ke kotak dana yang dipegang oleh relawan untuk didanakan bagi korban topan Morakot dan gempa Tasikmalaya. Bulan tujuh Imlek seharusnya dimaknai sebagai bulan memupuk berkah, bukan bulan hantu.

 

 

 

“Di masyarakat Tionghoa, bulan tujuh (Imlek) adalah bulan yang istimewa. Karena kurang tahu, bulan tujuh penuh dengan cerita, dianggap sebagai bulan penuh hantu,” cetus Chia Wen Yu, pembawa acara upacara doa Bulan Tujuh Penuh Berkah di Ruang Serbaguna Rumah Sakit Khusus Bedah (RSKB) Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat, tanggal 6 September 2009.

 

 

 

 

Bukan Bulan Hantu
Walaupun zaman telah berkembang, namun upacara ritual ulambana masih banyak yang dilakukan dengan tradisi seperti zaman dulu. Di kelenteng-kelenteng dan juga beberapa wihara, masyarakat Tionghoa masih berbondong-bondong mengikuti upacara tersebut. Upacara tersebut dilengkapi dengan alat-alat sembahyang berupa imitasi harta benda (misal rumah, mobil, pesawat, atau perahu) dan kertas sembahyang untuk dibakar sebagai simbol untuk dipergunakan arwah leluhur di alam baka. Masih banyak juga yang membuat sesajen berupa daging, yang biasa disebut sebagai samseng.

Upacara ulambana jatuh pada bulan tujuh kalender Imlek yang berdasarkan kalender lunar. Pada masa ini secara tradisional dipercaya pintu neraka dibuka sehingga makhluk-makhluk neraka dan setan kelaparan berkeliaran di alam manusia. Karena itu banyak orang yang membuat sesajen untuk persembahan kepada mereka. Kepercayaan seperti ini masih berkembang hingga kini walaupun orang Tionghoa generasi sekarang, terutama yang masih muda, sudah perlahan melupakannya.

 “Untuk kepercayaan seperti itu di keluarga (kami) masih sangat penting, soalnya itu kan tradisi. Tapi di keluarga kami, samseng sudah tidak ada. Kita semua pakai buah atau pakai kue,” aku Ongreni Wangsa yang tinggal di Tangerang. Namun ia menambahkan, “Saya sudah tidak bakar ini-itu (kertas sembahyang atau miniatur benda-benda ritual ulambana –red).” Masyarakat Tionghoa di Tangerang selama ini memang dikenal masih kuat memegang tradisi. Sebagai pengurus sebuah wihara, ia tidak memungkiri umat Buddha di wihara tempatnya aktif masih banyak yang kuat memegang tradisi tersebut, bahkan masih ada yang mempersembahkan samseng. Kadang ia prihatin melihat keadaan itu. “Sejak hari ini saya akan bener-bener berusaha semaksimal saya supaya bagaimana sih caranya membuka mereka punya pola pikir,” tekad Ongreni setelah menonton video penjelasan Master Cheng Yen tentang makna sebenarnya ulambana dalam doa bersama Bulan Tujuh Penuh Berkah.

 

foto  foto

Ket :- Persembahan kepada para Buddha diwakili oleh para relawan komite dalam acara doa bersama Bulan             Tujuh Penuh Berkah. (kiri)
         - Doa untuk para korban topan Morakot dan gempa Tasikmalaya terus dipanjatkan relawan Tzu Chi, selain             dengan memberikan bantuan langsung kepada korban yang kehilangan rumah dan harta benda.  (kanan)

Dalam video tersebut, Master Cheng Yen menjelaskan bahwa ulambana (pu du) berasal dari kata “pu” (melingkupi semua ruang di alam semesta) dan “du” (menyelamatkan makhluk menderita). Makhluk-makhluk alam neraka dan setan, dulu ketika masih hidup di alam manusia, mereka telah menciptakan banyak karma buruk sehingga terlahir di kedua alam menderita tersebut. Membuat sesajen bagi mereka dengan membunuh makhluk hidup justru akan menambah karma buruk mereka. “Pembebasan yang dapat kita lakukan adalah melindungi mereka agar tidak dilukai, menjaga agar lingkungan mereka tidak dirusak, berusaha agar mereka dapat hidup dengan aman dalam kehidupan mereka yang sekarang,” tutur beliau.

