Menjadi Teladan Bagi Relawan Lain

Jurnalis : Hadi Pranoto, Fotografer : Sutar Soemithra
 
foto

Seragam biru putih yang dikenakan para relawan Tzu Chi, tidak sekedar merupakan penghias tubuh semata, namun bermakna bahwa para pemakainya sudah harus menjadi panutan bagi relawan Tzu Chi lainnya, terutama yan masih baru bergabung. Relawan biru putih juga disarankan untuk bisa menggalang dana untuk kepentingan Tzu Chi dalam menebarkan cinta kasih dan membantu sesama manusia yang dilanda musibah, kemalangan maupun didera berbagai penyakit yang sangat sulit ditangani.

Training yang diadakan pada hari Sabtu, 25 Februari 2006 ini diikuti oleh sekitar 145 orang peserta. Acara dimulai dengan pemutaran film dokumenter sejarah perjalanan Tzu Chi selama 40 tahun. Suasana hening berubah semarak, saat Ibu Li Ying Shi Jie seorang relawan yang baru saja ditetapkan sebagai salah satu anggota Komite di Tzu Chi, berbagi pengalaman pada peserta dengan tema "Kembali Ke Kampung Batin".

"Awalnya saya hanya sebagai donatur Tzu Chi saja, malas untuk terlibat secara penuh di Tzu Chi," katanya memulai pembicaraan. Namun setelah lama berkecimpung di Tzu Chi, niatnya untuk membantu orang lain yang kurang beruntung hidupnya mengalahkan segalanya. "Ibarat sudah basah, lebih baik mandi sekalian," katanya bersemangat, menggambarkan begitu besar semangat dan komitmennya untuk terlibat secara penuh di Tzu Chi.

Acara bertambah semarak saat di depan panggung para relawan membuat suatu hiburan dengan naik ke panggung. Laiknya para dramawan, mereka berakting untuk menjelaskan sebuah konsep Tzu Chi yang baru yaitu "Four In One". Empat konsep ini terdiri dari He Xin (bersatu hati), He Qi (ramah tamah), Hu Ai (saling menyayang) dan Xie Li (gotong royong). Cara ini cukup efektif untuk menjelaskan konsep baru ini, mengingat selain mudah dicerna, para peserta juga merasa terhibur dengan adanya pertunjukkan ini.

Sebenarnya konsep ini sudah berjalan selama hampir 4 tahun di Taiwan, yang intinya bahwa dengan konsep ini maka tidak ada lagi yang namanya atasan dan bawahan. Struktur ini melatih para relawan untuk melepaskan predikat jabatan mereka. "Semua orang sama, tidak ada kaya dan miskin, di Tzu Chi masing-masing dari mereka memiliki fungsi dan peranan yang berbeda," tandas Ji Shou yang sore itu bertugas menjelaskan tentang konsep "Four In One". Para relawan pun jadi bisa berinteraksi satu sama lain, tidak hanya pada groupnya saja.

Suasana menjadi haru saat Verawati, seorang relawan dari Batam membagi pengalamannya dalam menangani sebuah keluarga miskin di daerahnya. Saking miskinnya, bahkan makanan basi pun mereka makan. Keluarga ini bukan hanya kurang secara ekonomi, namun sang Ibu yang semestinya bisa mengayomi anak-anaknya dengan welas asih justru menjadi orang yang sangat tertutup dan menganggap semua orang jahat.

Niat baik Ibu Vera untuk membantu keluarga ini bukan tidak mudah. Sang Ibu begitu trauma dengan menganggap semua orang jahat, maka untuk bisa masuk ke keluarga ini jelas butuh kesabaran, welas asih dan menanamkan sebuah kepercayaan bahwa tidak semua orang jahat. Pelan-pelan, akhirnya kepercayaan itu pun tumbuh. Dengan menyelamatkan salah satu anak keluarga itu dengan menyekolahkannya, maka diharapkan nasib keluarga ini secara keseluruhan bisa terangkat.

Kemudian acara dilanjutkan dengan penjelasan tentang Misi Tzu Chi dalam bidang pendidikan oleh Ibu Cennie. Selain mencerdaskan anak bangsa, Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi juga menanamkan benih-benih cinta kasih, budi pekerti yang luhur dan bagaimana bersikap dan berperilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian diharapkan generasi mendatang selain pintar juga memiliki moral yang baik.

Ada sebuah konsep menarik di Sekolah Cinta kasih yang disebut "Da Ai Mama". "Murid-murid di Sekolah Cinta Kasih mempunyai Mama baru yang mendamping para siswa dengan perhatian sabar dan penuh welas asih," terang Ibu Cennie koordinator bidang pendidikan.

"Tapi masih ada yang kurang¡K.? Da ai Papanya belum ada," lanjutnya yang disambut gemuruh tepuk tangan penonton. Sebuah ajakan bahkan mungkin tantangan supaya relawan pria juga bisa mengikuti jejak ibu-ibu ini dalam memberikan bimbingan dan perhatian pada anak-anak didik.

Kemudian Ibu Hoey Lang selaku koordinator bidang kesehatan dan pengobatan mengajak para relawan biru putih untuk bergabung dalam unit ini sekaligus mengingatkan kembali tentang tujuan bergabung sebagai relawan di Tzu Chi. "Untuk bisa melakukan banyak kebaikan dan bukannya untuk lebih dikenal ataupun untuk mengejar suatu tingkatan tertentu," katanya. Ada unsur penting dalam misi kesehatan, yaitu relawan, pasien, dokter dan paramedis. Untuk mencapai hasil yang baik, maka semuanya perlu menyucikan hati dengan cara berfikir positif, berkomunikasi dan berkoordinasi serta melayani dengan tulus.

Acara yang sedianya ditutup oleh Ibu Liu Su Mei akhirnya di tutup oleh Bapak Franky O. Widjaya. Dalam penutupunnya Bapak Franky menekankan agar Tzu Chi bisa berkembang dengan pesat, maka perlu melakukan continuos improvement (cara-cara baru) dengan membuat sebuah modular laiknya perusahaab besar. "Mari kita buat Tzu Chi menjadi MLM (Multi Level Marketing) dalam bidang Cinta Kasih dan Kemanusiaan," katanya bersemangat yang diiringgi tepuk tangan para relawan.

"Dengan semakin banyak orang membawa obor kebaikan, maka cahaya dunia pun akan semakin terang," sambungnya. Pada kesempatan itu pula, beliau mempromosikan sebuah buku biografi tentang dirinya yang hasil penjualannya akan disumbangkan untuk Yayasan Tzu Chi Indonesia.

foto

Training ini tidak hanya diikuti oleh para relawan yang tinggal di Jakarta, tetapi juga daerah lain. Seperti Ibu Verawati dari Batam misalnya, ia rela jauh-jauh datang dari Batam selain untuk sharing juga untuk menimba ilmu. "Dengan mengikuti training ini, saya menjadi lebih bersemangat dalam mengembangkan Tzu Chi, khususnya di daerah Batam," jawabnya. Semoga niat baik ini bisa terwujud, sehingga dari 75 orang relawan di Batam bisa berkembang menjadi ratusan bahkan ribuan orang.

Pada hari kedua, Minggu, 26 Februari 2006, pelatihan diadakan di lantai 3 RSK. Bedah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. Sekitar 300 relawan berseragam putih abu-abu dari pukul setengah delapan pagi mengikuti pelatihan hingga pukul lima sore. Para relawan tidak hanya berasal dari Jakarta, melainkan juga dari Lampung, Jatibarang (Jawa Barat), hingga Pati (Jawa Tengah).

Pelatihan diisi dengan menonton video tentang Tzu Chi, sharing, bahasa isyarat, penjelasan dan drama tentang konsep "4 in 1". Salah seorang relawan, Mathius, berbagi pengalamannya selama menjadi relawan bagian penanganan kasus. "Kita hadir di sini bukan kebetulan, tapi Tuhan yang atur," ujarnya bersemangat. Sebagai seorang penganut Katolik, di gereja ia sering mendengar ceramah tentang cinta kasih dan di Tzu Chi ia menemukan tempat untuk belajar dan mempraktekkannya. Menurutnya, kehidupan terdiri dari 2 jenis, yaitu duniawi dan surgawi. Kegiatan di Tzu Chi adalah kegiatan surgawi. "Melayani orang-orang kecil seperti itu lebih menarik, lebih berarti daripada kerja duniawi," tegasnya.

Menurut Lulu, koordinator penanganan kasus, Mathius awalnya hanya terlibat dalam kegiatan survei calon pasien, lantas mulai menemani pasien berobat ke rumah sakit. Sebagai seorang wirausahawan, waktu baginya berarti uang. Dan menghabiskan waktu seharian di rumah sakit bukanlah pilihan yang menarik baginya. Dalam benaknya terlintas pikiran, waktu sepanjang itu yang ia habiskan seandainya untuk mengurusi bisnisnya, pasti banyak uang yang bisa ia peroleh. Namun dengan beriringnya waktu, pikiran tersebut perlahan hilang dari benaknya. Bahkan menurut Lulu, Mathius kini menganggap pasien adalah langganan terbesar baginya. "Jangan terlalu banyak pakai logika, pakai hati saja," ujarnya dengan tegas.

Di bagian lain, Yuli, menceritakan pengalamannya sebagai Da Ai Mama (Ibu Pendamping) bagi para siswa Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. Ia adalah seorang warga negara Taiwan yang diperistri pria Indonesia. Di Taiwan, ia bekerja sebagai guru TK dan ia lepas karena mengikuti suami ke Indonesia. Selain itu ia tertarik juga untuk menjadi relawan di pendidikan di Indonesia. Di Indonesia, ia menjadi Da Ai Mama yang bertugas mendampingi dan menganggap murid-murid Sekolah Cinta Kasih sebagai anak sendiri. Ia sering datang ke sekolah mendampingi guru mengajar di kelas. Satu ketika, anaknya sakit, sehingga ia tidak bisa mendampingi anak-anak. Salah satu anak, Ani, siswa kelas IV menelponnya, "Hari ini Anda tak bisa mengajar kami, kami merindukan Anda. Semoga anak Anda cepat sembuh." Rasa rindu dan perhatian tersebut membuatnya terharu dan semakin mencintai anak-anak.

Di bagian lain, relawan dari Lampung, Liana, merasa beruntung karena sejak aktif di Tzu Chi membantu orang yang tidak mampu agar bisa berobat di baksos kesehatan Tzu Chi kini banyak orang yang menganggapnya sebagai ibunya sendiri. Pada pelatihan hari itu, ia mengajak salah seorang mantan pasien yang mengidap hernia yang telah dibantu. Aprianto nama laki-laki tersebut. Sebelum hernianya dioperasi, ia adalah seorang laki-laki yang sangat minder, terlebih kepada lawan jenis. Ketika dalam tahap pemulihan usai menjalani operasi pada baksos pengobatan Tzu Chi di RSK Bedah Cinta Kasih beberapa waktu lalu, tiba-tiba Aprianto menggigil kedinginan. Relawan menyelimutinya dengan selimut hingga 3 lapis, tapi Aprianto masih tetap kedinginan. "Akhirnya saya peluk sekencangnya seperti anak sendiri," ujar Liana. "Dan sekarang dia menjadi anak saya dan menjadi relawan Tzu Chi juga," tambahnya. Ujarnya sambil mengajak Aprianto untuk ikut naik ke panggung. Ketika sudah sampai di sampingnya, Liana bertanya kepada Aprianto, "Sekarang kamu panggil saya apa?" Aprianto pun segera menjawab dengan mantap, "Bunda".

Dalam pelatihan ini juga dijelaskan tentang konsep "4 in 1" dalam pembagian kerja relawan Tzu Chi. Lim Ji Shou yang membawakannya juga menjelaskan bahwa untuk wilayah Jakarta, dibagi menjadi 3 Hu Ai, masing-masing Hu Ai terbagi menjadi 3 Xie Li berdasarkan wilayah.

 

Artikel Terkait

Lebih Giat Belajar di Tzu Chi

Lebih Giat Belajar di Tzu Chi

29 Juni 2015 Terlihat beberapa Tzu You (calon Tzu Shao) yang tengah mengikuti kegiatan tersebut. Rupanya mereka anak-anak yang akan memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan siap untuk dilantik menjadi Tzu Shao. Sebanyak tujuh anak dilantik menjadi Tzu Shao yang disaksikan oleh 70 orang pada acara tersebut. Acara pun berjalan dengan lancar.
Budaya Humanis Para Calon Relawan

Budaya Humanis Para Calon Relawan

24 Maret 2010
Suasana mengesankan juga ditampilkan oleh para calon relawan. Saat diminta untuk mengosongkan ruangan dengan memindahkan kursi dan meja ke tempat yang ditunjuk, mereka melakukannya tanpa menimbulkan suara. 
Semangat dan Antusias Peserta

Semangat dan Antusias Peserta

25 Agustus 2010 Satu tahun telah berlalu sejak Tzu Ching Kamp IV diadakan, kini muda-mudi Tzu Chi (Tzu Ching) kembali mengadakan Tzu Ching Camp untuk yang ke-5 kalinya, dengan total peserta sebanyak 136 orang.
Semua manusia berkeinginan untuk "memiliki", padahal "memiliki" adalah sumber dari kerisauan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -