Menimba Ilmu dari Tzu Chi
Jurnalis : Himawan Susanto, Sutar Soemithra, Veronika Usha, Fotografer : Himawan Susanto, Sutar Soemithra, Veronika Usha * Selama 4 hari penuh, peserta yang berasal dari berbagai kota ini mengikuti pelatihan untuk lebih mengenal Tzu Chi. Nantinya bibit cinta kasih ini akan mereka bawa pulang ke tempat asal mereka. | Menjelang malam, aula Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat bergetar. Isak tangis dan haru akan kenangan yang terkuak dalam cerita, perlahan meluluhkan jiwa, menggetarkan raga, dan mengisyaratkan banyak makna bagi 47 peserta Pati Camp. |
“Saya sangat tersentuh sekali menyaksikan tayangan tadi,” tutur Runthi terbata usai menonton video drama Sutra Bakti Seorang Anak, mencoba sekuat tenaga mengatur suara dan kalimatnya. Ingatan Runthi kembali pada masa lalu. Seperti rol-rol film tua yang mulai terputar, bayangan akan perjuangan sang bunda untuk menghidupi keluarga, membuat Runthi sekuat tenaga menahan air mata, agar tidak terjatuh dari pelupuk matanya. “Ayah meninggalkan kami tanpa memberi kabar. Setiap hari, ibu harus bangun jam tiga pagi untuk berjualan agar bisa terus membesarkan dan menyekolahkan kami,” isak Runthi. Ketika itu, menyadari beratnya beban yang harus dipikul sang ibu, Runthi mengutarakan keinginannya untuk merantau setelah menyelesaikan SMP. Tapi sayang, sang ibu tidak mengizinkannya. “Namun setelah saya menikah, akhirnya saya memutuskan bekerja di Thailand untuk membantu perekonomian keluarga. Yang saya cari hanya uang, saya selalu memandang kepada yang lebih tinggi, saya harus bisa seperti orang-orang yang punya ini dan itu,” jelasnya. Runthi mulai tidak merasa bersyukur. Tapi drama Sutra Bakti Seorang Anak telah merobohkan dinding-dinding keangkuhannya. Ia sadar bahwa selama ini ia tidak memperhatikan orangtuanya karena sibuk mencari materi. “Ibu adalah seorang pahlawan, tapi saya belum memperhatikan dia karena sibuk merantau. Mulai sekarang saya mau berubah, saya akan berbakti pada orangtua. Saya tidak hanya mengejar materi,” janji Runthi di depan para peserta pelatihan. Seperti dikatakan Yasin, pembawa acara, sesi berbakti pada orangtua dengan menu utama menonton video drama Sutra Bakti Seorang Anak yang diadakan pada hari kedua pelatihan adalah hadiah terbesar yang diterima oleh para peserta. Melalui sesi ini, para peserta disadarkan akan pengorbanan yang telah dilakukan oleh orangtua dalam membesarkan dan mendidik mereka. Sehingga ketika para peserta pelatihan pulang ke rumah masing-masing nanti dan memperlihatkan rasa berbakti kepada orangtua, juga akan menjadi hadiah terindah bagi orangtua mereka. Ket : - Walau letih masih mendera karena tiba terlambat 7 jam dari jadwal, para peserta Intensif Training ini tetap Belajar Budaya Tzu Chi Pada hari pertama pelatihan, peserta memperoleh penjelasan tentang profil Tzu Chi dan budaya humanis yang dikembangkan oleh Tzu Chi pada awal pelatihan. “Saya rasa buat teman-teman (peserta pelatihan –red) yang berasal dari desa lebih mengerti daripada kami yang di kota. Kembangkan terus gotong royong, pupuk terus,” harap Agus Hartono pada peserta pelatihan setelah menjelaskan tentang budaya humanis. Usai belajar tentang budaya humanis, peserta pelatihan kemudian belajar tentang salah satu bentuk konkret budaya tersebut, yaitu tata krama Tzu Chi. Anggota Tzu Ching yang belum lama diangkat menjadi relawan biru putih, Rita Lestari, menjelaskannya dengan gaya yang komunikatif. Tata krama tersebut berkaitan dengan penampilan dan posisi badan dalam berdiri, duduk, berjalan, dan berbaring. Salah satunya ia menjelaskan tentang posisi badan ketika duduk, yaitu tegak. “Tujuannya bukan demi Tzu Chi tapi buat diri sendiri. Kalau duduk tegak tulang menjadi tegak,” urai Rita. Lalu Rita menanyakan sebuah pertanyaan yang membuat para peserta bingung, “Waktu baru sampai di sini, apakah relawan memberikan krim Tzu Chi?” Semua peserta terdiam. Ketika ia menjelaskan bahwa krim tersebut yang membuat wajah menjadi cerah dan enak dilihat, mereka mulai menyadari apa yang dimaksud Rita. Maka, ketika Rita menanyakan kembali apakah krim yang dimaksud, seluruh peserta menjawab kompak, “Senyum!” “Dari semua (tata krama) yang sudah dikasih, yang paling penting ini (senyum –red),” jelas Rita. Maka ia pun langsung mengajak peserta mengangkat tangannya dan menepuk bahu peserta di sampingnya sambil berkata, “Bagi senyumnya dong.” Semua peserta bukan hanya memberi senyum, malah lebih! Semua peserta tertawa senang. Selepas makan siang hingga sore menjelang, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok untuk melakukan survei calon penerima bantuan Tzu Chi dan melakukan kunjungan kasih ke penerima bantuan Tzu Chi. Masing-masing kelompok didampingi oleh relawan yang telah terbiasa melakukan survei. Acara penutup malam itu adalah diskusi bedah buku. Tapi kali ini bukan buku yang dibedah, melainkan Buletin Tzu Chi. “Saya ingin membedah Buletin Tzu Chi karena buletin dibagi ke semua orang tapi tidak semua orang baca,” ungkap Posan yang memimpin sesi bedah buku. Rubrik yang dibedah adalah Jejak Langkah Master Cheng Yen berjudul Bersumbangsih Menumbuhkan Sukacita. Peserta pelatihan yang mayoritas adalah aktivis berbagai vihara di Pati mengaitkannya dengan ajaran Buddha. “Setelah pulang (peserta pelatihan) lebih mau baca buletin,” harap Posan. Ket : - Selain belajar tentang pelestarian lingkungan dalam kelas, para peserta juga merasakan bagaimana Menggalakkan Daur Ulang Tidak hanya menjadi relawan, Parti juga sudah mulai menggalakkan kegiatan daur ulang di Vihara Metamanggala di desanya. “Setiap satu minggu sekali, muda-mudi Vihara Metamanggala melakukan kegiatan pemilahan sampah warga vihara. Karena masih dalam lingkup kecil dan belum memiliki depo, hasil pemilahan sampah tersebut kami jual, dan uangnya kami gunakan untuk kepentingan vihara,” jelas Parti. Baginya, banyak pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kegiatan Tzu Chi yang ia ikuti. “Di Tzu Chi, saya bisa belajar untuk menumbuhkan cinta kasih, menyayangi sesama, dan bahkan mencintai lingkungan. Dan ini belum pernah saya dapatkan dari yayasan manapun,” tutur Parti. Ket : - Oey Hoey Leng, relawan Tzu Chi yang mendampingi peserta sejak awal pelatihan, menerangkan tentang Oleh-oleh untuk Dibawa Pulang ke Pati ”Yang menarik dari Tzu Chi, (kita) tidak boleh membedakan satu dengan yang lain. Tidak boleh punya perasaan iri hati. (Kita) harus punya rasa keseimbangan. Bisa membantu dan tersenyum setiap kali bertemu siapa saja,” tutur Suratmi yang berminat mengikuti kamp karena berkeinginan memahami perbedaan kehidupan dan lingkungan antara di kota dan desa. Baginya, walau tinggal di desa dan penghasilannya pas-pasan, ia bertekad untuk mengumpulkan dana sedikit demi sedikit dan berbagi kepada mereka yang membutuhkan dengan tulus ikhlas. Dengan itu ia bisa mendapatkan “buah” yang baik. Hal lain yang ia petik dari kamp ini adalah bagaimana menjaga lingkungan agar tidak terjadi bencana alam dan musibah. ”Saat pulang nanti, kita akan berbagi oleh-oleh (pelajaran –red) dengan teman-teman di Pati. Ini bermanfaat bagi saya dan juga orang lain sehingga orang banyak hatinya akan tergugah. Dengan berdana kita bisa menghasilkan yang lebih bagus. Dari kamp ini kita juga harus bisa menjaga dengan sopan cara kita berbicara dan bertingkah laku,” ungkapnya. | |