Menjadi Mata Air yang Menjernihkan Hati Manusia
Jurnalis : Willy, Fotografer : WillyPara pemain Guzheng telah berlatih selama tiga bulan khusus untuk menampilkan permainan irama indah nan harmonis kepada para hadirin Malam Keakraban DAAI TV 2015 (14/3).
“Saya memang memegang mikrofon, tapi saya tidak akan menyanyi, jadi tenang saja,” ujar Jaya Suprana, Ketua Museum Rekor Dunia Indonesia yang disambut gelak tawa dari para hadirin dalam acara Malam Keakraban DAAI TV 2015. Guyonan-guyonan segar yang dilontarkan pria bertubuh tambun itu menjadi salah satu sesi yang mengisi acara Malam Keakraban DAAI TV. Acara ini digelar pada Sabtu, 14 Maret 2015 dan bertempat di International Conference Hall, Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.
Selain guyonan, Jaya yang dikenal luas dengan istilah Kelirumologi ciptaannya itu, juga mengungkapkan kekagumannya kepada sosok Master Cheng Yen. “Saya bukan Buddhis, tapi saya sangat kagum kepada Master Cheng Yen. Bagaimana seseorang yang nggak punya apa-apa tapi begitu dihormati oleh orang-orang yang punya segala-segalanya. Karena apa? Karena beliau mengajarkan kita makna kasih sayang,” ungkap Jaya Suprana. Kali ini ucapannya disambut dengan riuh, bukan tawa, melainkan tepuk tangan dari para hadirin.
Jaya Suprana dalam sambutannya menceritakan pengalamannya berkunjung ke Hualien dan bertemu Master Cheng Yen. Jaya yang kini telah menginjak umur 66 tahun ini mengaku sangat mengagumi sosok Master Cheng Yen.
Menjalin Silaturahmi
Sedikitnya 500 hadirin yang terdiri dari donatur dan pemirsa DAAI TV mengikuti acara ini. Memang, menurut Linawaty, koordinator acara, Malam Keakraban DAAI TV ini ditujukan untuk menjalin silaturahmi para donatur, dan pemirsa DAAI TV.
Selain Jaya Suprana, Acara Malam Keakraban ini juga dimeriahkan dengan alunan musik kecapi (Guzheng) yang dibawakan oleh para relawan Tzu Chi dan siswa Sekolah Tzu Chi Indonesia, suara merdu dari Armonia Choir serta band beraliran acapella Pentaboyz, dan tentu tidak ketinggalan, isyarat tangan yang dibawakan relawan Tzu Chi dan tim shou yu DAAI TV.
Alunan kecapi sarat makna berhasil memukau para hadirin yang datang. Semua ini tidak lepas dari kerja keras dari para pemain yang telah berlatih selama tiga bulan. Adalah Eni Agustien yang berhasil menyatukan para pemain Guzheng sehingga mampu membawakan irama merdu nan harmonis. “Makna dari Guzheng adalah sebuah musik yang membuat orang rileks dan dapat mengangkat budaya Chinese-Indonesia,” tutur Eni yang juga merupakan Guru Musik Guzheng di Sekolah Tzu Chi Indonesia.
Wanita kelahiran Malang ini juga menjelaskan bahwa salah satu kendala yang dihadapi saat latihan adalah keinginan para pemain yang beragam. “Ada keberagaman umur dari yang berusia 7 tahun hingga 60 tahun. Yang kecil ingin cepat, yang gede ingin lambat. Jadi disamain dulu, latihan jari dulu, baru masuk ke lagu,” tambahnya.
Addie MS, musisi sekaligus pendiri Twilite Orchestra berharap DAAI TV dapat terus eksis.
Mengakrabkan Para Hadirin
Salah satu pemirsa setia DAAI TV, Thanny Magdalena merasa senang dapat turut hadir di acara itu. “Acara ini bagus banget karena ada budaya Indonesia dan budaya Tionghoa dari Guzheng, dan lagu Indonesia. Semua bagian suka banget. Tayangan DAAI TV bagus sih sangat edukatif, ada nilai-nilai mencintai sesama dan membantu. Semoga DAAI TV semakin maju dan berkembang. Semoga banyak stasiun TV yang juga seperti DAAI TV,” ujar wanita yang bekerja sebagai karyawan swasta itu.
Hal serupa disampaikan oleh Addie MS. Menurut musisi yang juga salah satu pendiri Twilite Orchestra ini, acara Malam Keakraban ini berhasil sesuai tujuannya yaitu mengakrabkan para hadirin. “Para pemain bisa membuat malam ini penuh keakraban. Sementara ada orang yang profesinya memang penari dan penyanyi, tetapi penonton tidak merasa ada komunikasi, cuma melihat demonstrasi keterampilan. Tetapi yang ini beda, mereka (para pemain) hobbyist tapi mereka bisa membawa emosi penonton menjadi akrab, itu berhasil sekali,” ujar ayah dua anak itu.
Lebih lanjut, Addie berharap DAAI TV dapat terus eksis sebagai media non-komersil yang menyebarkan nilai keteladanan. “Zaman sekarang ini banyak TV, tapi yang umum dari semuanya adalah komersialisme. DAAI TV ini beda dari yang lainnya. Kalau saya lihat di dalamnya itu, penuh dengan keteladanan, penuh dengan pesan. Mudah-mudahan terus bertahan, terus didukung oleh para supporter, para relawan. Karena suatu yang mulia kalau tanpa dukungan, ya nggak bisa hidup. Padahal kita butuh ini, kita butuh suatu mata air yang menjernihkan,” tutupnya.