Menjadi Remaja yang Dewasa dan Bertanggung Jawab
Jurnalis : Teddy Lianto, Sherly (Tzu Qing Medan), Fotografer : Elysa, Indra GunawanSebelum memulai Kamp, para peserta melaksanakan peringatan upacara kemerdekaan RI yang ke-73 tahun.
Di usianya yang kini menginjak 15 tahun, Tzu Ching Indonesia berupaya memantapkan tekad dan semangat mereka dengan mengadakan kamp selama tiga hari, dari 17-19 Agustus 2018, di Aula Jing Si Tzu Chi Center, PIK. Sebanyak 80 muda-mudi dari berbagai daerah menghadiri acara dengan satu tujuan, me-recharge kembali pengetahuan mereka mengenai Tzu Chi sekaligus menjalin silaturahmi dengan muda-mudi Tzu Ching dari berbagai daerah.
Bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-73 tahun, kamp kali ini dibuka dengan upacara pengibaran bendera. Inspektur upacara, Hendry Cahyadi mengajak para peserta untuk selalu menjaga tutur kata dan perilaku.
“Image Tzu Ching
ketika berkegiatan ataupun tidak, harus tetap tercermin dari setiap perilaku
dan penampilan individu masing-masing. Contohnya memakai seragam yang lengkap, dan tata
krama yang harus tetap dijaga”.
Selama tiga hari, dari tanggal 17 -19 Agustus 2018, muda-mudi Tzu Chi dari seluruh Indonesia berkumpul dan belajar bersama di Aula Jing Si Pantai Indah Kapuk, Jakarta.
Dalam kamp, hadir relawan Tzu Chi Taiwan yang berbagi mengenai pengalamannya bersumbangsih di Tzu Chi.
Belajar untuk Menemukan Makna Hidup
Di sela-sela acara, turut hadir relawan dari Taiwan, Cheng Hao yang berbagi pengalamannya. Menurut Cheng Hao, setiap anak muda harus memiliki harapan, mampu menyebarkan harapan, dan menanamkan benih harapan untuk menjadi anak muda yang penuh harapan.
Cheng Hao pun berbagi mengenai makna Yayasan Buddha Tzu Chi bagi dirinya yang bukan hanya sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang amal atau kerohanian, organisasi ini menghubungkan orang-orang di berbagai dunia. Ia mencontohkan, ketika terjadi gempa dahsyat di Taiwan pada Februari 2018 lalu, begitu banyak orang di berbagai belahan dunia dengan tulus berdoa untuk keselamatan dan keamanan penduduk di Taiwan. Kejadian ini membuatnya menyadari jika Tzu Chi membuat setiap orang menjadi saling peduli, dan merasa di mana pun ada bencana itu adalah masalah kita bersama.
“Di saat terjadi bencana, meskipun kita tidak bisa berbuat sesuatu tetapi kita bisa berdoa. Dari berdoa itu saja sudah membuat cinta kasih dari setiap orang di berbagai wilayah atau negara saling terhubung terhubung. Jadi menurut saya, Yayasan Buddha Tzu Chi adalah organisasi yang membuat hati kita dan orang lain terhubung. Makanya di dalam Tzu Chi dikatakan seluruh dunia adalah satu keluarga,” sharing Cheng Hao kepada peserta kamp.
Turut hadir dalam kamp, biksuni dari Griya Jing Si, De Chun Shifu yang memberikan sharing dan menjawab beberapa pertanyaan dari muda-mudi mengenai Tzu Chi.
Selain Cheng Ho, hadir pula De Chun shifu dari Griya Jing Si yang juga memberikan sharing mengenai kesehariannya di Griya Jing Si. Di sesi ini, para peserta juga diberi kesempatan untuk bertanya mengenai Tzu Chi. De Chun shifu menerangkan betapa besar harapan Master Cheng Yen kepada muda-mudi Tzu Chi.
“Tzu Ching merupakan harapan terbesar bagi Master, karena Tzu Ching giat dan bersemangat serta punya pemikirannya sendiri untuk masa depan. Hatinya Tzu Ching dan hatinya master itu sangat dekat, jadi harapan Master kepada Tzu Ching itu sangat tinggi,” ujar De Chun Shifu kepada para peserta.
Saya Tzu Ching dan saya bisa!
Mendengar
berbagai masukan positif dari para pembicara selama tiga hari, para peserta pun
terinspirasi untuk bisa menjadi motor penggerak bagi
perubahan yang lebih baik. Tidak hanya
untuk diri sendiri tetapi juga untuk keluarga dan lingkungan sekitar.
Michelle Malvina, peserta kamp berbagi mengenai pengalamannya melakukan pelestarian lingkungan.
Priscilia Fernanda, muda-mudi dari Pekanbaru ini semakin bersemangat untuk aktif di Tzu Ching dan menggalang lebih banyak muda-mudi untuk bergabung.
Contohnya Michele Malvina yang mengenyam pendidikan di Universitas Bina Nusantara ini turut berbagi pengalamannya melakukan praktik nyata pelestarian lingkungan, “Mengubah sampah menjadi emas, emas menjadi cinta kasih” kepada sesama para peserta. Ia berbagi jika pada beberapa bulan sebelum kamp, ia dan muda-mudi Tzu Chi lainnya mengumpulkan pakaian layak pakai yang dibuang oleh orang ke depo pelestarian. Dari sana pakaian yang masih bagus dipilah dan dijual kembali di Perumahan Cinta Kasih Muara Angke. Ternyata hal ini menarik minat warga dan banyak yang membeli. Hasil penjualan tersebut mereka sumbangkan ke Tzu Chi untuk dana kemanusiaan.
”Dari sini kita belajar, pakaian-pakaian layak pakai yang menurut orang sudah tidak berguna lagi ternyata masih bisa dijual dan dimanfaatkan lagi oleh orang lain. Dan pendapatan dari penjualan disalurkan ke Misi Amal Tzu Chi,” kata Malvina.
Malvina pun menekankan kepada peserta yang lain, sebagai remaja terkadang suka melihat barang-barang bagus lalu dibeli. Padahal barang tersebut belum tentu terpakai sehingga setelah dibeli malah menumpuk di lemari dan akhirnya dibuang menjadi sampah.
“Yang saya tekankan ialah prinsip Re-Think, barang-barang yang mau dibeli apakah kita butuhkan atau tidak sehingga tidak menjadi sampah dan menambah kerusakan bumi,” tekan Malvina kepada peserta yang hadir dalam kamp.
Sabtu, 18 Agustus 2018, muda-mudi Tzu Chi melakukan pradaksina sambil berdoa untuk dunia agar bebas bencana.
Menurut Malvina, sebagai muda mudi Tzu Chi sudah seharusnya peduli terhadap bumi. Jika bumi rusak tentu akan merugikan semua makhluk. Karena itu Malvina mengajak peserta untuk ikut bertanggung jawab melakukan pelestarian lingkungan.
“Saya juga ajak teman-teman dari kampus untuk ikut melakukan pelestarian lingkungan. Saya juga belajar untuk bervegetarian setiap hari Senin. Bervegetarian itu tidak sulit. Saya sudah mencoba sebulan bervegetaris dan kendala saya ialah jika sedang melakukan wisata kuliner dengan teman-teman terkadang masih tergoda untuk lepas, jadi saya masih belajar mencoba teguh,” sharing Malvina.
Senada dengan Malvina, Priscilia Fernanda, peserta asal Pekanbaru ini merasa dengan ikut kamp ini ia termotivasi untuk terus memberikan perubahan positif kepada lingkungan sekitarnya. “Harus lebih semangat, karena anak muda dipercaya untuk membuat perubahan positif. Lalu sebagai anak muda harus memiliki tekad yang kuat, karena kita akan mengajak banyak orang untuk ikut bersama-sama menjalankan visi dan misi Tzu Chi. Kalau tidak bertekad kuat pasti di tengah jalan kita bisa menyerah,” kata Priscilia.
Cheng Hao, relawan Tzu Chi Taiwan berbagi pengalamannya bersumbangsih di Tzu Chi kepada para peserta.
Di Akhir acara, para muda mudi Tzu Chi yang beru bergabung dilantik oleh biksuni dari Griya Jing Si.
Priscilia pun mencontohkan bagaimana ia belajar konsisten untuk mengisi celengan bambu. Setiap hari ia sisihkan uang jajan yang diberikan oleh orang tuanya.
“Meskipun dananya tidak besar, tapi saya berusaha untuk terus menyisihkan karena saya merasa kehidupan saya sekarang jauh lebih baik dari anak-anak yang kekurangan di luar sana. Jika kita yakin pasti semua akan terjadi, jadi jangan ragu sama kemampuan sendiri,” terang Priscilia.
Kamp yang dilaksanakan selama tiga hari tersebut ditutup dengan pelantikan amggota baru muda-mudi Tzu Chi oleh biksuni dari Taiwan. Diharapkan dengan dilantiknya mereka, semangat untuk membawa perubahan positif dan menggalang lebih banyak muda-mudi untuk berkegiatan positif lebih besar dan membawa ketenteram dan kedamaian untuk dunia.
Editor: Khusnul Khotimah