Menurut Master Cheng Yen, bulan tujuh adalah bulan penuh berkah, hendaknya kita dapat melenyapkan kepercayaan membuta dan meningkatkan keyakinan setiap orang sehingga mengerti untuk menghormati langit dan menyayangi bumi. “Setiap orang harus menciptakan berkah dan mengembangkan cinta kasih di masyarakat. Ini barulah makna ulambana yang sesungguhnya,” jelas Master Cheng Yen. Apa yang bisa kita lakukan? Master Cheng Yen menghimbau kita menjadikan bulan tujuh sebagai bulan penuh berkah, bulan berbakti kepada orangtua, dan bulan bervegetarian.

Master Cheng Yen menjelaskan, “Kita manusia mempunyai 5 penyakit parah: keserakahan, kebencian, kebodohan, kesombongan, dan keraguan. Pandangan dan pola pikir keliru ini mengacaukan hati kita.” Namun kita justru meminta perlindungan dewa dan arwah, bukannya malah melihat ke dalam diri. “Maka boleh dikatakan bahwa kita sendirilah yang membuka gerbang neraka batin kita. Gerbang neraka bukan dibuka pada bulan ketujuh, kita yang membukanya setiap hari, karena yang masuk ke dalam hati kita adalah hal-hal negatif, sehingga kita dibelenggu oleh 5 setan tersebut,” tandas beliau.

Vegetarian untuk Diri Sendiri dan Semua Makhluk
“Aku memang sudah menjalankan vegetarian untuk bulan tujuh ini. Di bulan tujuh ini saya memang berkeinginan mengurangi makan daging, kalo bisa nggak makan daging. Setiap ada kesempatan, saya selalu berusaha untuk bervegetarian,” kata Ongreni usai mendengarkan penjelasan tentang vegetarian yang dibawakan oleh drs Susianto, koordinator International Vegetarian Union (IVU) Indonesia yang ikut mengisi acara pagi itu.

 

foto  foto

Ket : -“Jadi seorang vegetarian adalah seorang yang sangat mulia. Kenapa? Karena bukan hanya baik untuk diri             kita, namun juga baik untuk makhluk lain dan baik untuk dunia,” simpul drs Susianto ketika menjelaskan             tentang vegetarian. (kiri)
         - Masih kecil, 9 tahun, tapi Cinthya tidak takut untuk mencoba menjadi vegetarian. Bahkan ia berkeinginan             untuk menjadi vegetarian seumur hidup. Tekad yang dituliskannya di lembar pohon Bodhi digantungkan             bersama tekad para peserta yang lain. (kanan)

Susianto membeberkan nilai lebih vegetarian menggunakan data-data ilmiah dalam hal nilai gizi dan perannya dalam mengurangi dampak pemanasan global. Menurut data yang ia peroleh, efektivitas penggunaan lahan untuk peternakan dibanding untuk perkebunan adalah 1 banding 120. “Artinya apa? Kalau kita makan daging, kita sangat merusak lingkungan, (kita) tidak mampu 120 kali untuk memberikan makan manusia,” jelasnya mantap. Ia menambahkan, untuk menghasilkan 1 kg daging sapi diperlukan 16 kg biji-bijian. “Artinya apa? Kalau kita makan satu porsi daging, kita menghabiskan makanan 16 orang yang lain. Boros banget!” tandasnya lagi.

Susianto juga memutar sebuah video yang menggambarkan betapa kejinya perlakuan manusia terhadap hewan-hewan ternak. Sejak lahir hingga akhirnya masuk ke pejagalan, hewan-hewan tersebut terus-menerus tersiksa. Ia membuat sebuah hipotesa, jika makin banyak orang yang menjalankan pola makan vegetarian, maka makin sedikit angka permintaan daging sehingga makin sedikit pula peternakan, yang berarti makin sedikit hewan yang tersiksa dan sebaliknya makin banyak sumber daya yang bisa dialokasikan untuk kebutuhan pangan manusia. Hewan-hewan ternak ternyata menghabiskan stok makanan dan air dalam jumlah berlipat jauh lebih banyak dibanding yang dipergunakan manusia. Padahal stok makanan dan air tersebut seharusnya untuk manusia. Maka, tidak mengherankan jika banyak terjadi kelaparan di berbagai tempat.

Selain itu, Susianto juga menuturkan, orang yang menjadi penjagal hewan ternak tersebut seolah seperti mati rasa ketika melakukan aksinya. Karena membunuh hewan adalah perbuatan yang biasa bagi mereka, bukan tidak mungkin kekerasan pun akrab bagi mereka. Itu yang menyebabkan Chintya (9) bertekad untuk menjadi vegetarian. “Supaya dunia nggak ada pembunuhan lagi,” tekad Chintya mantap. Ia pernah vegetarian waktu duduk di bangku TK hingga kelas 1 SD. Kini ia bertekad vegetarian kembali, bahkan, “(Inginnya) seumur hidup.” Ia menuliskan tekadnya tersebut pada sebuah kertas berbentuk daun Bodhi yang dibagikan kepada peserta doa bersama yang hari itu berjumlah sekitar 500 orang. Setelah diisi dengan tekad masing-masing dalam bervegetarian, ada yang 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, bahkan seumur hidup, “daun-daun” tersebut digantung di pohon mini bersama-sama. Mereka melengkapi mengumpulkan berkah hari itu dengan berdana bagi korban topan Morakot (Taiwan) dan gempa di Tasikmalaya dan sekitar (Jawa Barat).

“Jadi seorang vegetarian adalah seorang yang sangat mulia. Kenapa? Karena bukan hanya baik untuk diri kita, namun juga baik untuk makhluk lain dan baik untuk dunia,” simpul Susianto yang disambut tepuk tangan membahana.

 
 

Artikel Terkait

Relawan Tzu Chi Pekanbaru Ramaikan Earth Ethical Eating Day

Relawan Tzu Chi Pekanbaru Ramaikan Earth Ethical Eating Day

09 Januari 2017
Jelang Earth Ethical Eating Day, para Relawan Tzu Chi Pekanbaru sudah bergerak untuk meramaikannya. Relawan melakukan sosialisasi kepada warga saat Car Free Day di sepanjang Jalan Diponegoro, Pekanbaru dengan membawa berbagai atribut. Relawan juga membuat ajakan untuk ikut serta dalam Earth Ethical Eating Day yang diunggah ke media sosial.
Edukasi Pelestarian Lingkungan Melalui Gathering Gan En Hu

Edukasi Pelestarian Lingkungan Melalui Gathering Gan En Hu

16 Januari 2024

Semangat dan sukacita dirasakan para Gan En Hu (penerima bantuan Tzu Chi) yang berkumpul bersama di Depo Pendidikan Pelestarian Lingkungan Soak, Kota Palembang, Sumatera Selatan. 

Hangatnya Kumpul Keluarga di Acara Pemberkahan Akhir Tahun

Hangatnya Kumpul Keluarga di Acara Pemberkahan Akhir Tahun

27 Januari 2020

Penerima bantuan Tzu Chi sudah merupakan bagian keluarga dari Yayasan Buddha Tzu Chi, untuk itu setiap tahun Tzu Chi Medan selalu mengundang para penerima bantuan untuk pulang dan mengikuti  acara Pemberkahan Akhir Tahun Tzu Chi menjelang tahun baru Imlek.

Giat menanam kebajikan akan menghapus malapetaka. Menyucikan hati sendiri akan mendatangkan keselamatan dan kesejahteraan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -