Menjadi Pengajar Sekaligus Pembelajar
Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Hadi PranotoAndrias Wijaya, M.A. M. Phil., Tzu Chi Primary Counselor memberikan materi dalam kegiatan Pelatihan Relawan Pendidikan ke-2 di Tzu Chi Center, Lt. 2, PIK, Jakarta Utara.
Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi. Peribahasa ini sangat populer untuk menggambarkan pentingnya seorang murid belajar secara serius dan berkelanjutan, karena jika sesuatu (ilmu) dipelajari tidak secara sempurna maka tidak akan mendatangkan suatu manfaat atau faedah. Tapi, bagaimana dengan gurunya sendiri? Apakah tak perlu lagi belajar?
Seorang guru yang baik sejatinya adalah seorang pembelajar tanpa henti. Terlebih di era digital seperti ini, dimana segala informasi berkembang dan menyebar sangat cepat sehingga seorang guru juga dituntut untuk selalu update terhadap segala sesuatunya.
“Guru di zaman sekarang harus jadi pembelajar sepanjang hayat yang sejati, mengenali betul potensi anak-anak didiknya,” kata Andrias Wijaya, M.A. M. Phil., Tzu Chi Primary Counselor dalam kegiatan Pelatihan Relawan Pendidikan ke-2 di Tzu Chi Center, Lt. 2, PIK, Jakarta Utara. Andrias merujuk beberapa media pembelajaran secara online yang bisa dipelajari dari kampus-kampus dalam dan luar negeri melalui internet.
Andrias menekankan pentingnya bagi seorang guru untuk terus belajar kepada lebih dari 200 orang peserta, yang terdiri dari para relawan Tzu Chi di Misi Pendidikan dan guru Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi.
Yosehan, Head of Conseling Departemen Tzu Chi School membawakan materi tentang Peran Orang Tua di Era Digital.
Guru, selain “di gugu dan ditiru” (apa yang disampaikan dipercaya dan perilakunya menjadi teladan murid-muridnya) juga harus menjadi sosok yang bersahabat bagi para muridnya, menyenangkan, ceria, dan kreatif serta inovatif dalam pembelajaran di kelas. Dengan kata lain, guru harus menjadi motivator, konselor, dan penyemangat mimpi anak-anak. “Jika dulu murid selalu dalam posisi mendengarkan, sekarang anak-anak juga harus berani mengungkapkan pendapatnya,” tegas Andrias. Dengan begitu barulah tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan dan efektif.
Dalam materi lengkapnya, Andrias menyoroti pentingnya bagi seorang guru untuk memperhatikan kondisi well being atau mental muridnya ketika berada di dalam kelas. Guru perlu mengenali murid-muridnya apakah mereka memiliki masalah keluarga, apakah anak mengalami trauma masa kecil, atau siapkah mereka untuk belajar. Hal-hal seperti ini yang perlu juga dilakukan oleh seorang guru. Well being aspek terdiri dari: spiritual, health, physical, knowledge, emotional, activities, dan social.
Sukses tidaknya pembelajaran di kelas sangat bergantung terhadap kesiapan murid untuk belajar, dan kesiapan guru mengajar. Karena itulah guru juga mengkondisikan dirinya (well being) sebelum mengajar. “Ketika masuk kelas, seorang guru harus sudah selesai dengan masalah-masalah pribadinya, sehingga ketika mengajar ia benar-benar sudah siap fisik dan mentalnya dalam mendidik murid-muridnya,” kata Andrian.
Nelly Kosasih, relawan Tzu Chi (DAAI Mama) sekaligus Konselor Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng membawakan materi Pendampingan dengan Tutur Kata dan Tindakan yang Baik.
Para relawan juga memanfaatkan kegiatan ini untuk belajar dan berlatih menangani masalah-masalah di dunia pendidikan, khususnya Kelas Budi Pekerti Tzu Chi.
Andrias yang membawakan materi Mempersiapkan Mental Murid (Apa yang Mereka Rasakan dan Hadapi di Era Kini) bukan satu-satunya pembicara dalam Pelatihan Relawan Pendidikan kali ini, Sabtu, 24 Agustus 2019. Ada juga Yosehan, Head of Conseling Departemen Tzu Chi School dan Nelly Kosasih, relawan Tzu Chi (DAAI Mama) sekaligus Konselor Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng yang membawakan materi Pendampingan dengan Tutur Kata dan Tindakan yang Baik.
Semakin Banyak Belajar, Semakin Luas Wawasan
Seminar
Pendidikan ini diikuti oleh lebih dari 200 orang peserta, yang terdiri dari
para guru Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi dan relawan Tzu Chi di misi pendidikan (DAAI Mama). Menurut Maria Fintje,
relawan yang menjadi koordinator kegiatan ini, seminar ini merupakan salah satu
cara agar relawan di misi pendidikan lebih memiliki bekal kemampuan dalam
mengenali, mendekati, dan mendidik anak-anak di Kelas Budi Pekerti Tzu Chi.
“Melalui seminar ini, kita (guru dan relawan) harus bisa lebih refleksi diri, jangan langsung segala sesuatunya marah kepada murid, tetapi coba dekati dan kenali permasalahan mereka,” kata Maria. Menurutnya, jika terbangun kedekatan antara murid dengan gurunya maka segala sesuatunya bisa lebih mudah diselesaikan. “Dengan cinta kasih maka anak-anak akan menjadi lebih dekat dan lebih baik,” katanya.
Maria Fintje, relawan yang menjadi koordinator kegiatan merasa pelatihan ini sebuah cara agar relawan di misi pendidikan lebih memiliki bekal kemampuan dalam mengenali, mendekati, dan mendidik anak-anak di Kelas Budi Pekerti Tzu Chi.
Peserta seminar lainnya, Timothy, Kepala SD Cinta Kasih Tzu Chi merasa bahwa seminar-seminar pendidikan seperti ini sangat penting bagi ia dan rekan-rekan pendidik lainnya di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. “Semakin banyak yang disampaikan kepada guru-guru kami tentunya semakin menambah wawasan mereka. Implementasinya kepada pengajaran di kelas, dimana guru tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi seorang guru yang menyadari bahwa Misi Pendidikan Tzu Chi lebih dari sekadar kemampuan akademik, tetapi tentang bagaimana anak-anak memahami dengan hati,” terang pria yang sudah 4 tahun menjadi Kepala SD Cinta Kasih Tzu Chi ini.
Merasakan pentingnya acara ini, Timothy mengajak 23 orang guru di unitnya untuk mengikuti seminar pendidikan ini. “Yang paling mengena dan berkesan adalah tentang bagaimana membuat anak merasa aman dan dicintai. Saya sering bilang ke orang-orang, anak-anak akan pergi ke tempat di mana banyak keseruan dan keramaian, tetapi mereka pada akhirnya akan kembali karena cinta kasih,” ungkapnya.
Timothy dan Purnomo, Kepala SD dan SMA Cinta Kasih Tzu Chi tengah memperagakan bagaimana menangani anak-anak yang memiliki masalah di kelas.
Sementara Purnomo, Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi ini merasa bahwa seorang guru harus memiliki kemampuan atau teknik untuk mendekati anak-anak muridnya agar bisa mengungkapkan keinginan dan persoalannya, karena dengan begitu maka persoalan akan lebih mudah dicari jalan keluarnya. “Di era digital seperti ini, dimana anak-anak dekat dengan smartphone, asyik dengan dirinya sendiri sehingga sosialisasi menjadi kurang, kita harus jaga dan tekankan pentingnya supaya sosialisasi itu tetap kuat dan terjaga. Bertemu langsung pasti lebih baik daripada hanya berbicara melalui media sosial,” kata Purnomo.
Satu lagi yang terpenting menurut Purnomo, seperti yang ditekankan oleh pemateri sebelumnya bahwa seorang guru jangan pernah berhenti untuk belajar. “Karena yang dihadapi itu adalah manusia, sesuatu yang terus berkembang. Kedua, teruslah berefleksi dan mawas diri, dan belajar dari anak. Guru bukan eksiklopedi berjalan, jadi bisa juga belajar dari murid-muridnya,” ungkapnya.
Editor: Metta Wulandari
Artikel Terkait
Seminar Pendidikan Tzu Chi University Taiwan di Medan
10 Oktober 2019Tzu Chi University Taiwan ikut mengambil bagian dalam pameran Taiwan Higher Education Fair 2019 yang diadakan di Santika Premier Dyandra Hotel selama 2 hari, yakni 29 dan 30 September 2019. Di sana seluruhnya ada 45 stand yang diisi berbagai universitas dari Taiwan.